Draf CIPP Targetkan 44 Persen Bauran Energi Terbarukan pada 2030

Jakarta, 2 November 2023 – Pemerintah mempublikasikan draft dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan, CIPP) dalam kerja sama transisi yang adil (Just Energy Transition Partnership, JETP) untuk konsultasi publik pada Rabu (1/11/2023). 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat perubahan yang patut diapresiasi dalam dokumen CIPP tersebut, khususnya  peningkatan signifikan target bauran energi terbarukan sekitar 44% di tahun 2030, lebih tinggi dari 34% di joint statement JETP pada tahun lalu. Namun, CIPP ini memuat penetapan pencapaian target nir emisi karbon (net zero emissions, NZE) di sektor ketenagalistrikan pada 2050. Hal ini belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong pengakhiran penggunaan pembangkit fosil pada 2040. 

Tidak hanya itu, target penurunan emisi hanya difokuskan pada emisi pembangkit listrik pada jaringan PLN saja, dan bukan pada emisi sektor kelistrikan secara menyeluruh,  yang mencapai 250 juta ton karbon dioksida ekuivalen di tahun 2030. Angka ini belum termasuk target pengurangan emisi dari pembangkit  untuk kebutuhan sendiri (captive power). Jika dikombinasikan, maka target puncak emisi total menjadi jauh lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada saat negosiasi JETP tahun lalu. Selain itu, rencana pengakhiran operasional PLTU batubara dengan total kapasitas 5 GW yang ada di draf sebelumnya dihapuskan karena ketidakjelasan sumber pendanaan dari IPG. 

IESR menilai penghapusan rencana pengakhiran operasional PLTU batubara ini akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai target net-zero di 2050 dan meningkatkan bauran energi terbarukan setelah 2030. Dalam skenario JETP sekarang, penurunan emisi didapatkan dengan penurunan utilisasi PLTU batubara. Sehingga, pencapaian target baru 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dapat tercapai  apabila  adanya peningkatan fleksibilitas operasi PLTU batubara PLN, dan tinjauan kontrak PLTU batubara swasta, serta dukungan regulasi untuk percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Adapun rencana pembangunan energi terbarukan yang memberikan  porsi besar pada PLTP dan PLTA karena menyesuaikan prioritas PLN, dapat  menjadi risiko dalam mencapai target tersebut, mengingat masa pengembangan  proyek PLTP yang mencapai 8 hingga 12 tahun, dan PLTA yang bisa mencapai 6-10 tahun.

“Dihapuskannya  rencana pengakhiran operasional 5 GW PLTU batubara sebelum 2030  karena ketiadaan dukungan pendanaan sangat disesalkan. Ini membuat JETP Indonesia semakin jauh dari target Paris Agreement.  Berdasarkan hasil kajian IESR, untuk mencapai target puncak emisi sebelumnya sebesar 290 juta ton karbon dioksida, perlu mengakhiri 8,6 GW PLTU di jaringan listrik PLN pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dilakukan dialog lanjutan dengan IPG untuk mengeksplorasi blended finance (pendanaan campuran) dengan skema matching fund (dana padanan) di mana pendanaan pensiun dini PLTU berasal dari tambahan dana di atas komitmen IPG dan disamakan dengan dana dari sumber APBN serta sumber lainnya,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

IESR juga menyoroti dokumen CIPP yang belum mempertimbangankan pengakhiran operasional PLTU captive yang dioperasikan oleh perusahaan utilitas di luar PLN. 

“Tantangan PLTU captive memang beragam tergantung dari industri yang disuplai. Namun, sudah ada dasar Peraturan Presiden 112/2022 yang mewajibkan pengurangan emisi sebesar 35% dan pengakhiran operasi maksimal 2050. Sehingga strategi pengurangan emisi maupun pengakhiran operasi lebih awal untuk PLTU captive dan untuk wilayah usaha lainnya perlu segera ditinjau,” ungkap Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan menjadi hal krusial dalam mengimplementasikan CIPP yang membidik target 44% bauran energi terbarukan pada 2030. Kapasitas energi terbarukan Indonesia sebesar 12,6 GW, perlu ditambah sebesar 62 GW sehingga mencapai sekitar 75 GW kapasitas energi terbarukan di tahun 2030.

“Proses pengadaan pembangkit energi terbarukan masih terkendala di beberapa hal. Acapkali hal ini terbentur dengan persiapan proyek, termasuk di dalamnya studi konektivitas jaringan, akuisisi lahan, dan penyelesaian izin-izin terkait sebelum proses lelang. Di Indonesia, hal ini masih menjadi tanggungan di pengembang, membuat prospek investasi terbarukan hanya bisa terjamah oleh ‘pemain-pemain’ tertentu saja. Reformasi kebijakan yang menitikberatkan pada efisiensi dan kemudahan di dalam proses pengadaan pembangkit energi terbarukan mutlak diperlukan jika nantinya target ekspansi kapasitas ingin tercapai,” terang Raditya Wiranegara, Analis Senior IESR.

Upaya penurunan emisi yang tercantum pada dokumen CIPP ini perlu pula menekankan aspek keadilan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Berdasarkan berbagai kajian IESR tentang mitigasi dampak transisi energi di daerah penghasil batubara, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan transisi energi serta melakukan diversifikasi ekonomi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan. 

Mendorong Kapasitas Institusi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk Transisi Berkeadilan

press release

Jakarta, 26 Oktober 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Stockholm Environment Institute (SEI) melakukan kolaborasi studi mengenai analisis kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah untuk transisi batubara berkelanjutan di Indonesia. 

Temuan awal dari studi ini menunjukkan bahwa dari delapan kapasitas ideal yang perlu dimiliki pemerintah untuk mendukung transisi energi, baik pemerintah nasional maupun pemerintah daerah memiliki kekuatan kapasitas yang berbeda. Pemerintah nasional dinilai telah mempunyai kesadaran untuk bertransisi energi, sementara pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai untuk mengimplementasikan transisi energi. Namun, baik pemerintah nasional maupun daerah masih memerlukan peningkatan kapasitas di tujuh macam kapasitas lainnya.

Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR menjelaskan, transisi energi berkeadilan memerlukan kesiapan perencanaan dan implementasi yang matang. Untuk itu, kapasitas yang mumpuni dan saling melengkapi, serta kolaborasi yang erat antar pemerintah nasional dan pemerintah daerah menjadi hal yang krusial. 

“Pemerintah nasional dapat memainkan perannya dalam menetapkan regulasi yang mendukung pelaksanaan transisi energi berkeadilan, menarik investasi dan pembiayaan transisi energi melalui berbagai kerjasama internasional. Sementara , pemerintah daerah dapat mengambil peran sebagai koordinator dan stimulator dalam proses transisi energi karena mereka yang mengetahui kondisi lapangan dan berinteraksi langsung dengan warga,” ujar Wira Swadana dalam Lokakarya Nasional tentang Transisi yang Berkeadilan: Membangun Kapasitas untuk Transisi Batubara yang Berkelanjutan di Indonesia. 

IESR mengkaji delapan kapasitas pemerintah yaitu kesadaran, pengetahuan teknis, pelibatan pemangku kepentingan, komunikasi, jaringan multilevel (networking), finansial, penguasaan instrumental dalam penataan dan penguatan organisasi, dan pengimplementasian transisi energi. Berdasarkan analisis awal IESR, pemerintah nasional memerlukan peningkatan kapasitas di bagian pengetahuan teknis, komunikasi dan membangun jaringan multilevel (networking). Sementara pemerintah daerah juga masih cenderung lemah dalam pengetahuan teknis tentang bertransisi energi, finansial, dan kewenangan yang termasuk dalam kapasitas instrumental.

Martha Jesica, Analis Bidang Sosial dan Ekonomi IESR memaparkan tiga hal utama yang menjadi kesenjangan peningkatan kapasitas pemerintah di tingkat nasional dan daerah. Pertama, mutasi tenaga kerja yang cepat sehingga membatasi pertukaran informasi. Kedua, minimnya kesadaran mengenai dampak batubara dan pembangunan ekonomi. Ketiga, proses birokrasi yang kompleks dalam komunikasi bertingkat atau multilevel antar pemerintah. 

“Agar kesenjangan kapasitas pemerintah nasional dan daerah dapat diatasi, misalnya di kapasitas pengetahuan teknis, maka perlu adanya perubahan paradigma dari ekonomi yang berpusat pada batubara menjadi ekonomi hijau karena pengembangan ekonomi masa depan akan menuju pengembangan berkelanjutan dan adil. Selain itu, perlu pula melibatkan aktor di luar pemerintah dalam perencanaan, seperti kelompok masyarakat sipil (nasional dan lokal) untuk bertukar pengetahuan mengenai transisi energi ini,” kata Martha. 

Stefan Bößner, Peneliti Stockholm Environment Institute menuturkan, pemerintah dapat memperkuat kapasitasnya dalam pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung inisiatif dan teknologi yang rendah karbon. Ia juga menyebut bahwa diversifikasi ekonomi menjadi solusi kunci untuk melakukan transisi energi berkeadilan. 

“Pilihan diversifikasi ekonomi tersebut tersedia di Indonesia. Misalnya saja daerah penghasil batubara bisa mengembangkan wisata lingkungan, dan memanfaatkan penggunaan lokasi pertambangan untuk instalasi energi surya atau sebagai penyimpanan energi,” ujar Stefan.

Memacu Industri Rendah Karbon Melalui Peta Jalan Dekarbonisasi Industri

Jakarta, 25 Oktober 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) merilis peta jalan dan rekomendasi kebijakan tentang dekarbonisasi industri untuk mencapai nol emisi karbon (net zero emissions, NZE). Laporan ini mengambil fokus terhadap lima sektor industri yakni semen, besi dan baja, pulp dan kertas, amoniak dan tekstil yang diperkirakan akan mengalami peningkatan emisi GRK signifikan apabila tidak melakukan langkah dekarbonisasi. Pada 2015-2022, menurut Kementerian Perindustrian sektor industri berkontribusi 8-20% dari emisi nasional.  Merujuk pada pemodelan IESR, total emisi GRK industri diprediksi akan terus meningkat mencapai 3-4 kali lipat pada tahun 2060 jika tidak ada intervensi apapun (Business as usual,  BaU). 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR mengatakan bahwa menjalankan dekarbonisasi di sektor industri, sebagai motor ekonomi utama di Indonesia, merupakan  prasyarat untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan menjadikan Indonesia menjadi negara maju namun rendah emisi. Industri dengan produk rendah karbon akan menjadi industri yang paling kompetitif.

“Indonesia dapat menerapkan pilar dekarbonisasi industri yaitu meningkatkan efisiensi energi, elektrifikasi kebutuhan energi, beralih ke bahan bakar rendah karbon seperti energi terbarukan, dan efisiensi pada penggunaan material. Masing-masing industri unik, sehingga perlu diantisipasi situasi dan konteks masing-masing saat menyusun peta jalan dan regulasi yang mendukung,” ujar Deon dalam sambutannya pada Lokakarya Diseminasi Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Indonesia dan Rekomendasi Kebijakan yang diselenggarakan oleh IESR bekerja sama dengan LBNL dan didukung oleh ClimateWorks Foundation.

IESR dan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) memandang dekarbonisasi sektor industri dapat tercapai sebelum tahun 2060. Berdasarkan data IESR, dari total 17 entitas bisnis di lima sektor tersebut yang dianalisis, masing-masing perusahaan telah menetapkan target dekarbonisasi dengan porsi yang berbeda-beda, meskipun hanya industri bubur kertas dan kertas yang mempunyai target dekarbonisasi yang spesifik.

“Industri berkapasitas besar seperti semen, besi dan baja, tekstil, bubur kertas dan kertas (pulp and paper) dan amonia memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan dekarbonisasi. Memang masih ada tantangan dalam hal: konsumsi energi yang tinggi, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, pengelolaan limbah dan emisi GRK pada proses dan rantai nilai, tingginya biaya dan manfaat keekonomian dalam upaya dekarbonisasi. Selain itu, regulasi yang tersedia belum terlalu mengikat baik terhadap industri, industri lanjutan dan konsumen untuk mendorong dekarbonisasi industri,” jelas Farid Wijaya, Analis Senior IESR. 

Menurutnya, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan juga kementerian teknis lainnya seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perlu menetapkan regulasi yang kuat, memberikan dukungan dan insentif untuk industri, serta memastikan bahwa produsen, konsumen, dan pasar mendukung produksi rendah emisi yang dihasilkan dari dekarbonisasi industri.

Hongyou Lu, Peneliti Teknologi Lingkungan/Energi, LBNL menyampaikan Pemerintah Indonesia perlu segera mengembangkan strategi nasional yang berbeda-beda untuk tiap jenis sektor industri. Misalnya, untuk industri besi dan baja dapat memfokuskan penerapan electric arc furnace sebagai langkah elektrifikasi prosesnya untuk strategi jangka waktu pendek, melakukan efisiensi energi dan material.  Sementara, pada semen, strategi dekarbonisasi yang dapat dilakukan seperti meningkatkan penggunaan bahan pengganti material klinker (supplementary cementitious materials), menerapkan langkah-langkah efisiensi material dan efisiensi energi (jangka pendek), beralih ke sumber bahan bakar rendah emisi (jangka menengah-panjang). Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula membuat strategi nasional untuk produksi energi hijau  seperti hidrogen dan amonia, teknologi lintas sektor seperti aplikasi pompa panas (heat pump), serta teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage, CCS) untuk sisa emisi yang tidak bisa dilakukan dekarbonisasi.

“Untuk melakukan berbagai strategi dekarbonisasi sektor industri ini, Pemerintah Indonesia perlu membangun perencanaan yang terkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam pengembangan infrastruktur rendah karbon, seperti jaringan pipa, tempat penyimpanan, sistem transmisi dan distribusi tenaga listrik, sehingga memungkinkan industri untuk mengakses energi terbarukan,” jelas Hongyou.

Lebih lanjut Hongyou Lu menambahkan dekarbonisasi industri menjadi hal yang tidak dapat dihindari, namun juga melibatkan banyak aspek. Dekarbonisasi industri akan berpotensi mengembangkan industri baru, menumbuhkan ekonomi lokal, mengurangi polusi udara, dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional. Hal ini perlu dilakukan agar produk industri Indonesia masih dapat memenuhi peraturan lingkungan hidup yang lebih ketat untuk barang impor dan mekanisme penetapan harga karbon yang telah efektif di beberapa negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa. 

 

Indonesia Dapat Mendorong Agenda Transisi Energi pada Keketuaan Laos di ASEAN Tahun 2024

Jakarta, 20 Oktober 2023 –  Indonesia sebagai ketua Association of Southeast Asian Nations  (ASEAN) 2023, mencatatkan beberapa pencapaian terkait isu iklim dan transisi energi, di antaranya meluncurkan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance (ATSF) Versi 2 dan pencanangan Strategi Netralitas Karbon ASEAN.  Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi kemajuan tersebut. Namun IESR memandang setelah kepemimpinannya di ASEAN, Indonesia perlu secara konsisten memastikan pelaksanaan gagasan rendah karbon tersebut dengan mengutamakan pengembangan energi terbarukan daripada mengadopsi teknologi yang secara keekonomian dan teknis belum terlalu teruji, seperti teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (Carbon Capture Storage, CCS), serta mendorong agenda transisi energi menjadi prioritas keketuaan Laos di 2024.

Tidak hanya itu, Indonesia perlu menjadi teladan dengan menunjukkan komitmen dan strategi penurunan emisi yang lebih kuat. Berdasarkan pemeringkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) oleh Climate Action Tracker (CAT) pada 2022, Indonesia masih berstatus ‘Sangat Tidak Memadai’. Beberapa penyebab rendahnya peringkat Indonesia tersebut di antaranya ketidakkonsistenan strategi di sektor energi. Mengacu pada  RUPTL 2021-2023, persentase bauran batubara justru meningkat dari 62% di tahun 2025 menjadi 64% pada 2030. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga tengah mengembangkan kerangka regulasi terkait teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage CCS/Carbon Capture Utilization Storage CCUS) dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai pusat (hub) CCS di kawasan Asia Tenggara.

Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, menjelaskan banyak isu terkait diplomasi iklim dan energi di ASEAN masih belum menyentuh masyarakat, padahal aksi-aksi iklim berpengaruh secara langsung kepada masyarakat. Dari hasil keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, ada beberapa peningkatan ambisi dan implementasi iklim dan energi yang telah dilakukan. Namun demikian, Indonesia masih terlalu fokus terhadap pembangunan infrastruktur yang belum terbukti penggunaanya seperti CCUS, dan mengembangkan ekosistem kendaraan bermotor listrik (Electric Vehicles/EV) tetapi belum fokus pada prinsip-prinsip mobilitas berkelanjutan. 

“Seharusnya Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya bisa fokus pada aksi dan kerjasama yang lebih tegas seperti pembangunan ekosistem pengembangan energi terbarukan dan fokus terhadap praktek-praktek penembangan mineral transisi/kritikal yang berkeadilan dan bertanggung jawab,” ujarnya dalam diskusi publik “Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023: Menuju Regional Front-runner dalam Isu Iklim dan Transisi Energi”.

Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim IESR menuturkan, selain Indonesia, 4 anggota ASEAN Member States (AMS) lainnya seperti Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam juga masuk dalam kategori tidak memadai ambisi iklimnya berdasarkan CAT. Untuk itu, negara ASEAN perlu meningkatkan ambisi iklimnya, salah satunya dengan penurunan emisi yang signifikan di sektor energi dan merefleksikan peningkatan ambisi tersebut pada dokumen perencanaan energi regional terbaru (ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation, APAEC).

“Terdapat empat kesenjangan (gap) yang harus diselesaikan yakni kesenjangan kelembagaan, ambisi, implementasi dan partisipasi.  Pertama, kesenjangan kelembagaan ASEAN tercermin pada kelembagaan isu energi dan iklim yang masih terpisah-pisah. Misalnya pengaturan bidang yang tidak dalam kerangka yang sama, misalnya isu energi yang  berada di bawah pilar ekonomi ASEAN, sementara isu iklim di bawah pilar sosial budaya ASEAN. Untuk itu, ASEAN memerlukan pemetaan mengenai peran dan tanggung jawab kelembagaan secara komprehensif agar pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional dan regional menjadi efektif dan efisien,” papar Arief.

Arief melanjutkan, kesenjangan kedua adalah kesenjangan ambisi iklim yang belum selaras Persetujuan Paris. Ketiga, kesenjangan implementasi transisi energi yang masih terkendala faktor politis dan teknis dengan pemberian ruang bagi teknologi yang belum teruji seperti CCS. Keempat, kesenjangan partisipasi masyarakat sipil yang masih terbatas. Keempat kesenjangan ini, menurutnya, perlu dibenahi secara internal di ASEAN. 

“Indonesia mempunyai peran strategis, mengingat profilnya sebagai negara dengan ekonomi terbesar dan memiliki pengaruh politik signifikan di ASEAN. Indonesia dapat menggunakan pengaruhnya dalam mendorong agenda transisi energi terus berlanjut sebagai pembahasan utama dalam keketuaan Laos di ASEAN di 2024,” tandas Arief.

IESR mendorong agar Indonesia memperkuat strategi diplomasi iklimnya dengan melakukan sinkronisasi komprehensif terhadap berbagai forum multilateral sehingga mampu menghasilkan hasil dan kerja sama yang nyata dalam hal teknis, investasi energi bersih, atau mobilisasi pendanaan bagi Indonesia dan ASEAN.

Di sisi lain, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya perlu mempertimbangkan pengembangan Nilai Ekonomi Karbon (NEK/Carbon Pricing) untuk mendorong pencapaian ambisi dan target iklim. Agar implementasi NEK efektif, Indonesia perlu mengetahui segmentasi NEK yang akan dituju dari berbagai instrumen NEK yang ada, mencari instrumen NEK yang paling rendah biaya, memberlakukan pajak karbon, dan membuat peta jalan Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emissions (NZE) yang nantinya selaras dengan implementasi NEK.

“Instrumen carbon pricing domestik akan membantu pencapaian target NDC dan NZE, namun sebaiknya dilakukan terhadap aksi mitigasi yang relatif tanpa biaya atau biaya rendah agar tidak terlalu membebani keuangan domestik. Pajak karbon akan membantu penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) namun sulit untuk dilakukan perhitungan reduksi emisi GRK yang terjadi. Untuk itu, pendapatan dari pajak karbon harus dialokasikan untuk aksi mitigasi dan adaptasi iklim sehingga manfaat pajak karbon dapat berdampak langsung terhadap aksi iklim,” ujar Moekti Handajani Soejachmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization.

Upaya Memperkuat Komitmen Transisi Energi Indonesia-Tiongkok dalam Kerjasama BRI

Jakarta, 18 Oktober 2023 – Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya di upacara pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-3 Belt Road Forum (BRF) di Great Hall of The People, Beijing, menyebutkan bahwa sinergi belt and road initiative (BRI) perlu diperkuat seiring dengan satu dekade berjalannya inisiatif tersebut. Dalam pidatonya, Presiden menegaskan agar BRI harus berlandaskan prinsip kemitraan yang setara dan saling menguntungkan, sistem pendanaan yang transparan, penyerapan tenaga kerja lokal serta pemanfaatan produk dalam negeri.  Presiden Jokowi juga merencanakan untuk mensinergikan pembangunan ibu kota baru, transisi energi dan hilirisasi industri dalam kerjasama BRI.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) yang turut hadir pada acara tersebut mengemukakan baik pemerintah Tiongkok maupun Indonesia perlu mempertegas komitmen pengembangan energi terbarukannya untuk mempercepat transisi energi melalui kerangka Belt and Road Cooperation. Tidak hanya itu, komitmen tersebut harus terangkum pada strategi dan program jangka menengah maupun jangka panjang sehingga dapat menarik lebih banyak dukungan teknologi dan pendanaan transisi energi

“Transisi energi Indonesia memerlukan pendanaan USD 100 miliar hingga 2030, dan USD 1 triliun hingga 2060. Selain itu kita harus membangun 35 hingga 40 GW kapasitas energi terbarukan, mengakhiri operasi 9 GW PLTU, membangun ribuan kilometer transmisi dan interkoneksi, serta energy storage hingga 2030. Oleh karena itu, kerja sama transisi energi Indonesia dan Tiongkok seharusnya fokus untuk mencapai target-target ini. Area lain yang penting adalah menghijaukan (greening) proses ekstraksi mineral pada program hilirisasi Indonesia, yang banyak melibatkan pelaku usaha dari Tiongkok. Kami berharap adanya satu program komprehensif,” kata Fabby.

Pada rangkaian BRI ketiga ini pula, IESR diundang oleh Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup Republik Rakyat Tiongkok, untuk mendukung peluncuran Green Investment and Finance Partnership (GIFB) bersama dengan Pemerintah Hong Kong, Bank Pembangunan Nasional Tiongkok, Sino Hydro Corporation, China International Capital Corp dan Children’s Investment Fund Foundation. GIFP merupakan inisiatif kolaboratif untuk membangun fasilitas perencanaan proyek  yang membantu meningkatkan kesiapan proyek-proyek pembangunan hijau Tiongkok di luar negeri.

“Indonesia dapat memanfaatkan GIFP ini untuk mempersiapkan pipeline proyek energi terbarukan, menstrukturkan pendanaan dan menurunkan risiko proyek dalam rangka mempercepat transisi energi di Indonesia,” jelas Fabby.

Lebih jauh, Fabby menuturkan kerjasama BRI dapat menjadi strategi untuk pengembangan proyek percontohan energi terbarukan berskala besar. Seiring dengan meningkatnya proyek energi terbarukan skala besar, maka akan menjadi peluang untuk menggerakkan industri manufaktur energi terbarukan lainnya.

Selain pengembangan energi terbarukan, Pemerintah Indonesia dan Tiongkok dapat pula membicarakan upaya intervensi PLTU batubara di Indonesia yang didukung oleh pengembang Tiongkok dengan total kapasitas 7,6 GW, dengan rincian 3,8 GW yang sudah beroperasi, 2,9 GW dalam tahap konstruksi dan 0,9 GW yang sudah ditandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL)-nya.

“Dari kajian IESR, minimal 9,2 GW PLTU perlu dipensiunkan dekade ini dan membangun energi terbarukan sebagai penggantinya untuk mendukung upaya penurunan emisi yang sesuai Persetujuan Paris. Kemitraan Indonesia dan Tiongkok ke depannya perlu mengeksplorasi bagaimana memfasilitasi pemilik aset 7,6 GW PLTU dari Tiongkok dengan PLN dan pelaku bisnis Indonesia untuk mendiskusikan cara untuk mempensiunkan aset PLTU atau bahkan langsung menggantinya dengan energi terbarukan,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR. 

 

Indonesia – Tiongkok Perlu Rumuskan Kemitraan Pembiayaan Transisi Energi di KTT Belt and Road Initiative

press release

Jakarta, 17 Oktober 2023 – Menandai 10 tahun peluncuran Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative, BRI), Tiongkok kembali menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Kerjasama Internasional BRI atau Belt and Road Forum yang ketiga di Beijing pada tanggal 17-18 Oktober 2023. Tiongkok mengusung tema “Kerja Sama BRI yang Berkualitas Tinggi: untuk Pembangunan dan Kemakmuran Bersama” pada KTT tahun ini. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang turut diundang dalam rangkaian agenda KTT BRI tersebut, mengharapkan adanya terobosan baru dalam kemitraan BRI Indonesia-Tiongkok, terutama untuk pembiayaan transisi energi, di antaranya untuk energi terbarukan, pengakhiran dini operasional PLTU batubara, industri hijau serta kolaborasi teknologi energi terbarukan yang erat untuk  mempercepat transisi energi.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam sambutannya pada Seminar Tingkat Tinggi  Membangun Visi Baru untuk Jalur Sutera Hijau di Beijing yang diselenggarakan oleh BRI International Green Development Coalition (BRIGC) and Foreign Environmental Cooperation Center (FECO), Kementerian Ekologi dan Lingkungan Tiongkok, mengungkapkan Indonesia membutuhkan sokongan pendanaan yang besar, sekitar USD 1 triliun, dari negara-negara maju dan negara lainnya, salah satunya Tiongkok, untuk mencapai net-zero emission pada 2060.

“Pembiayaan merupakan hal yang krusial, yang berperan sebagai tulang punggung transisi ini. Opsi pembiayaan yang mudah diakses dan terjangkau dapat mempercepat transisi rendah karbon secara global, meningkatkan penerapan teknologi hijau, menghentikan penggunaan aset padat emisi, dan mengoptimalkan portofolio aset energi,” ungkap Fabby.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

IESR memandang Tiongkok dapat mendukung Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pendanaan untuk mempercepat transisi energi. 

“Melalui BRI ini, Tiongkok dan Indonesia dapat membentuk kemitraan pembiayaan transisi energi. Kemitraan ini perlu melibatkan lembaga keuangan, penyedia teknologi, dan pemerintah,  sehingga dapat membuka lebih banyak lagi pembiayaan domestik, memacu inovasi, dan mendorong kemakmuran ekonomi bersama,” jelas Fabby. 

Fabby meyakini bahwa pengembangan energi terbarukan menjadi tiket untuk memuluskan upaya penurunan emisi global yang akan berkontribusi dalam mencegah krisis iklim yang lebih parah. Tidak hanya itu, pemanfaatan energi terbarukan secara masif juga akan meningkatkan keamanan energi Indonesia. 

Dari sisi teknologi, Tiongkok juga memimpin dunia dalam pengembangan energi terbarukan, terutama PLTS. Pada peta jalan dekarbonisasi sistem energi Indonesia untuk mencapai target Persetujuan Paris yakni bebas emisi pada 2050, IESR menemukan Indonesia memerlukan pemanfaatan energi surya melalui PLTS hingga 80% dari sistem energi di Indonesia pada 2050.

“Menurut kajian Deep Decarbonization IESR pada 2030, kapasitas energi terbarukan perlu mencapai 138 GW, di mana PLTS mendominasi. Di sisi lain, Tiongkok menguasai sekitar 90% kapasitas manufaktur panel surya global dan setengah dari kapasitas manufaktur turbin angin global. Oleh karena itu, potensi pasar energi terbarukan yang masif di Indonesia dapat dipenuhi oleh perusahaan Tiongkok dan di saat bersamaan perlu terjadi pembangunan kapasitas manufaktur energi terbarukan serta transfer teknologi ke Indonesia. Kerjasama bilateral kedua negara dapat memfasilitasi dan mengakselerasi terwujudnya hal tersebut,” terang Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Deon menambahkan bahwa Tiongkok sudah aktif berinvestasi di sektor energi, industri, dan infrastruktur di Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi kedua negara untuk memperkuat kerjasamanya dengan mengalihkan rencana investasi yang saat ini masih berpusat pada dukungan terhadap energi fosil, menjadi pembangunan industri energi terbarukan.

Membumikan Narasi Transisi Energi

Jakarta, 13 Oktober 2023 – Seiring dengan jelasnya ambisi Indonesia untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dan mencapai bebas emisi (net zero emission/NZE) pada 2060, pemerintah dan pihak terkait perlu bergandeng tangan memperkuat pemahaman masyarakat terhadap transisi energi, sebagai salah satu upaya mencapai target-target tersebut.

Agus Tampubolon, Manager Proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE), Institute for Essential Services Reform (IESR), menuturkan perspektif tentang alam dan pemanfaatan energi terbarukan yang ada di Indonesia haruslah terinternalisasi dalam pikiran dan kehidupan setiap individu.

“Setiap individu cenderung melindungi segala sesuatu yang menjadi milik kepunyaannya. Maka, jika setiap orang mempunyai pemikiran bahwa alam, hutan, lautan, lingkungan adalah milik kepunyaan yang berharga, dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam hidupnya, hal tersebut akan mendorong aksi yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023.

Relevansi isu transisi energi dengan kehidupan masyarakat akan pula meningkatkan pemahaman mengenai transisi energi yang berujung pada perubahan perilaku yang lebih ramah lingkungan dan bertambahnya aksi mendorong kebijakan untuk adopsi energi terbarukan. 

“Transisi energi itu multidimensi, bukan hanya aspek teknis, namun banyak juga muatan sosialnya.   Untuk itu, setiap dari kita penting terlibat dan berkontribusi dalam proses ini agar transisi yang berkeadilan itu tercapai,” kata Agus. 

Di sisi lain, kegiatan yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap transisi energi perlu pula menekankan sikap positif bahwa Indonesia mampu mencapai target bebas emisi sesuai Persetujuan Paris. Dukungan data yang terpercaya akan membantu menepis sikap pesimisme dalam mendukung suatu inisiatif yang pro energi terbarukan.

“Pesimisme dapat saja berasal dari sikap ketidakberdayaan dan memandang bahwa keluar dari jebakan energi fosil yang sudah berlangsung berabad-abad adalah upaya yang mustahil dan mahal. Padahal jika tetap bertahan pada energi yang polutif tersebut, negara akan mengeluarkan biaya yang jauh lebih mahal, mempercepat kenaikan suhu global yang memperparah krisis iklim,” ungkapnya.

Ketersediaan data terkait besarnya potensi energi terbarukan di Indonesia, kajian yang menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai bebas emisi lebih cepat, disertai dengan rekomendasi aksi yang dapat diimplementasikan dan terukur, dan kolaborasi aksi advokasi yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat merupakan beberapa cara untuk menyebarkan optimisme dan mendorong percepatan transisi energi untuk Indonesia mencapai bebas emisi lebih cepat.

Menghitung Biaya Pengakhiran Dini Operasional PLTU Batubara dan Intervensi Dekarbonisasi Lain

Jakarta, 11 Oktober 2023 – Pengakhiran dini operasional PLTU batubara dari tahun pensiun PLTU alaminya dipandang memiliki biaya yang lebih rendah dibandingkan memperpanjang usia PLTU batubara dengan penambahan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS). Hal tersebut disampaikan oleh Fadhil Ahmad Qamar, Staff Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara (SEA), Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023.

Fadhil menyampaikan biaya penambahan teknologi CCS cenderung tinggi disebabkan oleh besarnya biaya pengadaan atau modal awal (capital expenditure, Capex) dan pengeluaran operasional (operating expenditure, Opex) CCS. Selain itu, menurutnya, pengakhiran dini operasional PLTU batubara berpotensi untuk menghasilkan pengurangan emisi PLTU yang mirip dengan pengurangan emisi yang dihasilkan dari penerapan CCS, dengan biaya yang lebih rendah.

“Untuk dapat menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari pengakhiran dini operasional PLTU batubara dan penerapan teknologi CCS pada PLTU batubara dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian dari pembiayaan inovatif sehingga tidak membebankan anggaran negara,” ungkap Fadhil.

Raditya Wiranegara, Analis Senior, IESR pada kesempatan yang sama, juga menekankan kembali pentingnya aspek sosial dan ekonomi dari pengakhiran dini operasional PLTU batubara, terutama jika kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap beroperasinya PLTU batubara. Selain itu, pemangku kebijakan juga perlu untuk menggunakan pendekatan perumusan kebijakan terkait rencana penghentian pengoperasian PLTU batubara yang berbasis data, baik itu data aset pembangkitnya sendiri maupun biaya-biaya eksternalitas yang terkait dengan operasinya, seperti biaya sosial akibat polusi lokal yang dihasilkan oleh PLTU batubara. 

“Sehingga, penting untuk ke depannya, rencana penghentian operasi PLTU batubara ini masuk ke dalam RPJPN, sehingga dapat dipersiapkan jaringan pengaman sosial seperti apa dan berapa banyak yang diperlukan untuk meminimalisir dampak pengakhiran operasi PLTU batubara, baik pada masyarakat di sekitar pembangkit maupun di daerah penghasil batubara. Langkah-langkah antisipasi lainnya, seperti penyiapan peralihan tenaga kerja dari PLTU batubara ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam RPJPN,” jelas Raditya.

Transisi Energi Jadi Game Changer untuk Capai Ambisi Indonesia Emas 2045

Jakarta, 10 Oktober 2023 – Indonesia tengah mengejar ambisi Indonesia Emas pada 2045 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi, ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita setara dengan negara maju serta penurunan intensitas emisi. Agar pertumbuhan ekonomi tetap meningkat, dengan pemenuhan energi yang andal serta rendah emisi, maka energi menuju energi terbarukan menjadi salah satu cara penting dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Ervan Maksum, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/Bappenas mengungkapkan, transisi energi menjadi salah satu pengubah signifikan (game changer) untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Menurut Ervan, penyediaan energi yang berkelanjutan perlu didorong agar dapat memenuhi pelayanan dasar, menopang kegiatan ekonomi, dan pertumbuhan bangsa yang berkualitas.

“Transisi energi tidak hanya memerlukan implementasi teknologi modern, namun juga membutuhkan dukungan regulasi dan kelembagaan. Melalui transisi energi, kami berharap agar dapat memenuhi komitmen Indonesia kepada dunia di mana penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia mampu mencapai 32%-43% pada tahun 2030 serta target net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat,” ungkap Ervan pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan pentingnya pengembangan  ekosistem energi terbarukan dan memasukkannya ke dalam strategi di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Menurutnya, transisi energi harus diupayakan mencapai target penurunan emisi yang lebih ambisius lewat akselerasi energi terbarukan, dengan menarik lebih banyak pendanaan dari dalam dan luar negeri, dan memanfaatkan pembiayaan transisi energi yang tersedia, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).

“Prioritas transisi energi dan penurunan emisi dalam RPJPN dan RPJMN harus menjadi prioritas para calon presiden, parpol dan calon anggota legislatif yang akan berkontestasi di 2024. Pengakhiran operasional PLTU batubara yang selaras dengan target Persetujuan Paris, dan transisi energi berkeadilan perlu diusung sebagai agenda politik dan program kerja di sisa waktu pemerintahan sekarang dan pemerintah baru nanti,” jelas Fabby.       

Yudo Dwinanda Priaadi, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut pihaknya telah menyusun Peta Jalan Pengakhiran Dini Operasional PLTU Batubara sesuai yang dimandatkan Perpres 112/2022. Salah satunya ialah menargetkan pengakhiran dini operasional PLTU batubara hingga 2030 dengan total kapasitas PLTU batubara sebesar 6,1 GW untuk mencapai target JETP yakni mencapai puncak emisi 290 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

“Agar keandalan sistem energi terjaga, maka ada skenario alternatif seperti pemanfaatan energi terbarukan menggunakan baterai, interkoneksi energi terbarukan Jawa-Sumatera, co-firing PLTU dengan maksimum 10 persen,” ungkap Yudo dalam paparannya di kesempatan yang sama.  

Pengakhiran dini operasional PLTU batubara juga termasuk pada lima area fokus investasi Just Energy Transition Partnership (JETP). Hal ini disampaikan oleh Paul Butarbutar, Kepala Deputi Sekretariat JETP. Ia menuturkan selain pengakhiran dini operasional PLTU batubara, fokus  investasi di bawah skema JETP lainnya adalah pembangunan transmisi dan distribusi,  energi terbarukan yang bersifat dapat dikontrol dan konstan (dispatchable), variabel energi terbarukan dan rantai pasok, serta program transisi energi berkeadilan.  

“Ke depannya, untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi energi terbarukan, PLTU dapat tetap beroperasi dengan porsi energi yang dibangkitkan yang berkurang. Kita juga mendorong investasi industri energi terbarukan, rencananya akan ada dua pabrik yang memproduksi panel surya yang akan beroperasi di kuartal tiga dan kuartal empat tahun depan. Dari berbagai fokus area investasi ini, dibutuhkan USD 95 miliar sampai 2030 dengan fokus paling besar di variable renewable energy (VRE),” jelasnya.