Enam koalisi organisasai masyarakat sipil (Civil Society Forum/CSO) yang mengkampanyekan keterbukaan dan akuntabilitas ekstaktif Industri di region Asia Tenggara menyerukan kepada pemerintah negaranya masing-masing agar serius mempertimbangkan mengadopsi EITI (Extractive Industry Transparency Initiative/EITI).
Hal ini terungkap dalam pertemuan Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Social Organization/CSO) Internasional, se-ASEAN yang membahas tentang Inisiatif Keterbukaan Ekstraktif Industri (The Extractive Industry Transparency Imitative (EITI), di Inter Continental, Jakarta (28/2). Acara ini dihadiri CSO dari Timor Leste, Kamboja, Vietnam, Philipina, dan Indonesia sebagai tuan rumah, yang dipandu langsung oleh Oxfam Amerika dan RWI (Revenue Watch Institute). Pertemuan ini sendiri dimaksudkan sebagai persiapan CSO se-ASEAN dalam menghadapi Konfrensi EITI se-Asia yang akan (telah berlangsung) di Shangrila, Indonesia, awal Maret 2010.
EITI itu sendiri adalah adalah standard global yang menyediakan mekanisme dimana sebuah perusahaan EI harus secara terbuka menginformasikan pendapatan dan pembayarannya kepada Negara (pemerintah), dan pemerintah juga harus mengumumkan kepada publik tentang hasil penerimaaan yang diterima. Semua itu harus dilakukan di bawah pengawasan multipihak termasuk masyarakat sipil.
Ketidakterbukaan pelaporan pendapatan kegiatan tambang oleh perusahaan EI dan penerimaan negara atas usaha itu, telah menimbulkan celah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat tinggi. Belum lagi menyebut dampak ekologisnya bagi alam dan berbagai konflik horizontal yang telah menimbulkan masalah sosial, politik dan ekonomi bagi masyarakat asli yang lahan dan hutannya dijadikan areal kegiatan usaha tambang atau dikenal sebagai ektraktif industri.
“Sementara itu Indonesia, Philipina, Kamboja, Vietnam, Timor-Leste, dan Papua Nugini adalah negara kaya di sektor tambang ini, dan sejumlah perusahaan EI besar dalam puluhan tahun telah dipastikan akan terus beroperasi di sana. EITI akan ‘memaksa’ mereka baik perusahaan dan pemerintah melakukan tanggungjawab dan transparansi yang jelas serta memberikan ruang bagi pengawasannya, yang juga dilakukan masyarakat sipil,” jelas Direktur IESR (Institute for Essential Services Reform), Fabby Tumiwa dalam acara tersebut.
Kendati tidak semua CSO sepaham dalam melihat persoalan EI bisa terselesaikan lewat EITI, namun sejumlah CSO sudah mendorong upaya hal ini untuk terus dilakukan seiring dengan berbagai advokasi persoalan EI lainnya. Para CSO juga melihat bahwa ketiadaan tatakelola yang baik dalam hal mengatur keterbukaan usaha EI telah melemahkan tanggungjawab pemerintah yang harusnya secara terbuka memperlihatkan kepada publik pendapatan yang diterima dalam usaha EI ini. Termasuk kekhawatiran semakin tidak terkontrolnya eksplorasi sumber daya alam yang berakibat pada rusaknya ekologis, dan penderitaan rakyatnya.
“Sebagai contoh saja di Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara, produksi batu bara Indonesia adalah terbesar kedua. Ironisnya daerah-daerah yang menghasilkan batu bara ini justru adalah daerah yang dikenal paling miskin dan tertinggal untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan isu aktivitas korupsi yang tinggi, isu lingkungan, HAM dan juga kemiskinan,” jelas Fabby Tumiwa, Executive Director of Institute for Essential Services Reform (IeSR), Indonesia yang mempresentasikan gambaran umum tentang peta masalah EITI di kawasan ASEAN.
Ironis lagi, negara ASEAN yang kaya akan sumber daya alam tambang dan mineralnya seperti Indonesia, Laos, dan Philipina yang pengelolaannya sebagain besar “dikuasai” perusahaan asing seperti Petronas, Chevron dan Pertamina ini justru mendapatkan pendapatan GDP di sektor EI lebih kecil dibandingkan sektor lainnya.
“Sebagai contoh di Indonesia pendapatan dari sumber mineral sangatlah kecil jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Di sektor tambang, bahkan, pemerintah hanya dapat royaltinya saja dan bukan pendapatannya,” jelas Fabby lagi.
Karena itu menurut Fabby, mekanisme EITI itu sangat diperlukan di setiap Negara yang diberkati dengan berlimpahnya sumber daya tambang mineral ini, mengingat di setiap daerah opersinya EI kebanyakan merupakan daerah miskin, indeks pembangunannya rendah dan begitu banyak konflik dan kerusakan lingkungan yang terjadi karena kegiatan EI yang tidak bertanggungjawab.
“Meskipun EITI hanya terbatas untuk menyediakan platform untuk transparansi aliran pendapatan di sektor ini, kami percaya bahwa mekanisme semacam itu tetap diperlukan untuk memperbaiki negara dalam mengelola pemerintahan demokrasi ekonomi,” jelas Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional Publish What You Pay, Indonesia.
Ketidakterbukaan pertanggungjawaban laporan pendapatan perusahaan EI dan penerimaan yang diperoleh pemerintah ini pula yang dianggap CSO Meeting sebagai salah satu matarantai penting yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah konflik sosial dan ekonomi yang cukup tinggi.
Di Indonesia, dalam catatan Koalisi Nasional Publish What You Pay, Indonesia, konflik vertikal selalu terjadi di wilayah yang dikenal sebagai penghasil EI tertinggi seperti di Papua, Kalimantan dan NAD. Seperti disebut di atas, wilayah ini justru menjadi provinsi yang tertinggal dan miskin di antara provinsi lainnya.
Dalam cerita di Kamboja terungkap berbagai usaha EI di area sekitar Danau Tonle Sap telah menimbulkan berbagai konflik yang cukup tinggi. Area itu kini telah “diramaikan” blok-blok izin usaha berbagai kegiatan EI. Salah satu areanya yang disebut area Blok A dikuasai oleh Chevron.
“Telah banyak di area lahan-lahan di Kamboja semakin menunjukkan peningkatan eksplorasi sumberdaya alam yang semakin meningkat. Kebanyakan perusahaannya adalah dari Barat dan ini juga sarat dengan korupsi,” jelas Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari The NGO Forum on Cambodia, Kamboja.
Ath juga menjelaskan bahwa saat ini ada 20 perusahaan minyak yang telah mendapatkan konsensi dari pemerintah. Emas merupakan pendapatan terbesar dibanding usaha EI lainnya di Kamboja. Kamboja berharap banyak pendapatan atas gas dan minyak bisa membuat mereka lebih independent dari ketergantungan donor. Namun demikian di sekitar wilayah tempat beroperasinya EI, selalu terjadi pelanggaran HAM, dan rusaknya ekologi yang sangat parah.
CSO dan EITI
Terkait dengan persoalan di atas para peserta CSO meeting menyadari benar bahwa kondisi tersebut akan jauh lebih baik jika perusahaan EI dan pemerintah bersungguh-sungguh mengimplementasikan apa yang mereka sebut dengan EITI (The Extractive Industries Transparency Initiative) secara sukarela. Di beberapa Negara, EITI telah diusung dan diterapkan seperti yang terjadi di Timor-Timor, sementara yang lainnya sudah pada upaya “memaksa” pemerintah dan pelaku usaha EI untuk memasukkan EITI sebagai salah satu standard yang harus dikuatkan secara hukum seperti yang terjadi di Indonesia. Sementara di beberapa negara lainnya masih berjuang untuk memperkenalkan EITI ini untuk tidak hanya dilihat sebagai wacana.
Di Kamboja seperti diungkapkan Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari The NGO Forum on Cambodia, Kamboja, ketersediaan informasi terkait keterbukaan pertanggungjawaban usaha EI itu tidak ada. Baik itu berupa informasi kontrak, dan daftar pendapatan perusahaan EI. Lebih parah lagi belum ada legal aspek atau regulasi yang bisa dijadikan “pemaksa” untuk menjalani EITI.
Sementara di Indonesia kendati EITI telah dikenal baik oleh pemerintah dan pelaku usaha EI, menurut Koalisi Nasional Publish What You Pay, Indonesia, keterbukaan masih sangatlah kurang. Mereka juga mengalami kesulitan mendapatkan data yang update di anggaran Nasional terkait dengan EI. Sementara informasi terkait kontrak usaha EI bisa disediakan namun atas dasar permintaan itu pun tanpa disertai dokumen PSC termasuk POD, WP dan anggaran.
“Yang menyulitkan lagi adalah masih adanya perbedaan pandangan antara menteri Sumber Daya dan Energi vs Menteri Keuangan serta Menteri Lingkungan,”jelas Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional Publish What You Pay, Indonesia. (Musfarayani/IESR)