Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.

Atur Strategi untuk Tingkatkan Pendanaan JETP

press release

Jakarta, 29 Agustus 2023 – Penundaan  dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (comprehensive investment and policy plan, CIPP) yang semula dijadwalkan  Agustus 2023 menjadi akhir tahun 2023, dipandang Institute for Essential Services Reform (IESR)  perlu dilakukan untuk penyempurnaan dokumen CIPP tersebut  untuk memenuhi target yang disepakati dan merumuskan  kerjasama transisi energi yang adil (Just Energy Transition Partnership/JETP), serta membuka konsultasi publik yang lebih luas. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, untuk meraih target menurunkan emisi puncak gas rumah kaca (GRK) yang ditetapkan dalam JETP hingga 290 MT CO2 tahun 2030, mencapai bauran energi terbarukan menjadi 34 persen tahun 2030, dan mencapai emisi nol bersih (Net Zero Emission, NZE) pada tahun 2050, setidaknya diperlukan dana sebesar USD 130 – 150 miliar.

Salah satu strategi adalah dengan melakukan penurunan kapasitas PLTU melalui pensiun dini atau pensiun secara alami sebelum 2030. IESR memperkirakan penurunan kapasitas PLTU dapat mencapai 8,6 GW perlu dilakukan secara bertahap hingga 2030. Ini tidak termasuk penurunan kapasitas PLTU off-grid, di luar wilayah usaha PLN. 

“Hingga saat ini, minat IPG dan GFANZ untuk menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sangatlah rendah, padahal pengurangan PLTU diperlukan untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan,” kata Fabby. 

IESR memperkirakan biaya pensiun dini tersebut mencapai USD 4 miliar, di bawah nilai perkiraan yang diberikan oleh PLN sebelumnya. Menurut Fabby, IPG harus mau menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sebagai konsekuensi keterlibatan mereka dan mempertahankan kredibilitas JETP itu sendiri. 

Selain itu, IESR memandang penyempurnaan dokumen CIPP akan memperjelas jumlah dana yang dibutuhkan untuk proyek prioritas, di antaranya seperti pengembangan pipeline proyek energi terbarukan. Berdasarkan studi IESR, kebutuhan pendanaan untuk transisi energi hingga 2050 apabila ingin sesuai dengan target Persetujuan Paris, investasi yang perlu dikeluarkan Indonesia senilai  USD 1,3 triliun atau rata-rata USD 30 miliar hingga USD 40 miliar setiap tahun. Sementara itu, apabila hanya sampai 2030 dibutuhkan paling tidak USD 130 miliar.

IESR memandang alokasi porsi hibah di dalam skema JETP perlu ditingkatkan untuk mendukung aspek transisi berkeadilan yang luas serta transformasi aktor utama agar bisa mengimplementasikan CIPP yang ambisius dalam waktu dekat. Setidaknya porsi hibah diperlukan sekitar 10%-15% atau USD 2 miliar hingga USD 3 miliar dalam skema JETP untuk mengeksekusi transisi energi di Indonesia.  IESR menyadari bahwa meningkatkan alokasi hibah dalam skala yang diusulkan memerlukan kerja sama dan komitmen kuat baik dari pemerintah Indonesia maupun dari mitra internasional dalam JETP. Melalui kolaborasi yang erat, pihak-pihak yang terlibat diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan finansial ini dan memastikan keberhasilan transisi energi yang berkelanjutan di Indonesia.

“JETP perlu mendukung proses transisi energi di Indonesia, tidak hanya sekedar menentukan proyek prioritas untuk mencapai target saja. Karena JETP membutuhkan perubahan sistemik, maka butuh peningkatan kapasitas aktor utama seperti PLN dan kementerian/lembaga terkait, pendanaan hibah untuk menyusun perubahan-perubahan regulasi/kebijakan, serta juga mendukung aktor yang terdampak jika JETP diimplementasikan nanti, misalnya pekerja di tambang batubara atau masyarakat umum di dekat proyek PLTU,” terang Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

IESR juga menekankan pentingnya melibatkan konsultasi publik yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan terkait JETP. Membuka kesempatan bagi berbagai pemangku kepentingan untuk memberikan masukan akan memastikan bahwa proyek ini mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara lebih akurat. Transparansi dan partisipasi masyarakat yang lebih besar akan memperkuat legitimasi JETP dan menghasilkan hasil yang lebih berkelanjutan.

“Sebagai penerima manfaat yang paling besar, publik, saya pikir, berhak untuk memberikan masukan terhadap dokumen CIPP. Publik yang lebih memahami kondisi riil di lapangan, sehingga partisipasi mereka akan memastikan bahwa aspek transisi berkeadilan yang merupakan salah satu semangat dari JETP dapat terefleksikan. Di awal proses penyusunan dokumen ini, kesekretariatan JETP hanya menggelar satu sesi FGD yang dibuka untuk komunitas masyarakat sipil. Harapannya, di leg kedua proses penyusunan dokumen ini, jumlah sesi FGD bisa ditingkatkan menjadi lebih dari sekali. Tak kalah penting, draf dokumen ini musti bisa dibagikan terlebih dahulu agar dapat dipelajari sebelum sesi FGD,” ungkap Raditya Wiranegara, Analis Senior IESR.

Indonesia Perlu Sinergi Kebijakan dan Strategi untuk Mempercepat Transisi Energi

press release

Bali, 29 Agustus 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama konsorsium Energy Transition Policy Development Forum (ETP) menyelenggarakan diskusi untuk menjembatani antara kebijakan dan praktis dalam transisi energi di Indonesia. Diskusi ini merupakan bagian dari ASEAN Energy Business Forum yang diselenggarakan pada 25 Agustus 2023 di Nusa Dua, Bali, Indonesia. 

Terdapat perwakilan sejumlah entitas bisnis antara lain Quantum Power Asia, Suncable, PT TML Energy dan  Asosiasi Produsen Biofuel di Indonesia (APROBI). Sedangkan perwakilan dari Pemerintah Indonesia antara lain; Kementerian Keuangan, Kementerian Investasi/BKPM, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Pemerintah Provinsi Bali dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). 

Perwakilan bisnis dan pembuat kebijakan yang hadir berdiskusi bersama akan tantangan, ekspektasi dan bagaimana mereka bisa bekerja sama untuk mensukseskan transisi energi di indonesia. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh kedua pihak adalah pendanaan. Di satu sisi, bisnis belum mendapatkan insentif dalam proyek-proyek energi terbarukan dan subsidi energi di Indonesia menyebabkan energi terbarukan tidak bisa berkompetisi dengan harga bahan bakar fosil. Di lain sisi, pemerintah juga membutuhkan pendanaan untuk mengadakan proyek energi terbarukan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil contoh kebijakan dan strategi terbaik yang pernah dilakukan oleh negara lain untuk mengakselerasi energi terbarukan. Namun strategi atau kebijakan tersebut masih harus diadaptasi dengan kearifan-nasional untuk mengakomodasi situasi yang kompleks di sektor energi di Indonesia. 

“Indonesia membutuhkan ekosistem energi yang bisa mendukung investasi dan kerjasama. Kita harus cerdik dan kita membutuhkan inovasi dan pendekatan yang berbeda dari PLN untuk mendukung transisi energi. Dalam posisinya saat ini PLN yang harus mempersiapkan ekosistem dan didukung dengan kebijakan dan regulasi yang disediakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menarik lebih banyak investasi dan pendanaan publik dan swasta. Meskipun sektor swasta dan pemerintah kerap memiliki ekspektasi yang berbeda, tetapi kita harus tetap melangkah maju dengan berbagai keterbatasan yang ada,” ujar Fabby. 

Dalam laporan Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) 2023, IESR menilai masih ada resiko investasi dari pengadaan proyek energi terbarukan yang diakibatkan oleh tarif yang kurang menarik. Hal ini disebabkan rendahnya minat  investor swasta pada proyek energi terbarukan, serta kurangnya transparansi. Indonesia memerlukan reformasi pada lingkungan investasi yang bisa mendukung proyek energi terbarukan, salah satunya kebijakan dan regulasi yang transparan, berdampak jangka panjang dan memberikan kepastian berusaha. Reformasi ini akan meningkatkan  kepercayaan investor swasta dan lembaga keuangan  internasional atas proyek energi terbarukan di Indonesia. 

“Bisnis di Indonesia memiliki keinginan yang tinggi untuk mendukung pengembangan energi terbarukan. Namun, stabilitas dan konsistensi kebijakan harus ditetapkan terlebih dahulu untuk mempersingkat proses negosiasi antara pemerintah dan investor swasta. Hal lainnya yang harus direformasi yaitu menyelaraskan agenda transisi energi antara satu badan dengan yang lain, harmonisasi kebijakan transisi energi antara pemerintah pusat dan daerah, serta inter-konektivitas,” terang Fabby Tumiwa.

Bali NZE 2045: Komitmen Bali untuk Listrik Ramah Lingkungan

press release

Bali, 28 Agustus 2023 – Institute for Essential Services Reform mendorong dan mendukung komitmen Pemerintah Provinsi Bali untuk merealisasikan inisiatif Bali Net Zero Emissions (NZE) 2045. Salah satu upaya yang signifikan dalam inisiatif ini yakni dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan di Pulau Dewata. Dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan merupakan langkah strategis dalam perjalanan Bali untuk mencapai tujuan netral karbon. Langkah ini memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi jejak karbon dan membantu menjaga keindahan alam Bali yang semakin rentan terhadap perubahan iklim.

“Bali saat ini telah memiliki rencana pembangunan rendah karbon berwawasan lingkungan dengan prinsip nangun sat kerthi loka Bali serta berbagai peraturan yang menyasar dekarbonisasi misalnya Peraturan Gubernur Bali tentang Energi Bersih dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Komitmen ini menjadi bekal penting bagi Bali untuk mewujudkan visi NZE 2045 dengan dukungan dari berbagai pihak, dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan menjadi elemen penting mengingat sumber emisi dominan di Bali berasal dari sektor energi, termasuk listrik,” terang Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan pada Bali Job Fair and Education Expo yang diselenggarakan oleh Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Provinsi Bali . 

Dalam kesempatan yang sama, diselenggarakan pula lokakarya khusus untuk menggalang dukungan multipihak dalam mencapai Bali NZE 2045. Dalam lokakarya hari pertama, dibahas perkembangan rencana pembangunan daerah rendah karbon dan peta jalan dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan Bali, sedangkan lokakarya hari kedua dan ketiga difokuskan pada penyiapan sumber daya yang andal dan pembiayaan berkelanjutan untuk Bali NZE 2045.

“Untuk menuju dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, terdapat sejumlah strategi yang secara aktif telah didorong IESR, di antaranya pemetaan potensi teknis PLTS atap untuk bangunan pemerintah, fasilitas publik, hotel, restoran serta pelaku bisnis lainnya, identifikasi skema pembiayaan inovatif untuk adopsi energi terbarukan, analisis pasar untuk memahami perilaku calon pengguna PLTS atap, termasuk motivasi dan pilihan pembelian, dan analisis hosting capacity untuk mengetahui keandalan sistem dengan penetrasi energi terbarukan skala besar dan tersebar,” kata Marlistya Citraningrum. 

IESR yang telah secara aktif bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali sejak 2019 mendata potensi teknis energi terbarukan di Bali terbilang besar mencapai 143 GW, di antaranya potensi teknis PLTS terpasang di daratan sebesar 26 GWp (20% potensi) dapat dikembangkan dengan penyimpan daya hidroelektrik terpompa (pump hydro energy storage, PHES) yang potensinya sekitar 5,8 GWh. Selain itu, IESR bekerja sama dengan Center of Excellent Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana mengidentifikasi  potensi energi terbarukan lainnya di Nusa Penida seperti energi surya, biodiesel (CPO, jathropa, rumput laut), biomassa dan energi angin, serta potensi penyimpan energi seperti baterai dan pumped-hydro energy storage (air laut). Saat ini, kerja sama lebih lanjut dilakukan oleh IESR dan CORE Universitas Udayana untuk studi kasus Nusa Penida dalam memenuhi kebutuhan energinya dengan 100 persen  energi terbarukan – di mana saat ini sumber energi di Nusa Penida sudah dipenuhi 30%-nya dengan energi terbarukan, yaitu PLTS dengan baterai.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Bali telah mendeklarasikan Rencana Aksi Bali Menuju Bali Net Zero Emissions 2045 yang didukung oleh mitra utama Institute for Essential Services Reform (IESR), World Resources Institute (WRI) Indonesia, New Energy Nexus Indonesia. Dalam acara ini juga hadir mitra pendukung dari lembaga filantropi global dan nasional, yaitu Bloomberg Philanthropies, IKEA Foundation, Sequoia Climate Foundation, ClimateWorks Foundation, Tara Climate Foundation, dan Viriya ENB.

Tentang Bali Net Zero Emission 2045

Inisiatif Bali Net Zero Emissions 2045 terdiri dari berbagai upaya yang bertujuan untuk pembangunan rendah karbon di Bali melalui transisi ke energi terbarukan, mobilitas terintegrasi dan rendah karbon, dan kewirausahaan iklim; yang semuanya diarahkan untuk mencapai Bali Net Zero Emissions pada 2045. Inisiatif ini mendorong aksi kolaboratif dan kerja sama antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali, berbagai mitra, komunitas, dan pemangku kepentingan di Bali untuk mempercepat adopsi energi bersih dan mendorong partisipasi aktif masyarakat Bali dalam agenda pembangunan rendah karbon. Pihak-pihak yang terlibat meliputi lembaga internasional, organisasi nirlaba, lembaga penelitian independen, sektor swasta, termasuk kewirausahaan dan bisnis perintis, lembaga akademik, asosiasi, dan komunitas lokal. Mitra utama inisiatif ini adalah Institute for Essential Services Reform (IESR), World Resources Institute (WRI) Indonesia, dan New Energy Nexus Indonesia.

Tentang Institute for Essential Services Reform (IESR)

Institute for Essential Service Reform (IESR) adalah organisasi think tank yang secara aktif mempromosikan dan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan energi Indonesia, dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan kelestarian ekologis. IESR terlibat dalam kegiatan seperti melakukan analisis dan penelitian, mengadvokasi kebijakan publik, meluncurkan kampanye tentang topik tertentu, dan berkolaborasi dengan berbagai organisasi dan institusi.

IESR: Indonesia Perlu Memimpin Negara Anggota ASEAN untuk Berkolaborasi Mengembangkan Industri Energi Surya di Asia Tenggara

press release

Jakarta, 24 Agustus 2023 – Jelang pertemuan tahunan tingkat Menteri Energi se-ASEAN (ASEAN Ministers on Energy Meeting, AMEM) ke-41 pada 24 Agustus 2023 dan ASEAN Summit ke-43 di September 2023, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia sebagai ketua ASEAN 2023 menggunakan momentum tersebut untuk memobilisasi komitmen dan mempererat kerjasama negara anggota ASEAN melakukan transisi energi yang selaras dengan target Paris Agreement dan mendorong pengembangan hub industri dan pemanfaatan energi surya di kawasan ini. 

IESR memandang Indonesia dapat membangun kolaborasi untuk menjadikan ASEAN sebagai pusat manufaktur komponen PLTS yang akan menciptakan pengembangan industri dan peluang ekonomi hijau serta berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca global.  Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menjelaskan, saat ini energi surya menjadi andalan untuk mencapai target net-zero emission (NZE) di masing-masing negara anggota ASEAN karena ketersediaan sumber daya dan harga teknologi yang sangat murah. Vietnam menjadi yang mempunyai kapasitas terpasang PLTS tertinggi di ASEAN sebesar lebih dari 20 GW, diikuti Thailand sekitar 3 GW, Malaysia sekitar 2,2 GW, dan Filipina sekitar 1,7 GW. Indonesia sendiri, hingga tengah tahun 2023, kapasitas terpasang PLTSnya baru mencapai 0,2 GW. 

“Potensi industri dan rantai pasok komponen PLTS di ASEAN juga sudah mulai berkembang. Dari segi ketersediaan material, Indonesia dan Malaysia berpotensi memenuhi kebutuhan polisilikon yang diperlukan untuk produksi wafer dan ingots dan sel surya (solar cell),” papar Fabby Tumiwa.

Transisi energi sesuai dengan target Paris Agreement memerlukan kawasan ASEAN untuk membangun kapasitas energi terbarukan hingga mencapai 39% – 41% dari bauran energi primer pada 2030. Dimana kapasitas PLTS yang harus dibangun mencapai 142 GW hingga 241 GW.  Kebutuhan terbesar untuk PLTS ada di Indonesia, yang merupakan negara ekonomi terbesar dan yang memiliki target untuk mencapai 34% bauran energi terbarukan di sektor kelistrikan pada 2030. Indonesia membutuhkan teknologi PLTS dengan kualitas yang baik, pasokan dan stabil, dan harga yang terjangkau. 

Selain potensi pasar, Indonesia juga memiliki sumber daya silika yang dapat dimurnikan menjadi bahan baku polysilicon yang merupakan bahan dasar sel surya. Di sinilah, melalui pengembangan solar industry hub di ASEAN,  Indonesia akan mendapatkan manfaat ekonomi dan negara-negara ASEAN akan mendapatkan pasokan bahan baku yang penting dengan lebih terjamin untuk produksi sel dan modul surya.      

Lebih lanjut, IESR menilai pemerintah Indonesia perlu memberikan teladan dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan yang mendukung pembangunan industri dan rantai pasok di Indonesia. Hal ini akan memicu adopsi PLTS yang lebih masif dan membawa Indonesia sejajar dengan negara anggota ASEAN lainnya yang telah mengedepankan energi surya. Berdasarkan pengamatan IESR, meski sepanjang 2022 dan hingga tengah tahun 2023 terdapat beberapa kendala untuk pemasangan PLTS, seperti pembatasan kapasitas pemasangan dan revisi Permen ESDM nomor 26 tahun 2021, setidaknya terdapat 186,5 MW kapasitas PLTS terkontrak dari 655 MWp project pipeline PLTS atap saja hingga bulan April 2023. 

“Indonesia sendiri perlu membangun hingga 100 GW PLTS skala utilitas sampai tahun 2030 untuk mencapai zero-emission 2050 berdasarkan kajian Deep Decarbonization IESR. Ini memerlukan keselarasan kebijakan dan implementasi di lapangan serta kejelasan prosedur yang mampu mendorong partisipasi aktif masyarakat, iklim investasi yang baik, hingga adanya dukungan berupa insentif atau pembiayaan inovatif lain. Di tingkat ASEAN, kolaborasi strategis dan secara paralel mengembangkan industri surya regional diharapkan dapat membuat pertumbuhan PLTS lebih masif di tahun-tahun mendatang,” ungkap Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR.

IESR mendorong  pemerintah Indonesia pada AMEM ke-41 dan ASEAN Summit ke-43  menawarkan inisiatif dan mewujudkan kesepakatan yang monumental  dalam hal  kolaborasi antar negara di ASEAN menjadikan kawasan ini sebagai pusat manufaktur  komponen PLTS dan komponen pendukung lainnya dengan menitikberatkan pada keunggulan komparatif masing-masing negara. Keberadaan ASEAN sebagai pusat manufaktur komponen PLTS dapat mendorong kerja sama ekonomi, industri dan perdagangan, dan selaras dengan tujuan Indonesia sebagai ketua ASEAN 2023. Selain itu, visi ini selaras dengan kebijakan hilirisasi di Indonesia dan dapat menjadi pendorong tumbuhnya industri manufaktur teknologi energi terbarukan di Indonesia

 

Rasio Elektrifikasi Belum Jawab Keandalan Kualitas Listrik di Indonesia

press release

Jakarta, 22 Agustus 2023 – Rasio elektrifikasi di Indonesia terdata telah mencapai 99,63 persen dan rasio desa berlistrik mencapai  99,79 persen pada akhir 2022, berdasarkan laporan Capaian Kinerja 2022 dan Rencana Kerja 2023 Subsektor EBTKE.  Namun demikian, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memutakhirkan definisi rasio elektrifikasi di Indonesia agar mencakup pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap kualitas listrik yang mumpuni. Saat ini definisi rasio elektrifikasi masih terbatas pada perbandingan jumlah rumah tangga yang berlistrik dengan total rumah tangga. 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR dalam webinar “Transisi Energi dalam Pemerataan Elektrifikasi Nasional” menyatakan akses listrik yang berkualitas akan berpengaruh terhadap peningkatan mutu hidup masyarakat.

“Akses listrik seharusnya semangatnya tidak hanya memberikan akses terhadap listrik, tetapi akses listrik sejatinya bisa memberikan kesempatan bagi penerimanya untuk meningkatkan kualitas hidup dan perekonomian,” ungkapnya.

Alvin P Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, IESR dalam pemaparannya menyebutkan besarnya rasio elektrifikasi di Indonesia belum mampu menjamin aksesibilitas, keandalan, serta kapasitas dan kualitas listrik yang diterima oleh masyarakat. Menurutnya diperlukan indikator  baru yang memberikan gambaran kualitas akses listrik di Indonesia, misalnya seperti Multi-Tier Framework (MTF) yang mampu menilai spektrum kualitas layanan dari sudut pandang pengguna listrik.

“IESR pernah mencoba mengukur kualitas akses listrik menggunakan MTF di NTB dan NTT pada 2019. Hasilnya, kebutuhan listrik tidak tersedia selama 24 jam dan terbatas untuk alat elektronik dan pencahayaan berdaya rendah,” jelasnya.

Ia mendorong agar pemerintah dapat menggunakan metode evaluasi yang mengintegrasikan kualitas layanan listrik sebagai indikator kunci pencapaian terkait akses energi. Alvin menuturkan kelancaran evaluasi terhadap rasio elektrifikasi yang memperhitungkan kebutuhan akan listrik yang berkualitas, memerlukan koordinasi antara kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian ESDM, PLN, Kemendesa, Pemda/Pemprov.

Tidak hanya itu, IESR juga mendorong pemerintah untuk secara serius dan konsisten mendukung penyediaan akses listrik yang berkualitas dengan mengatasi berbagai tantangan seperti letak geografis yang sulit dijangkau, terbatasnya pembiayaan serta kapasitas lokal dalam memelihara fasilitas kelistrikan dengan pemanfaatan energi terbarukan. Selain itu, indikator yang dipakai dalam menentukan rasio elektrifikasi dan desa berlistrik juga perlu diperluas dan menggambarkan kualitas listrik yang diterima oleh rumah tangga atau desa yang dimaksud.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR, menjelaskan dari segi kebijakan, saat ini telah tersedia Perpres Nomor 11 Tahun 2023 yang memberikan kewenangan lebih banyak terhadap Pemda, khususnya dalam pengembangan energi terbarukan. 

“Penambahan kewenangan ini tentunya perlu diikuti dengan inisiatif pemerintah daerah untuk merancang program yang juga menjawab kebutuhan penyediaan akses energi utamanya dengan energi terbarukan setempat. Prinsip desentralisasi energi ini memungkinkan pengupayaan energi mandiri dengan keterlibatan banyak pihak dan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan adanya akses energi berkelanjutan,” imbuhnya.

Menurut Marlistya, desentralisasi energi dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan akan membuka peluang eksplorasi pemanfaatan secara lebih luas dan partisipatif sehingga dapat mempermudah akses listrik dan meningkatkan keandalan kualitasnya.

Pembahasan mengenai percepatan pemanfaatan energi terbarukan dengan transisi energi akan didiskusikan lebih jauh dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 pada 18-20 September 2023 secara hibrid di Jakarta. Acara IETD 2023 ini diselenggarakan oleh IESR dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang akan melibatkan banyak pakar untuk mengupas lebih dalam upaya mentransformasi operasi sistem kelistrikan sebagai satu strategi peningkatan bauran energi terbarukan. Pendaftaran untuk IETD 2023 dapat diakses pada www.ietd.info.

 

Indonesia Perlu Mendorong Lebih Keras Lagi Transisi ke Ekonomi Hijau dalam Mencapai NZE

press release

Jakarta, 18 Agustus 2023 – Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraan HUT ke-78 RI yang sekaligus sebagai pengantar RUU APBN 2024 dan Nota Keuangan 2024 menyebutkan bahwa APBN 2024 diarahkan untuk mempercepat transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dalam pidatonya, Presiden menyebutkan potensi krisis akibat perubahan iklim. Untuk itu, transformasi sektor ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan menjadi krusial. Presiden menekankan transisi ke penggunaan energi hijau perlu dilaksanakan secara progresif, namun tetap adil dan terjangkau.  

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi arah APBN 2024 dan mendorong agar pemerintah melakukan akselerasi dalam pembangunan ekonomi hijau serta pemanfaatan energi terbarukan sehingga Indonesia dapat mengurangi porsi energi fosil secara bertahap, sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca, yang menjadi sebab pendidihan global (global boiling) dan perubahan iklim. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan presiden harus memerintahkan jajarannya untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di 2024 demi mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Untuk itu dalam 2,5 tahun mendatang harus dapat dibangun 11 GW pembangkit energi terbarukan. Dalam kondisi sistem kelistrikan PLN masih mengalami overcapacity, penetrasi energi terbarukan yang progresif memerlukan pengakhiran operasi PLTU yang sudah berusia tua dan tidak efisien. 

Oleh karenanya, APBN 2024 juga harus diarahkan untuk mendukung akselerasi pemanfaatan energi terbarukan di luar Jawa-Bali, mereformasi kebijakan dan regulasi yang menghambat akselerasi energi terbarukan, mempersiapkan pensiun dini PLTU, dan menyiapkan proyek-proyek energi terbarukan skala besar untuk ditawarkan kepada investor. 

Indonesia perlu mengambil langkah yang lebih agresif untuk menghindari krisis iklim dengan menunjukkan komitmen politik yang lebih kuat untuk mengurangi penggunaan batubara dan menegaskan pengakhiran operasi PLTU pada 2050 Menurut Fabby, di tengah perayaan kemerdekaan RI, Ibu Kota Negara, Jakarta, justru diliputi polusi udara yang parah. IESR mencatat salah satu sumber polusi berasal dari  pembakaran batubara di pembangkitan listrik dan industri yang berada di sekitar Jabodetabek. 

“Tahun lalu pemerintah dan IPG telah menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP). Kesepakatan ini merupakan kesempatan Indonesia untuk mengakselerasi transisi peningkatan energi hijau sebelum 2030 yang adil dan terjangkau. Untuk itu, APBN 2024 juga harus dialokasikan untuk mendukung implementasi Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP),” kata Fabby. 

Seiring dengan  penyiapan  Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang masih akan berlangsung hingga Oktober, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR  mengatakan bahwa melalui proses JETP, harusnya sudah ada identifikasi perubahan kebijakan untuk mengakselerasi transisi energi. Ia menekankan penting agar arah perubahan kebijakan terfokus pada strategi tertentu agar ada integrasi implementasi antar berbagai kementerian dan lembaga. 

“Harus ada prioritas dalam arah kebijakan, misalnya pengakhiran subsidi energi fossil, khususnya kebijakan harga DMO batubara, pembangunan PLTS secara masif dan pengembangan industri manufaktur surya. Penentuan strategi utama penting agar eksekusi lancar dilakukan dalam 3-5 tahun mendatang atau bahkan lebih cepat lagi dengan dukungan implementasi dari berbagai kementerian dan lembaga. Implementasi strategi terintegrasi ini yang dapat dukung capai visi Indonesia Emas 2045,” urai Deon.

IESR berharap agar penyusunan belanja APBN juga memasukan upaya untuk mengurangi subsidi energi fosil dan mengantisipasi dampak transisi energi pada masyarakat.  Anggaran dari penurunan energi fosil dapat dipakai untuk mengembangkan energi terbarukan, penghentian operasi dini PLTU, dan program terstruktur mengantisipasi dampak transisi energi bagi masyarakat, pekerja dan  daerah penghasil batubara. 

CASE IESR: Indonesia Perlu Dorong Komitmen Lebih Kuat Negara ASEAN Untuk Penurunan Emisi GRK di Kawasan

press release

Jakarta, 15 Agustus 2023 – Menjadi Ketua ASEAN pada 2023 dan mempunyai kekuatan ekonomi besar di ASEAN, Indonesia dapat mendorong negara anggota ASEAN lainnya agar mempunyai kesepakatan bersama untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang selaras dengan Persetujuan Paris serta memobilisasi dukungan dari negara ASEAN lain untuk mempunyai target pengakhiran operasional PLTU batubara secara bertahap sebelum tahun 2050. Hal ini disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada media briefing berjudul “Mengukur Ambisi Iklim ASEAN pada Keketuaan Indonesia ASEAN 2023”.

Menurut Fabby, pengurangan bahan bakar fosil dengan pelarangan pembangunan PLTU baru di Indonesia namun tetap mengizinkan pembangunan PLTU baru untuk keperluan industri dapat menghambat pencapaian bauran energi terbarukan yang lebih tinggi. Ia menekankan pemerintah Indonesia dapat mendorong komitmen yang lebih tegas untuk pengakhiran operasional PLTU batubara di negara ASEAN. Selain itu, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan energi terbarukan di ASEAN, terutama pengembangan energi surya. Ia mendorong pembahasan mengenai penyediaan rantai pasok yang terintegrasi patut disepakati pada ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) yang akan berlangsung dalam waktu dekat di Agustus 2023.

“Kami harapkan pada AMEM, Indonesia bisa mengusulkan Indonesia menjadi pusat manufaktur PLTS mulai dari teknologi polisilikon hingga modul surya. Beberapa negara ASEAN sudah mengembangkan manufaktur, namun masih terbatas di sel dan modulnya. Selain itu pengembangan manufaktur ini belum terintegrasi. Sementara di Indonesia, bahan baku untuk pembuatan komponen PLTS tersedia di Indonesia, misalnya pasir silika. Sebagai Ketua ASEAN 2023. Indonesia dapat merekomendasikan ini sebagai kesepakatan bersama untuk membangun rantai pasok yang terintegrasi,” ungkapnya.

Ia menambahkan ancaman iklim menjadi semakin serius bagi negara-negara ASEAN yang berdampak luas terhadap ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kemajuan pembangunan di kawasan. Jika tidak ada upaya serius untuk mengurangi emisi global, maka dampak perubahan iklim akan membuat pertumbuhan ekonomi melebihi 6% di kawasan Asia Tenggara akan semakin berat.

Berlianto Pandapotan Hasudungan, Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI mengakui selain tantangan geopolitik, krisis Myanmar, krisis iklim juga menjadi tantangan tambahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di ASEAN. Ia memaparkan ketahanan energi melalui transisi energi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi menjadi agenda penting dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

“Selain pengembangan kendaraan listrik, ASEAN sedang mengembangan interkoneksi energi antar negara anggota dan akan dimulai juga studi atas interkoneksi energi di kawasan,” jelasnya.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Iklim dan Energi, IESR memaparkan, kebijakan dan komitmen iklim Indonesia tidak konsisten dengan Persetujuan Paris yang ingin menjaga batas suhu 1,5°C, bahkan rawan menyebabkan peningkatan, bukan penurunan emisi. Hal ini bisa dilihat dari laporan Climate Action Tracker (CAT) yang menilai bahwa target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih kategori sangat tak mencukupi (highly insufficient). Apabila semua negara mengikuti pendekatan kebijakan Indonesia, maka pemanasan global akan lebih dari 2°C hingga 3°C. 

“Untuk itu, kebijakan dan tindakan iklim Indonesia pada tahun 2030 membutuhkan perbaikan substansial agar konsisten dengan batas suhu 1,5°C. Indonesia perlu menaikkan target NDC menjadi 75% di bawah skenario NDC business as usual (BAU) di luar penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (bersyarat) dan 62% (tidak bersyarat). Terlebih lagi, emisi Indonesia dari penggunaan lahan dan kehutanan telah mencapai hampir 50% dari total emisi selama 20 tahun terakhir,” papar Shahnaz.

Manajer Program Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia, Agus Tampubolon dalam kalimat penutup kembali menyatakan pentingnya kerjasama antar negara anggota ASEAN untuk mengakselerasi transisi energi.

“Indonesia bisa memimpin transisi energi di ASEAN dengan leading by example. Negara-negara anggota ASEAN memiliki potensi besar, kita bisa bekerja sama untuk rantai pasok, contohnya adalah pengembangan PLTS. Kita juga perlu memikirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan, dan untuk meningkatkan target iklimnya,” ujar Agus.