Cerita Tiga Negara di ASEAN dalam Mendorong Desentralisasi Energi

Jakarta, 22 April 2025 –  Dalam upaya mewujudkan target Net Zero Emission (NZE) 2060, energi terdesentralisasi menjadi elemen strategis yang tidak bisa diabaikan. Berbeda dengan sistem terpusat, energi terdesentralisasi menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif, khususnya bagi wilayah yang sulit dijangkau oleh jaringan listrik konvensional. Model ini memungkinkan komunitas lokal untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat, seperti energi surya di kawasan pesisir pantai hingga dataran tinggi atau mikrohidro di wilayah pegunungan, untuk menghasilkan dan mengelola energi secara mandiri.

Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna memaparkan, pemerintah telah membangun berbagai infrastruktur untuk meningkatkan akses energi, khususnya di wilayah terpencil, dengan dukungan pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) serta Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk proyek energi skala kecil.

“Salah satu program unggulan adalah program dedieselisasi, yang bertujuan menggantikan 5.239 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di seluruh Indonesia dengan pembangkit berbasis energi terbarukan sesuai potensi lokal. Tahap pertama program ini mencakup dua klaster besar yakni klaster Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Madura (Sumkaljama), dan klaster Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (Sulmana),” tegas Feby dalam Dialog Regional: Mempromosikan Akses Energi Terdesentralisasi di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Selasa (22/4/2025). 

Namun demikian, Feby mengatakan, meskipun sistem energi terdesentralisasi menjanjikan solusi energi berkelanjutan di daerah terpencil, terdapat lima tantangan utama yang harus diatasi. Pertama,  kebijakan yang masih terfokus pada sistem grid. Kedua, keterbatasan daya tarik investasi untuk proyek skala kecil. Ketiga,  industri lokal belum berkembang optimal. Keempat,  minimnya dukungan masyarakat lokal. Kelima, keterbatasan teknis dan sumber daya manusia lokal. Kurangnya keahlian lokal menjadi hambatan dalam implementasi dan pemeliharaan sistem energi terdesentralisasi.

“Untuk menjawab tantangan di atas, diperlukan upaya percepatan melalui  penguatan kapasitas teknis lokal,  inisiatif berbagi pengetahuan dan pengalaman antarwilayah, dan kolaborasi multisektor untuk pembangunan industri energi terbarukan dalam negeri. Dengan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, transisi energi Indonesia menuju NZE 2060 tidak hanya akan memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan merata,” ujar Feby. 

Yaowateera Achawangkul, Departemen Pengembangan Energi Alternatif dan Konservasi Energi, Kementerian Energi, Thailand menyatakan, salah satu contoh penerapan nyata dari desentralisasi energi adalah proyek Semi-Hydro Desa Bannamagun. Desa ini berlokasi sekitar 180 kilometer dari pusat kota, tanpa akses jaringan listrik nasional, dan kondisi geografisnya tidak mendukung ketersediaan air yang melimpah. 

“Namun, dengan memanfaatkan limbah magnetik sebagai sumber energi, desa ini berhasil membangun pembangkit listrik berkapasitas 45 kWh yang melayani 43 rumah tangga. Proyek ini telah berjalan selama sembilan tahun sejak 2030, dikelola secara mandiri oleh masyarakat setempat untuk operasional dan pemeliharaan harian,” ujar Achawangkul. 

Menurut Achwangkul, keberhasilan proyek ini tidak hanya terletak pada aspek teknis, tetapi juga pada sistem pembayaran “pay-as-you-go”, di mana dana yang terkumpul digunakan untuk pengembangan sistem baru atau perluasan kapasitas. Energi surya dan semi-hidro terbukti sangat penting dalam menjawab tantangan akses energi di wilayah pedesaan.

Vernon Ray N. Vinluan, OIC – Spesialis Penelitian Sains Penyelia Divisi Administrasi dan Manajemen Elektrifikasi Pedesaan, Biro Manajemen Industri Tenaga Listrik Departemen Energi Filipina menyatakan untuk mempercepat elektrifikasi di daerah terpencil, pemerintah memperkenalkan dua model layanan inovatif yaitu penyedia layanan mikro grid, yang diatur oleh Energy Regulatory Commission. Hingga saat ini, telah dibangun 11 mikro grid yang melayani sekitar 9.990 rumah tangga, sembilan di antaranya berada di Pulau Luzon dan satu di Visayas. Proyek ini mencakup instalasi 3,8 MW kapasitas pembangkit, 4,2 MW Battery Energy Storage System (BESS), dan 2,3 MW pembangkit tenaga surya.

“Kunci utama dari keberhasilan ini adalah komitmen politik yang kuat dari pemerintah Filipina. Harmonisasi kebijakan lintas sektor serta keterlibatan langsung dengan masyarakat—dengan bertemu dan berdialog secara langsung dengan warga di lapangan—menjadi faktor penting untuk memastikan bahwa proyek ini benar-benar diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Konsistensi program ini dengan ambisi 2040 menunjukkan bahwa Filipina tidak hanya menargetkan elektrifikasi total, tetapi juga memperkuat dasar pembangunan berkelanjutan jangka panjang melalui energi terbarukan,” papar Vernon. 

Rumaizi A Halim, Direktur Perencanaan Strategis & Komunikasi, Komisi Energi, Malaysia menjelaskan, berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2022, Malaysia berhasil mencapai 100% akses listrik bagi seluruh penduduknya. Capaian ini bukan sekadar angka statistik, tetapi hasil dari komitmen jangka panjang dan program strategis pemerintah, khususnya dalam menghadirkan listrik ke wilayah-wilayah yang sebelumnya terisolasi seperti Sabah dan Sarawak.

“Salah satu inisiatif utama yang mendorong capaian ini adalah program elektrifikasi pedesaan (Rural Electrification Program) yang melibatkan kolaborasi erat antara pemerintah federal, pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah (NGO), dan sektor swasta untuk menyediakan akses listrik bagi masyarakat terpencil. Solusi yang banyak digunakan adalah pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di desa-desa yang sebelumnya tidak terjangkau jaringan listrik nasional,” tegas Rumaizi. 

Rumaizi menegaskan, upaya elektrifikasi pedesaan ini telah dimulai sejak tahun 2011, dan ditopang oleh berbagai kebijakan pendukung, seperti feed-in tarif yang diperkenalkan pada awal perkembangan energi surya. Skema ini mendorong masyarakat dan perusahaan untuk memproduksi energi terbarukan dan menjualnya kembali ke sistem listrik nasional, yang pada akhirnya meningkatkan partisipasi publik dan adopsi teknologi ramah lingkungan.

Share on :

Leave a comment