COP 18 merupakan salah satu COP yang paling penting di dalam sejarah dimulainya negosiasi mengenai perubahan iklim. Protokol Kyoto menghadapi akhir dari periode pertamanya, dengan kelanjutan periode yang kedua dimana negara-negara yang seharusnya meletakkan komitmen penurunan emisinya, satu per satu berguguran. Jepang yang mengedepankan masalah ketahanan energi mereka semenjak peristiwa Fukushima menyatakan tidak sanggup untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka. Kanada yang menyatakan tidak tertarik, Rusia yang juga menyatakan akan mundur.
Anehnya, masalah hot air kemudian muncul ke permukaan di area Ad hoc Working Group on Kyoto Protokol, tentang penggunaan carry over hot air ke periode komitmen kedua. Bahkan, ada skenario untuk melanjutkan hot air setelah tahun 2020. Tidak menemukan solusi, masalah hot air ini sepertinya akan diteruskan ke pihak dengan otoritas lebih tinggi, yaitu pemimpin-pemimpin negara yang berkepentingan di minggu ke-2 ini.
Masalah lain yang juga akan menjadi sangat panjang adalah pendanaan. Keputusan mengenai pendanaan terlihat terombang-ambing seiring dengan akan ditutupnya LCA. Padahal, sebagai Ad hoc Working Group yang seharusnya keluar dengan ‘means of implementations’ dari komponen-komponen Bali Action Plan, LCA harus mengeluarkan mandat yang jelas mengenai mitigasi dan pendanaan.
Adaptasi sendiri, kebanyakan komponennya sudah mulai mendiskusikan masalah teknis pelaksanaannya (seperti loss and damage, pembuatan National Adaptation Plans, dan yang terkait). Sementara di mitigasi, keluaran dari Decision 1/CP 13 untuk pasal 1bi (peningkatan ambisi mitigasi negara maju) dan 1bii (peningkatan ambisi mitigasi negara berkembang), harus menghadapi tembok yang tinggi.
Tuntutan bagi negara berkembang semakin tinggi dengan keharusan pengembangan MRV untuk mitigasi dan juga MRV support (pendanaan khususnya), serta format pelaporan setiap 2 tahun dengan format yang akan disepakati di tingkat internasional. Dengan tuntutan yang lebih tinggi, namun tidak ada komitmen pendanaan konkrit oleh negara-negara maju, hal ini menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang.
Hal ini juga menyalahi konvensi, dimana konvensi dengan jelas menyatakan bahwa negara maju HARUS mengambil tongkat kepemimpinan dalam melakukan pledges, baik mitigasi dan kegiatan-kegiatan pencapaian tujuan tertinggi konvensi dalam mencegah kenaikan temperatur bumi hingga, 2 derajat celcius. Transfer teknologi menemui kendalanya untuk masalah IPR (Intellectual Property Right).
Equity menjadi masalah krusial lainnya. Proposal pimpinan sidang LCA, untuk membentuk Work Programme on Equity dengan masa kerja 2 tahun dan akan memberikan feed-in kepada ADP, banyak mendapatkan kontroversi dari Parties.
Dua tahun masa kerja dari WP yang tidak memiliki kekuatan politik akan menjadi terlampau lama, setelah dua tahun kerjanya, sudah tahun 2014, sedangkan di tahun 2015, mandat dari ADP sudah habis, dan pada tahun 2015 juga, sebuah instrumen yang mengikat secara hukum, sudah harus disepakati. Equity sebenarnya bukan isu yang baru, namun, sebagai salah satu prinsip konvensi yang berulang kali berusaha untuk dihilangkan, equity menjadi prinsip konvensi yang harus dipertahankan dan harus dimasukkan, serta diterapkan, baik secara politik maupun teknis, di dalam kegiatan-kegiatan pre-2020 dan post 2020.
LCA menjadi sangat krusial dengan beberapa outstanding issues yang belum diselesaikan, belum menemukan ‘rumah’nya untuk kelanjutan diskusi. Sedang Protokol Kyoto, merupakan satu-satunya instrumen yang memiliki kekuatan legal, serta komponen environmental integrity; walaupun harus diakui, komponen environmental integrity yang dimiliki, jauh dari sempurna. ADP membuka sebuah lembaran baru untuk sebuah instrumen legal setelah tahun 2020.
Jika Protokol Kyoto kemudian ‘dimatikan’ di Doha, maka dunia ini tidak lagi memiliki instrumen berkekuatan legal sebelum tahun 2015, dan belum dapat ‘diaktifkan’ sebelum tahun 2020. Selama periode tersebut, akan berapa banyak lagi emisi yang dihasilkan, dan entah seperti apa dampak-dampak perubahan iklim yang dialami oleh berbagai macam negara di dunia?
Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh negara berkembang saja; negara maju pun mengalaminya. Perbedaannya adalah kemampuan negara maju dalam ‘mengembalikan’ kehidupan mereka, jauh lebih tinggi dari negara berkembang, terutama dari segi kemampuan ekonomi. Dengan jumlah pulau lebih dari 13.000 di Indonesia, berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh Indonesia untuk mengembalikan kondisi suatu propinsi ke tingkat kehidupan yang semula, seperti sebelum dampak perubahan iklim, belum terjadi?
Political will sangat diperlukan di minggu ke-2 ini, terutama karena negara maju diharapkan untuk mengambil tongkat kepemimpinan dalam mencapai tujuan tertinggi dari konvensi, untuk menjaga kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 2 C. Apabila para pemimpin negara maju tidak memberikan sinyal positif dalam aspek ini, kepercayaan dari negara berkembang pada negara maju, sepertinya akan hilang.