Mesir, 9 November 2022 – Komitmen yang ambisius negara di dunia untuk mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini menjadi krusial, terutama saat ini suhu bumi telah meningkat menjadi 1,1 derajat Celcius setelah pra industri. Mengukur kebijakan dan strategi negara di dunia untuk mencapai bebas emisi perlu dilakukan untuk mendorong mitigasi iklim yang sejalan dengan Persetujuan Paris.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo dalam side event COP27 di Sharm El-Sheik, Mesir dengan tajuk “Net-0 scenarios and How to Get Them Right” yang diselenggarakan oleh International Network of Energy Transition Think Tanks (INETTT) menjelaskan, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menyadari urgensi transisi energi. Hal ini bisa dilihat dari adanya strategi pembangunan rendah karbon dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang menunjukkan manfaat yang besar jika Indonesia mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) bersyaratnya pada 2030, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, penciptaan lapangan kerja, dan membaiknya kualitas kesehatan.
Namun, Indonesia masih memberikan subsidi energi fosil yang signifikan. Deon menegaskan, kebijakan subsidi energi fossil kontra produktif terhadap upaya melakukan transisi energi dan mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini.
“Subsidi energi telah membebani belanja negara, apalagi dengan kenaikan harga komoditas pada tahun 2022. Subsidi energi menjadi “hambatan” transformasi energi, reformulasi subsidi energi menjadi agenda prioritas pemerintah,” tegas Deon.
Memperhatikan kondisi tersebut, berdasarkan kajian IESR berjudul “Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System” Deon merekomendasikan, skenario kebijakan terbaik (Best Policy Scenario) untuk pengurangan emisi dalam sistem energi melalui tiga tahap yakni menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030, menghilangkan sebagian besar emisi melalui transformasi sistem energi pada tahun 2045 dan mencapai nir emisi melalui peningkatan produksi bahan bakar sintetis hijau dan dekarbonisasi di sektor industri pada tahun 2050.
“Dengan strategi tersebut, mencapai emisi nol pada tahun 2050 secara teknis dan ekonomis menjadi memungkinkan dan hal ini membuka peluang untuk meningkatkan kebijakan iklim. Tahun 2020-2030 menjadi periode kritis dalam upaya dekarbonisasi,” terang Deon.
Nhien Ngo To, Vietnam Initiative for Energy Transition menuturkan, Vietnam telah menerapkan strategi mengurangi emisi menjadi net zero emissions pada tahun 2050. Strategi tersebut menetapkan tujuan keseluruhan untuk beradaptasi secara proaktif dan efektif. Kemudian, meminimalkan kerentanan dan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
“Namun, terdapat beberapa tantangan yang masih dihadapi yakni penggunaan energi yang tidak efisien, intensitas energi yang tinggi, kurangnya pembiayaan,, kurangnya tenaga kerja terampil untuk transisi energi, dan kesenjangan dalam koordinasi pemangku kepentingan utama,” jelas Nhien Ngo To.
Dalam kesempatan yang sama, Manajer Program Pendanaan Iklim dan Energi Green Cape, Jack Radmore, menuturkan, Afrika Selatan mempunyai sektor kebijakan dan rencana yang cukup matang terkait ekonomi hijau dan dekarbonisasi. Hal ini bisa dilihat strategi respon perubahan iklim nasional sejak tahun 2004 yang telah ditingkatkan dan diadaptasi selama bertahun-tahun.
“Afrika Selatan telah membentuk komite percepatan transisi energi dan pemerintah juga telah mengadopsi target pengurangan emisi yang lebih ambisius. Mengingat 90 persen listrik di Afrika Selatan masih bergantung dari PLTU dengan lebih dari 600.000 orang bekerja di sektor pertambangan,” tegas Jack Radmore.
Al Kumba, Direktur Transisi Energi, SHURA, menyatakan, Turki telah mengambil langkah signifikan dalam hal dekarbonisasi sektor listrik selama dekade terakhir. Saat ini 50 persen daya terpasang di Turki berasal dari energi terbarukan dan dalam hal pembangkit listrik sekitar 40 persen berasal dari energi terbarukan. Namun, bauran energi Turki masih bergantung pada bahan bakar fosil, hanya sekitar 16 persen yang disuplai energi terbarukan.
“Dekarbonisasi menjadi hal penting bagi Turki. Beberapa langkah nyata mewujudkan dekarbonisasi yakni Turki telah meratifikasi Perjanjian Paris pada Oktober 2021 dan mengumumkan ambisinya untuk mencapai netral karbon pada 2053. Turki juga memiliki rencana aksi hijaunya yakni membuat pelabuhannya lebih ramah lingkungan dan memperluas hutan dan kawasan lindung, serta Turki menjadi salah satu negara yang memimpin dalam memerangi penggurunan dan erosi,” tegas Al Kumba.