Kerja Sama Transisi Energi Indonesia-Tiongkok, Dialog Tingkat Tinggi Pertama Digelar

Kerja Sama Transisi Energi Indonesia-Tiongkok, Dialog tingkat tinggi pertama untuk memajukan kerja sama energi terbarukan antara Indonesia dan Tiongkok


26 September 2023 –
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyelenggarakan dialog tingkat tinggi yang pertama kali diadakan antara Indonesia dan Tiongkok untuk memperdalam kerja sama antara kedua negara dalam hal transisi energi pada Selasa (26/9) di Jakarta. Dialog ini diselenggarakan atas kerjasama dengan Kemenko Marves, lembaga think-tank Indonesia Institute for Essential Services Reform (IESR), BRI International Green Development Coalition (BRIGC) yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan di Tiongkok, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional di bidang hukum lingkungan, ClientEarth. Dialog ini menjadi dasar dari laporan yang akan diterbitkan oleh IESR, BRIGC dan ClientEarth mengenai peran China dalam mempercepat transisi energi di Indonesia. 

Dialog ini mempertemukan perwakilan dari kedua lembaga pemerintah dan para pemimpin industri utama untuk mempresentasikan dan bertukar pandangan dari kedua negara untuk menemukan kesamaan dalam membangun kerja sama terutama di sektor energi. Hadir dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut di antaranya Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Investasi, PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi, dan Kementerian Perindustrian dari Indonesia dan National Development and Reform Commission (NDRC), lembaga afiliasi Kementerian Perdagangan, China Development Bank, BRI International Green Development Coalition, China Renewable Energy Engineering Institute, dan Asosiasi Industri Energi Terbarukan dari China.

Tahun ini menandai ulang tahun ke-10 pengumuman Belt and Road Initiative (BRI) bersamaan dengan ulang tahun ke-10 dari kemitraan strategis komprehensif antara Tiongkok dan Indonesia. Selama satu dekade terakhir, China semakin memprioritaskan kerja sama dalam pembangunan hijau dan telah mengimplementasikan sejumlah proyek energi bersih yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berkelanjutan. Dengan keunggulan teknologi dan biaya, kemitraan yang saling menguntungkan ini dapat membawa peluang lompatan ke depan bagi para investor China, dan memanfaatkan transisi rendah karbon di Indonesia.

Antara tahun 2006 hingga 2022, investasi China di Indonesia mencapai sekitar USD 35 miliar. Seperempat dari total investasi ini disalurkan ke sektor energi. Namun, 86% dari jumlah tersebut digunakan untuk industri energi berbahan bakar fosil. Sejalan dengan janji Presiden Xi Jinping pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-76, Cina mengumumkan bahwa mereka akan “meningkatkan dukungan bagi negara-negara berkembang lainnya dalam mengembangkan energi ramah lingkungan dan rendah karbon, serta tidak akan membangun proyek-proyek pembangkit listrik tenaga batubara di luar negeri.” Salah satu dari lima proposal yang dibuat oleh Presiden Xi pada Peringatan 30 Tahun Hubungan Dialog China-ASEAN adalah untuk “bersama-sama mempromosikan transisi energi regional, mendiskusikan pendirian pusat kerja sama energi bersih China-ASEAN, dan meningkatkan pembagian teknologi dalam energi terbarukan” dan untuk “mengintensifkan kerja sama dalam keuangan dan investasi hijau untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan di tingkat regional”.

Dialog ini dilakukan untuk memahami perkembangan Indonesia dan Tiongkok khususnya di bidang energi berkelanjutan dan industri manufakturnya. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Untuk mencapai target ini, dibutuhkan investasi sebesar USD 1,1 triliun atau setara dengan 768 GW kapasitas energi terbarukan. Tenaga surya akan menjadi teknologi terdepan dalam transisi menuju nol emisi di Indonesia karena potensinya yang besar, biayanya yang rendah, dan mudah dipasang dalam jangka waktu yang singkat. Indonesia juga memiliki cadangan mineral global yang besar yang dibutuhkan untuk sel surya dan baterai. Oleh karena itu, diperkirakan permintaan modul surya dan komponen lainnya di Indonesia akan meningkat pesat dalam lima tahun ke depan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, “Keberlanjutan telah menjadi bagian inti dari kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) dan terdapat peluang investasi yang sangat besar di antara kedua negara untuk mempercepat transisi hijau dan rendah karbon pada sistem energi Indonesia. Secara teknis dan ekonomis, mencapai nol emisi karbon pada tahun 2050 dapat dilakukan dengan mendekarbonisasi sistem energi Indonesia. Hal ini akan membutuhkan elektrifikasi yang luas pada sektor transportasi utama, penyebaran energi terbarukan secara luas, pengurangan infrastruktur bahan bakar fosil, penggunaan penyimpanan energi dan elektrolisis dalam jumlah besar untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan, serta pembawa energi untuk transportasi dan industri, dan konektivitas jaringan listrik yang dapat diandalkan antara pulau-pulau di Indonesia.”

Untuk memperdalam kerja sama hijau dan rendah karbon antara Tiongkok dan Indonesia, draf laporan “Critical role of China on accelerating Indonesia’s energy transition” dipresentasikan dalam dialog tersebut. Elizabeth Wu, Konsultan Hukum dari tim Sistem Energi ClientEarth di Asia, memoderatori diskusi mengenai temuan-temuan dari laporan tersebut. Diskusi tersebut membahas tentang memperkuat kemitraan energi terbarukan tingkat tinggi antara China dan Indonesia melalui pengembangan strategi jangka panjang bersama dan menyelesaikan perjanjian bilateral, eksplorasi mekanisme inovatif dan struktur pembiayaan untuk meningkatkan jalur proyek hijau dan zona percontohan BRI serta proyek percontohan, dan memperdalam pertukaran dan mengeksplorasi integrasi lebih lanjut dengan strategi regional ASEAN.

Dimitri de Boer, Direktur Program Regional ClientEarth untuk Asia mengungkapkan apresiasinya terhadap kegiatan tersebut. “Belt and Road Initiative (BRI) dapat memainkan peran penting dalam transisi energi global, dengan bekerja sama dengan negara-negara mitra seperti Indonesia untuk benar-benar meningkatkan penyebaran energi terbarukan,” tutup Dimitri de Boer.

Delapan Rekomendasi IETD 2023

press release

Jakarta, 20 September 2023 – Transformasi sektor ketenagalistrikan dengan pengembangan energi terbarukan dan percepatan pengakhiran operasional PLTU batubara membutuhkan pembiayaan signifikan.  Tersedianya pembiayaan transisi energi akan membantu pemerintah, perusahaan utilitas maupun kelompok masyarakat untuk memperbanyak proyek energi terbarukan sehingga semakin menurunkan harga pembangkitan energi terbarukan. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai untuk memenuhi kebutuhan investasi energi terbarukan, Indonesia perlu berinovasi dalam menciptakan skema pembiayaan berkelanjutan yang inovatif.

“Ide skema dan inovasi pembiayaan perlu terus dieksplor mengingat uniknya struktur pasar ketenagalistrikan di Indonesia. Indonesia bisa memanfaatkan proses Just Energy Transition Partnership (JETP) ataupun Energy Transition Mechanism (ETM) untuk eksplorasi skema tersebut. Pada akhirnya skema yang bisa diterapkan pasti membutuhkan masukan dari semua pemangku kepentingan, PT PLN, pemilik pembangkit listrik, dan institusi finansial,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.

Salah satu peluang untuk membiayai transisi energi dengan terbatasnya pendanaan publik, menurut Iliad Lubis, South Asia Utility Transition Manager, Rocky Mountain Institute pada hari ke-3 pelaksanaan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 (20/9), adalah kredit karbon. Illiad menuturkan kredit karbon dapat meningkatkan pendanaan dari kesepakatan transisi dari batubara, membangkitkan kualitas kredit karbon yang lebih tinggi di pasar karbon, dan mempercepat transisi energi.

“Meskipun saat ini ada berbagai persyaratan untuk monetisasi karbon kredit, namun ke depannya peluang untuk memanfaatkan pembiayaan karbon akan menjadi semakin menarik dengan pasar karbon yang diprediksi akan tumbuh signifikan,” ujar Illiad.

Sementara dari kalangan bisnis, kebutuhan pembiayaan seperti pinjaman lunak maupun dukungan kredit dari institusi pembiayaan akan membantu bisnis untuk beralih ke sektor energi terbarukan.

“Tentu saja untuk tahap awal, kami membutuhkan peta jalan transisi energi yang jelas sehingga kami dapat mengetahui besaran pembiayaan yang dibutuhkan. Kedua, menimbang pendanaan publik yang terbatas, kami membutuhkan dukungan pembiayaan dari multilateral maupun filantropis untuk pembiayaan konsesional yang dapat memadukannya dengan bank komersial. Hal ini akan memberikan risiko kredit yang tepat bagi proyek sehingga investor mendapatkan imbal hasil yang memadai,” ungkap Ekha Yudha Pratama, Head and Advisory Services, PT. SMI.

Agar transformasi di sektor ketenagalistrikan berjalan secara cepat untuk mengejar target penurunan emisi yang signifikan, Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan IESR dalam IETD 2023 menyampaikan delapan rekomendasi untuk mempercepat transformasi energi di sektor kelistrikan yang adil di Indonesia.

Pertama, menyusun dan mengajukan transisi energi dan mengaitkannya dengan pembangunan sosial dan ekonomi. IESR dan ICEF menyatakan perlu adanya hubungan yang jelas antara target yang ditetapkan di masing-masing kementerian.

Kedua, tersedianya dukungan yang kuat terhadap pembangunan energi terbarukan dalam lima tahun ke depan. Kesepakatan para pemimpin G20, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukannya, perlu disikapi secara serius dengan memberikan insentif bagi pasar dan industri energi terbarukan.

Ketiga, meningkatkan transparansi dan aksesibilitas data energi terbarukan melalui kolaborasi bersama. Data dan informasi energi terbarukan yang komprehensif dapat memberikan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan, seperti mengurangi ketidakpastian dalam pengembangan proyek bagi IPP, lembaga keuangan serta operator sistem pendukung sehingga memiliki perencanaan yang lebih efisien dalam pemanfaatan energi terbarukan. 

Keempat, menciptakan pusat riset variabel energi terbarukan untuk memperoleh pembelajaran dalam pengembangan energi terbarukan terutama surya dan angin, serta operasi sistem. Hal ini akan mengatasi tantangan pengoperasian sistem yang fleksibel namun tetap andal di tengah ketidakpastian permintaan dan variasi pasokan.

Kelima, mendorong dan memfasilitasi pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat untuk mengidentifikasi potensi energi terbarukan serta mengembangkan pemanfaatan energi terbarukan tersebut untuk rencana transisi energi secara lokal. Transisi energi perlu melibatkan seluruh pihak, langkah pertama yang bisa dilakukan yakni mengidentifikasi kelompok aktor yang berbeda dan melakukan dialog. 

Keenam, meninjau kembali, dan menggabungkan kebijakan dan peraturan untuk memfasilitasi proyek energi terbarukan untuk menemukan  tarif yang kompetitif. Penggabungan kebijakan tersebut, paling tidak, dapat mencerminkan target energi terbarukan yang lebih ambisius, penjadwalan proses pengadaan proyek energi terbarukan yang transparan dan reguler, serta mitigasi berbagai risiko dari pengembangan energi terbarukan.

Ketujuh, menjajaki dan menguji struktur pembiayaan termasuk proyek batubara menjadi energi terbarukan dengan pengembang swasta dan lembaga keuangan serta memanfaatkannya diantaranya melalui skema kerjasama transisi energi yang berkeadilan (Just Energy Transition Partnership.JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). 

Kedelapan, mengutamakan transisi energi sebagai isu utama dalam manifesto politik calon pemimpin nasional dan provinsi menjelang pemilu. Transisi energi akan berdampak langsung terhadap masyarakat, seperti aspek keterjangkauan dan keamanan energi dalam jangka pendek, dan dampak dari perubahan iklim terhadap penghidupan masyarakat secara umum dalam jangka panjang. Untuk itu, Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat dalam proses transisi energi. IETD mendorong agar transisi energi menjadi salah satu agenda utama yang dibahas selama masa kampanye. 

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.

 

Memastikan Efektivitas Pengadaan Proyek Energi Terbarukan

Jakarta, 20 September 2023 – Standardisasi Power Purchase Agreement (PPA) atau perjanjian jual beli listrik menjadi salah satu cara untuk mempercepat negosiasi proyek energi terbarukan serta menghindari potensi terjadinya pelanggaran hukum.  Hal ini menjadi salah satu pembahasan dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023.

Senior Partner of UMBRA,  Kirana Sastrawijaya mengungkapkan hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan standardisasi di antaranya dengan merujuk pada PPA  yang sudah bankable atau memenuhi persyaratan bank dan terbukti sukses.

“Selain merujuk pada PPA yang sudah sukses, hal lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk standardisasi PPA adalah memberikan klausul fleksibilitas untuk menghindari penyimpangan yang dianggap sebagai “pelanggaran hukum”, memberikan fleksibilitas untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru, adanya implikasi studi keuangan untuk menjustifikasi alokasi risiko serta adanya perbandingan dengan negara lain,” jelas Kirana.

Raditya Wiranegara, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, tantangan yang perlu diperhatikan di dalam standardisasi PPA adalah bagaimana caranya standardisasi ini dapat disesuaikan dengan dinamika pasar; apakah dengan pemutakhiran standar PPA di dalam periode tertentu, misalnya. Dengan begitu, investor siap dan tetap mendapatkan kepastian.

“Selain itu, standardisasi ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Kirana, juga perlu memperhatikan teknologi pembangkit. Artinya, standar PPA untuk pembangkit listrik berbasis fosil dibedakan dari standar PPA untuk pembangkit listrik berbasis energi terbarukan” kata Raditya Wiranegara, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR).

Dari kalangan industri, Komite Eksekutif Kadin Net Zero Hub Anthony Utomo menyampaikan dalam pembahasan PPA, ketersediaan proyek energi terbarukan menjadi hal penting.

“Berkaitan dengan PPA yang berhubungan dengan pengembang, pertama, proyek energi terbarukannya harus ada dulu. Kedua, standarisasi PPA akan sangat membantu sehingga negosiasi tidak perlu berlama-lama dan ada transparansi. Ketiga, mengenai hak karbon, terutama untuk PPA yang sudah berjalan, apakah akan menjadi miliknya risk taker (pengampu risiko) PLN atau pengembang,” ungkapnya.

Senior Programme Lead, CEEW Centre for Energy Finance, Arjun Dutt memaparkan pengalaman India dalam pengadaan proyek energi terbarukan melalui proses lelang. Menurutnya, beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menciptakan paket kebijakan yang mendukung pengadaan proyek energi terbarukan adalah dengan adanya kepastian permintaan, memitigasi risiko lahan dan evakuasi, integrasi jaringan, dan memitigasi risiko penjamin (off-taker).

“Hal yang dapat menciptakan kepastian permintaan di antaranya dengan adanya kewajiban pembelian energi terbarukan (Renewable Purchase Obligation, RPO) seperti penentuan standar portofolio energi terbarukan. Selain itu dapat pula membuka akses luas bagi konsumen untuk mempromosikan adopsi energi terbarukan, serta mengembangkkan sumber-sumber baru permintaan energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan hidrogen hijau,” jelas Arjun.

Zulfikar Manggau Senior Specialist Project Management and Power Generation, PT PLN mengakui bahwa pihaknya pun menginginkan pengadaan proyek energi terbarukan, PPA yang lebih efisien dan kompetitif.

“PLN sedang mengupayakan agar bisa segera meningkatkan penjualan melalui industri yang terus tumbuh, sehingga sisi permintaan terus bertambah dan bisa menambah pembangkit energi baru terbarukan ke depannya,” ujar Zulfikar. Zulfikar menyebut pihaknya saat ini sedang finalisasi Permen Perjanjian Jual Beli LIstrik (PJBL).

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.

 

IESR dan Ford Foundation Menyerukan Pemusatan Keadilan dalam Kemitraan Transisi Energi

press release

Jakarta, 19 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Ford Foundation di Indonesia menyerukan kepada pemerintah Indonesia tentang pentingnya mengedepankan prinsip keadilan dalam upaya transisi energi di Indonesia, khususnya pada kemitraan transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP).

JETP adalah mekanisme pembiayaan inovatif yang bertujuan untuk mempercepat transisi energi yang dipimpin negara dari bahan bakar fosil, termasuk batubara, ke sumber energi terbarukan. JETP pada dasarnya menghubungkan paket keuangan yang terdiri dari pembiayaan konsesi (pinjaman lunak) dan hibah dari negara-negara donor, dengan inisiatif transisi energi di negara-negara Selatan.

Dalam laporan yang diluncurkan secara digital oleh IESR dan Ford Foundation hari ini, disebutkan bahwa pendanaan JETP yang dijanjikan tidak cukup untuk menutupi biaya seluruh proses transisi. Sebaliknya, dana ini berfungsi sebagai pendanaan awal untuk mengkatalisasi dan memobilisasi sumber pendanaan lainnya.

Laporan tersebut menyoroti hasil dan rekomendasi dari The JETP Convening, Exchange and Learning from South Africa, Indonesia, and Vietnam yang diselenggarakan pada 25-28 Juni 2023 lalu di Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Ford Foundation, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan African Climate Foundation.

“Karena pendanaan awal JETP memiliki batasan waktu, maka penting untuk menetapkan pencapaian dan proyek yang masuk akal serta dapat dicapai dalam jangka waktu yang disepakati dan mengembangkan strategi untuk memanfaatkan sumber pendanaan lain untuk menutupi biaya untuk mencapai target tahun 2030,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby juga menambahkan bahwa instrumen pembiayaan seperti pinjaman lunak, pinjaman komersial, ekuitas, dana jaminan, hibah dan instrumen lainnya harus dikaji secara cermat agar tidak terjadi ‘jebakan utang’ di masa depan. 

 “Pemerintah harus terus mengadvokasi permintaan hibah dan pinjaman lunak yang lebih besar untuk mencapai target yang disepakati tanpa menambah beban bagi negara penerima,” kata Fabby.

Hal ini ditegaskan Edo Mahendra, Kepala Sekretariat JETP Indonesia saat menjadi pembicara dalam diskusi panel bertajuk ‘Safeguarding the “Just” in Just Energy Transition Partnerships (JETP) and Other Emerging Climate Finance Models’ pada acara Climate Week tanggal 18 September 2023 di New York, Amerika Serikat

“Komponen pendanaan tertinggi masih berasal dari pinjaman komersial dan investasi dengan tingkat bunga non-konsesi. Oleh karena itu, penting untuk membangun kemitraan dan kolaborasi antara pemerintah, organisasi filantropi, dan sektor swasta,” kata Edo.

Ford Foundation di Indonesia memandang bahwa filantropi mempunyai peran penting dalam mendukung prinsip keadilan baik melalui pemerintah maupun langsung kepada masyarakat yang terkena dampak. Mereka mempunyai kemampuan untuk bertindak lebih cepat dibandingkan pemerintah dan menjembatani kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat. Filantropi juga dapat mendukung pengembangan sumber daya manusia dengan memberikan bantuan teknis, peningkatan kapasitas, pelatihan, dan pertukaran pengetahuan.

Prinsip berkeadilan juga harus diterapkan untuk memitigasi dampak transisi energi terhadap masyarakat. Dukungan kepada inisiatif sosial-ekonomi alternatif di bidang-bidang ini penting dilakukan agar gagasan keadilan memihak kepada seluruh kelompok masyarakat. Hal ini termasuk memberikan peningkatan keterampilan dalam peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, mendidik dan membantu pemerintah daerah untuk menyesuaikan strategi dan rencana pembangunan ekonomi mereka untuk jangka panjang, serta menciptakan pendanaan yang didedikasikan untuk mengatasi dampak peralihan dari penggunaan batu bara.

Peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber daya rendah karbon tidak hanya berdampak pada perekonomian di tingkat lokal tetapi juga di tingkat regional atau bahkan nasional. Masyarakat yang tinggal di daerah yang bergantung pada bahan bakar fosil harus beradaptasi dengan lingkungan baru, serta menyesuaikan keterampilan dan pengetahuannya yang mungkin sulit dilakukan dalam waktu singkat.

Alexander Irwan, Direktur Regional Ford Foundation di Indonesia, mengatakan penerapan JETP harus memenuhi prinsip dasar unsur keadilan.

“Elemen keadilan sosial harus dimasukkan dalam diskusi dan rencana transisi. Konsep keadilan harus menjadi pusat perhatian, memastikan transisi yang adil bersifat inklusif bagi semua kelompok atau komunitas, khususnya pekerja, anak-anak, perempuan, dan komunitas lokal yang sangat bergantung pada rantai pasokan bahan bakar fosil,” kata Alex.

Integrasi Kapasitas Energi Terbarukan Lebih Besar Memerlukan Reformasi Sistem Energi

press release

Jakarta, 19 September 2023 – Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia melakukan reformasi sistem ketenagalistrikan yang mampu mengintegrasikan energi terbarukan, terutama surya dan angin atau yang lebih dikenal sebagai Variable Renewable Energy (VRE) atau variabel energi terbarukan, dengan kapasitas yang lebih besar melalui pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel, memperkuat kapasitas perkiraan (forecasting) VRE dan revitalisasi infrastruktur jaringan. 

Setidaknya ada tiga hal kunci yang perlu dipertimbangkan. Pertama, insentif bagi pemain yang terlibat di dalam pengoperasian sistem tenaga listrik yang fleksibel. Kedua, transparansi di dalam proses pengadaan, baik itu pembangkit energi terbarukan maupun infrastruktur jaringan. Ketiga, reformasi regulasi yang dapat mengakomodasi pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel serta mendorong adopsi energi terbarukan yang lebih besar.

Peluang untuk mereformasi sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan lebih banyak kapasitas energi terbarukan perlu dukungan investasi yang mumpuni pula. Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara, Kementerian Investasi dan BKPM RI, Hasyim Daeng Barang, mengatakan minat investor terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia mulai terbangun.  Untuk itu, pihaknya berupaya menjembatani kebutuhan investor, khususnya terkait inisiasi pengembangan proyek energi baru terbarukan dengan melakukan koordinasi dan menghubungkan pihak investor dengan pihak yang berkepentingan terkait.

“Kementerian Investasi/BKPM juga berupaya untuk memberikan informasi yang komprehensif kepada investor melalui penyusunan penawaran proyek yang dapat diinvestasi (Investment Project Ready to Offer) dengan keluaran berupa dokumen pra feasibility study terkait proyek strategis di daerah,” jelas Hasyim dalam pelaksanaan hari-ke 2, Indonesia Energy Transition Dialogue 2023 pada Selasa (19/9/23).

Selain itu, BKPM menilai bahwa disamping mendorong investasi pada sektor potensial/prioritas, urgensi keberlanjutan tetap merupakan tanggung jawab seluruh sektor perekonomian.

Di dalam presentasinya, Senior Advisor Programme Manager International Energy Agency (IEA), Michael Waldron, mengenalkan enam tahapan integrasi variabel energi terbarukan di dalam sistem ketenagalistrikan. Menurut Michael, Indonesia, dengan bauran variabel energi terbarukan-nya yang saat ini masih berada di bawah 1%, berada di dalam tahap satu dari integrasi variabel energi terbarukan. Hal ini berarti pengoperasian variabel energi terbarukan masih memberikan dampak yang sangat minor terhadap sistem ketenagalistrikan. Namun, perencanaan ke depannya perlu tetap mempertimbangkan bauran variabel energi terbarukan yang lebih tinggi, apalagi biaya pembangkitan variabel energi terbarukan memiliki tren yang semakin menurun selama satu dekade terakhir.

Menyoal harga sistem ketenagalistrikan dan biaya investasi di Indonesia,  Michael menilai masih berada di atas harga yang ditetapkan oleh pasar internasional. Hal ini membuat keekonomian pembangunan energi terbarukan tidak cukup menarik di Indonesia. Ia mendorong agar Indonesia menurunkan harga melalui reformasi kontrak dan operasional dalam sistem tenaga listrik untuk menarik lebih banyak investasi serta membangun integrasi jaringan listrik antar pulau juga penting bagi Indonesia yang menghubungkan sumber energi terbarukan dengan pusat beban atau permintaan energi. Reformasi kontrak dan operasional, ia menambahkan, juga perlu menyasar pembangkit listrik konvensional, seperti PLTU batubara, yang sebetulnya dapat berperan di dalam hal pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel.

Menurutnya, kemajuan interkoneksi di ASEAN serta pengoperasian sistem energi yang fleksibel di Indonesia akan mempercepat penurunan emisi dan meningkatkan penghematan biaya. 

“Sistem energi Indonesia dapat mempersiapkan porsi energi terbarukan yang lebih besar melalui penerapan kontrak baru, memberikan insentif untuk investasi di jaringan listrik, mengembangkan strategi fleksibilitas sistem, serta mengadaptasi perencanaan dan operasi jaringan listrik untuk memaksimalkan porsi variasi energi terbarukan dan menetapkan visi untuk jaringan listrik pintar,” ungkap Michael.

General Manager PLN Unit Induk Pusat Pengatur Beban Jawa, Madura, dan Bali (PLN UIP2B Jamali), Munawwar Furqan, mengungkapkan pembangkit dengan variasi energi terbarukan saat ini berlokasi di Sulawesi, terdiri dari 5 pembangkit energi terbarukan dengan total 170 MW, di antaranya Likupang SPP 15 MW, Sumulata SPP (2 MW), Sidrap WPP kapasitas 77 MW, Tolo (Jeneponto) kapasitas 66 MW. Namun demikian, Munawwar menyebutkan pihaknya telah mengidentifikasi beberapa tantangan dari pengoperasian sistem energi yang mengakomodasi variasi energi terbarukan, di antaranya sifat intermitensi energi terbarukan yang berpengaruh terhadap sistem, keandalan dan frekuensi yang berubah-ubah.

“Beberapa strategi yang dilakukan untuk mengendalikan intermitensi variasi energi terbarukan seperti merevisi kode jaringan (grid code) untuk bisa diterapkan bagi pengguna jaringan, prakiraan dan pengurangan beban (forecasting and load curtailment) untuk kestabilan sistem, serta memasang sistem penyimpanan energi baterai. Kapasitas perkiraan menjadi hal penting untuk pengoperasian pembangkit dengan variasi energi terbarukan agar bisa mengatur variabilitas serta mengantisipasinya,” jelasnya. 

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut pihak terkait perlu menginventarisasi data perkiraan cuaca sehingga dapat membuat perkiraan (forecasting) yang lebih akurat dan perencanaan investasi pembangkit energi terbarukan yang lebih efisien. 

“Kolaborasi dengan pihak lain seperti BMKG untuk perkiraan cuaca penting dan potensial. Aktual kondisi cuaca di masing-masing tempat harus dilakukan. Ketersediaan data perkiraan cuaca, radiasi surya untuk publik penting karena akan bermanfaat dan menguntungkan banyak pihak. Data yang akurat menjadi basis fleksibilitas sistem sehingga bisa melihat kebutuhan baterai, variasi energi terbarukan dan lain-lain,” sebut Deon.

Menyoroti penyimpanan energi untuk mendukung integrasi energi terbarukan, Indonesia melalui Indonesia Battery Corporation (IBC) juga semakin serius pada rencana Battery Energy Storage System (BESS) atau teknologi untuk menyimpan energi listrik dengan menggunakan baterai khusus. BESS akan dapat menyimpan energi berlebih yang didapat dari sistem energi baru terbarukan untuk menyuplai beban ketika sumber energi terbarukan tidak dapat menghasilkan energi.

“Ada banyak faktor yang membuat proyek BESS berhasil, mulai dari terkait teknologi, daya saing, harga, inovasi dan pertumbuhan pasar. Harga baterai terus turun saat ini diperkirakan di bawah US$200/kWh dan harga perkiraan terus menurun, jadi kita optimis pembangunan BESS menjadi momen tepat bagi masa depan Indonesia,” sebut VP Business Development Indonesia Battery Corporation (IBC), Bayu Yudhi Hermawan.

IBC sendiri membangun industri terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk memproduksi sel baterai untuk kendaraan listrik baik mobil dan motor. Indonesia memiliki potensi besar sebagai produsen nikel terbesar di dunia, yang merupakan bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik. 

“Untuk itu, saat ini IBC menjalankan proyek berbasis nikel, utamanya untuk sisi hilir yakni ekosistem kendaraan listrik dan baterai. Berkaitan investasi kapabilitas, kita yakin dapat menjadi negara yang bisa bersaing dengan negara lain. Sumber daya kita nomor satu dunia terkait cadangan dan produsen nikel,” sebut Bayu.

Komitmen Indonesia Terhadap Transisi Energi Pengaruhi Peluang Pembiayaan

press release

Jakarta, 18 September 2023 – Transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang mengedepankan prinsip berkeadilan dan secara biaya terjangkau bagi masyarakat memerlukan kombinasi faktor strategis, komitmen jangka panjang, kebijakan yang mengarah pada peluang investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan inovasi teknologinya. Hal ini diungkapkan oleh Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR).

“Semua bentuk investasi, terutama untuk infrastruktur energi yang masa operasinya mencapai lebih dari dua dekade, memerlukan kepastian hukum dan kebijakan jangka panjang terkait investasi tersebut. Hal ini penting agar pengembang proyek energi dan lembaga keuangan dapat memperhitungkan risiko dari proyek tersebut. Apalagi, proyek energi terbarukan relatif memerlukan investasi besar di awal dibandingkan sumber energi lainnya. Dengan komitmen target jangka panjang dan juga sinergi dari berbagai kebijakan dan regulasi yang ada, maka tingkat resiko investasi dapat ditekan sehingga proyek energi terbarukan tetap bankable dengan pendanaan bunga rendah,” jelas Deon.

Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 mengatakan bahwa setiap transisi yang dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia harus berlangsung secara adil dan terjangkau. Ia menilai, untuk mencapai Updated Nationally Determined Contribution (NDC) atau NDC yang dimutakhirkan sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) pada 2030 di sektor energi mencapai Rp3.900 triliun. Sementara kebutuhan finansial untuk Enhanced NDC (ENDC) dengan target penurunan emisi tanpa syarat sebesar 31,89%, saat ini masih dalam proses estimasi.

Febrio memaparkan, pihaknya telah melakukan beberapa terobosan dalam upaya pembiayaan transisi energi di Indonesia di antaranya dengan memperluas investasi melalui sukuk hijau yang total mobilisasi investasi dari penerbitan sukuk hijau mencapai USD 6,54 miliar dari periode 2018-2022, serta implementasi beberapa kerangka kerja regulasi dalam Energy Transition Mechanism (ETM) telah dilakukan. Febrio menekankan kolaborasi untuk blended finance (pendanaan campuran) dengan sektor swasta semakin berpeluang besar.

“Salah satu hambatan dari sektor swasta (untuk berinvestasi di transisi energi-red) adalah kurangnya pemahaman yang sama atau taksonomi. Tahun ini, dengan Indonesia sebagai ketua ASEAN, salah satu yang disepakati adalah kegiatan transisi juga akan mencakup pengakhiran dini operasional PLTU batubara yang termasuk dalam taksonomi keuangan transisi. Terdapat ketentuan hijau dengan batasan tertentu yang dapat dibiayai sektor swasta, misalnya, jika pensiun dini sebelum 2040, maka sektor swasta bergabung (membiayai-red),” ungkap Febrio.

Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan tren biaya energi terbarukan cenderung menurun sementara energi fosil, seperti batubara semakin meningkat. Menurutnya, meskipun kebutuhan investasi untuk bertransisi energi sangat besar, namun Indonesia memiliki potensi energi terbarukan dan berbagai bentuk pembiayaan yang juga berasal dari berbagai organisasi internasional.

“Investasi yang besar (untuk transisi energi-red) sebenarnya menjadi peluang untuk mentransisi sektor energi.  Memang akan ada peningkatan biaya, namun kita akan merasakan manfaat dari penurunan biaya energi terbarukan dalam periode jangka yang panjang,” jelas Dadan.

Jonathan Habjan, Konselor Ekonomi Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengatakan transisi energi bukan proses yang mudah, dan melibatkan banyak orang dalam jangka waktu yang panjang sehingga perlu dilakukan dengan benar dan efisien 

“Tentu ini akan memakan biaya yang besar, membutuhkan banyak usaha, dan mengubah cara bisnis dalam banyak hal,” ungkapnya.

Jonathan menambahkan untuk memastikan bahwa transisi energi berlangsung secara adil, maka perlu melibatkan masyarakat yang tergolong rentan termasuk kelompok masyarakat yang masih bekerja di industri batubara.

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023.

Transformasi Sektor Ketenagalistrikan Menjadi Langkah Strategis dalam Mempercepat Pengurangan Emisi

press release

Jakarta, 18 September 2023 – Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia untuk mempercepat transformasi sektor ketenagalistrikan. Hal ini menjadi fokus diskusi dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 yang diselenggarakan oleh ICEF dan IESR bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). IESR dan ICEF menganggap transisi energi di sektor ketenagalistrikan merupakan langkah strategis yang secara beriringan menurunkan emisi di sektor lainnya seperti sektor transportasi dan industri.

“Fokus saat ini semestinya ada pada pengembangan energi terbarukan untuk menjadi tulang punggung energi primer di Indonesia. Inovasi teknologi dalam hal pembangkitan energi dari energi terbarukan yang potensial seperti biomassa, geothermal, hidro, surya, angin, dan lainnya perlu meningkat,” ungkap Bambang Brodjonegoro, Ketua ICEF.

Bambang menyoroti bahwa Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang jelas untuk bertransisi energi yang disuarakan secara aktif melalui berbagai forum internasional dan diplomatik, dengan tekad untuk mendorong lebih banyak kerja sama dan investasi ramah lingkungan untuk transisi energi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif mengatakan dalam sambutannya pada IETD 2023 bahwa transisi energi membutuhkan transformasi yang signifikan dari infrastruktur, khususnya untuk negara berkembang. Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam proses transisi energi di Indonesia.

“Ketidaktersediaan infrastruktur yang mendukung, investasi yang terbilang tinggi dengan pendanaan yang terbatas menjadi beberapa tantangan transisi energi di Indonesia. Indonesia berkolaborasi dengan negara lain untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut untuk menyediakan teknologi yang bersaing, pembiayaan yang kompetitif, akses yang mudah untuk pembiayaan yang berkelanjutan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusianya,” jelas Arifin.

Yudo Dwinanda Priaadi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, turut menjelaskan, “Pendanaan kita dapatkan dengan trust, oleh karena itu program-program yang berjalan juga harus selaras dengan rencana global. Saat ini pendanaan JETP sedang diperjuangkan dan masih terus dimatangkan melalui diskusi antara pemerintah Indonesia dan IPG di New York, AS.” 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan ICEF menyebut salah satu hal istimewa dalam IETD 2023 ialah pertama kalinya diselenggarakan bersama oleh Kementerian ESDM. Ia juga menekankan agar transisi energi berjalan adil, aman, dan bermanfaat bagi seluruh warga negara, maka memerlukan perencanaan yang matang dan melibatkan seluruh kelompok masyarakat. Menurut Fabby, transisi energi di sektor ketenagalistrikan menjadi sektor strategis yang mudah untuk pengurangan emisi karena 3 hal seperti kelayakan teknologi pengganti (energi terbarukan-red), integrasi jaringan listrik yang bisa direncanakan, dan manfaat ekonomi dari semakin murahnya energi terbarukan. 

“Faktor teknologi tersebut mencakup integrasi energi terbarukan, solusi penyimpanan energi, interkoneksi serta fleksibilitas sistem tenaga listrik. Kemudian, integrasi jaringan listrik di mana pembangkit listrik dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam jaringan listrik yang sudah ada. Sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari dapat ditambahkan secara bertahap, sehingga memudahkan peningkatan produksi energi ramah lingkungan tanpa gangguan signifikan terhadap pasokan energi. Selain itu, ada juga manfaat ekonomi di mana biaya teknologi energi terbarukan yang semakin kompetitif dengan bahan bakar fosil,” tutup Fabby.

IETD 2023 : Memampukan Percepatan Transformasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia

Jakarta, 13 September 2023 – Indonesia Clean Energy Forum (ICEF)  dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan kembali menyelenggarakan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023  pada 18-20 September 2023 dengan tema “Memampukan Percepatan Transformasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia”. Baik ICEF maupun IESR sepakat bahwa transisi energi di Indonesia adalah sebuah keniscayaan, menimbang Indonesia telah berkomitmen untuk  berkontribusi secara global terhadap pengurangan emisi melalui ratifikasi Persetujuan Paris pada UU No. 16/2016.

Direktur Eksekutif ICEF dan IESR, Fabby Tumiwa dalam Media Briefing “Mempersiapkan Transisi Energi Indonesia dan Antisipasi Implikasinya serta Peluncuran Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023” mengatakan bahwa tema IETD 2023 berfokus pada sektor ketenagalistrikan yang merupakan  sektor strategis untuk bertransformasi menuju energi terbarukan. Ia menyebut, saat ini transisi energi di sektor ketenagalistrikan telah didukung dengan ketersediaan teknologi, adanya potensi pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), serta kerangka kebijakan pendukung seperti Perpres No. 112/2022.

Menurutnya, transisi energi merupakan proses yang kompleks dan mempunyai implikasinya yang besar sehingga memerlukan dialog multi-stakeholder agar dapat mengantisipasi dan memitigasi dampak transisi energi di Indonesia, salah satunya melalui penyelenggaraan IETD 2023 tersebut.

“Pemerintah Indonesia sedang meninjau draft dokumen dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif dari Just Energy Transition Partnership (JETP) di mana ada sejumlah target yang disepakati, seperti puncak emisi kelistrikan 290 juta ton CO2 dan 34% bauran energi terbarukan pada 2030, serta mencapai nol emisi karbon (net zero emission/NZE) sektor kelistrikan pada 2050. Untuk itu, kita perlu memastikan semua rencana dan target ini tercapai dengan proses yang adil serta mendapat dukungan seluruh pihak,” jelas Fabby Tumiwa.

Gigih Udi Atmo, Direktur Konservasi, Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti salah satu upaya bertransisi energi yakni dengan pengembangan energi terbarukan. Menurutnya, integrasi energi terbarukan membutuhkan ekspansi jaringan yang dapat mengakomodasi energi terbarukan tersebut.

“Konektivitas melalui ekspansi jaringan (grid) menghubungkan pusat beban dengan sumber energi terbarukan akan sangat strategis ke depan. Yang paling bisa dilaksanakan pada waktu dekat adalah interkoneksi antara Pulau Sumatera dan dan Pulau Jawa untuk memampukan evakuasi dari energi terbarukan berbasis surya, air, panas bumi yang ada di Sumatera, bisa melistriki permintaan (demand) yang ada, di Jawa. Pasokan listrik di Jawa juga bisa digunakan sebagian melistriki sumber demand yang ada di Sumatera. Jadi, pertukaran daya, keseimbangan energi antara dua jaringan paling besar di Indonesia ini bisa dioptimalkan,” ujar Gigih. 

Gigih menambahkan untuk mencapai target nol emisi karbon (net zero emission/NZE), jika  ada dukungan internasional maka pengakhiran operasional PLTU batubara dapat dipercepat. Tipe dukungan internasional seperti jenis pembiayaan berupa hibah atau pinjaman lunak menjadi penentu proses pengakhiran operasional PLTU batubara dengan memanfaatkan pembiayaan yang murah untuk mengakselerasi pemulihan investasi sehingga aset PLTU batubara bisa berhenti operasi lebih awal tanpa melanggar kontrak kerjasama yang sudah ada

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo menuturkan, rencana dan strategi transisi energi yang telah disusun pemerintah perlu didukung dan dikritisi agar prosesnya berjalan lebih cepat dan lebih mulus dengan strategi dan program yang lebih baik. Terlebih, dekarbonisasi sektor kelistrikan akan menjadi penggerak bagi dekarbonisasi sektor lainnya. 

“Dalam melakukan proses transisi energi yang terpenting juga perlu memberikan ruang bagi semua aktor untuk berkontribusi secara nyata mengembangkan energi terbarukan. Artinya bukan hanya industri besar, tetapi juga pemerintah daerah, pelaku bisnis kecil menengah dan komunitas perlu berperan serta. Dalam hal ini juga, strategi akses penyediaan energi terbarukan juga patut diperhatikan dan menjadi bagian transisi berkeadilan,” kata Deon.   

Dalam Forum Diskusi Media: Transisi Energi Indonesia, IESR dan ICEF juga mengumumkan peluncuran The-6th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) yang akan diselenggarakan pada 18 – 20 September mendatang. Acara ini menjadi platform penting untuk berdiskusi, berbagi ide, dan menghasilkan solusi nyata dalam mendukung transisi energi di Indonesia. IETD 2023 juga akan menyatukan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat umum, untuk membahas tantangan dan peluang dalam perubahan menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

 

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.