Oleh: Morentalisa Hutapea
Pertamina itu sapi perah pemerintah! Imej tersebut telah melekat kuat selama berpuluh-puluh tahun institusi tersebut berdiri. Selain itu, istilah Pertamina itu lahan basah, juga menjadi rahasia umum yang tak perlu dibantah. Memang, dalam industri perminyakan yang menjadi sumber utama keuangan negara, Pertamina telah menjadi pemain utama. Berdasarkan UU No 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Negara, Pertamina memiliki peran selain sebagai pengatur juga sebagai pelaksana usaha migas di Indonesia. Sehingga ‘kekuasaan’ dan otoritas yang dimiliki oleh Pertamina sangat besar.
Posisi Pertamina yang memiliki otoritas dan kontrol penuh terhadap industri migas membuat BUMN ini menjadi tidak efektif dan sarang korupsi dari berbagai tokoh dan pejabat. Berdasarkan rekam proses pembuatan UU Nomor 22 Tahun 2001, sejumlah fraksi di DPR menilai bahwa korupsi di tubuh Pertamina telah sedemikian parah sehingga membutuhkan restrukturisasi. Fraksi PPP misalnya menilai bahwa UU No 8/1971 yang telah menempakan Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan (negara) yang diserahi tugas mengelola sumber daya migas, memiliki sejumlah kelemahan:[1]
- Memberikan peluang monopoli yang sangat besar kepada BUMN Pertamina sehingga membuat BUMN tetrsebut menjadi tidak efisien karena tidak adanya pesaing
- Memberikan beban yang sangat besar kepada Pertamina karena harus menjalankan fungsinya sebagai profi maker tetapi juga harus mengemban misi sosial politik dan pemerintah
- UU tersebut membuat fungsi pemerintah dalam pengelolaan industri migas menjadi rancu, karena pemerintah bukan saja sebagai regulator tapi juga sebagai pelaku usaha sehingga dikhawatirkan bersikap tidak objektif dalam suatu persaingan dan menimbulkan birokrasi dalam operasi perusahaan minyak,
Sementara itu fraksi Bulan Bintang melihat bahwa restrukturisasi industri migas penting dilakukan karena Pertamina kinerjanya dianggap tidak lagi mampu untuk memaksimalkan potensi industri migas bagi Indonesia. Lagi-lagi muncul anggapan bahwa Pertamina merupakan sapi perah bagi praktik korupsi, kolusi dan neppotisme sejumlah pejabat negara beserta keluarganya. Sekalipun Pertamina memonopoli industri migas, Pertamina selalu mengalami kerugian. [2]
Pandangan-pandangan ini kemudian mendorong lahirnya semangat reformasi sektor migas Indonesia dan mendorong terbentuknya sebuah institusi baru yang bergerak beriringan dengan Pertamina yakni: BPMigas.
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas), sesuai namanya, memiliki peran sebagai pelaksana sekaligus Pembina kegiatan hulu migas di Indonesia. Kegiatan hulu yang menjadi kewenangan BPMigas mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. BPMigas memiliki kewenangan terhadap masalah pengawasan Production Sharing Contract (PSC), yang menjadi model kontrak bagi industri migas di Indonesia. Dengan kata lain, kontrak-kontrak antara pemerintah Indonesia dengan semua perusahaan migas yang ada di Indonesia diawasi oleh BPMigas.
Sebelum BPMigas lahir, berdasarkan PSC atau Kontrak Bagi Hasil, Pertamina menjadi wakil pemerintah yang memiliki fungsi untuk membagi hasil produksi bersih menurut suatu persentase tertentu. Hasil produksi bersih merupakan selisih antara hasil penjualan produksi migas (lifting) dengan biaya pokok atau biaya operasinya. Nilai produksi bersih yang akan dibagi oleh pemerintah dengan kontraktor migas disebut sebagai Equity to be Split (ETBS). Dimana perhitungan bagi hasil antara pemerintah dengan perusahaan migas itu dilakukan setiap tahun.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 kemudian di desain untuk memecah kekuasaan Pertamina di sektor hulu dan hilir. Regulasi industri migas sektor hulu diserahkan pada BP Migas dan sektor hilir kepadaBadan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Namun secara umum fungsi dan tugas serta badan personalia yang masuk ke BP Migas merupakan “pindahan” dari unit koordinasi kontraktor asing (BKKA) yang sebelumnya ada di Pertamina.[3] Dimana BP Migas berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu. Selain UU Nomor 22 tahun 2001 kerangka hukum kebijakan hulu migas didasarkan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2004 tentang kegiaktan usaha hulu migas, serta perubahannya pada PP nomor 24 Tahun 2005; Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas; Pearaturan Menteri ESDM serta Peraturan BPMIGAS.
Kritik Terhadap Lahirnya BP Migas
Pada intinya, semangat reformasi pada 1997-1998 mendorong munculnya kesadaran bahwa keberadaan Pertamina sebagai aktor tunggal dalam regulasi migas di Indonesia membawa implikasi negatif yang cukup besar. Sekalipun demikian, kehadiran BP Migas sebagai aktor yang memainkan peran sebagai regulator di sisi hulu tidak sepenuhnya mendapat respon positif. Salah satu kritik yang muncul sehubungan dengan lahirnya BPMigas adalah semakin rumitnya proses birokrasi di sektor hulu migas di Indonesia. Sebelum UU Nomor 22. Tahun 2011 lahi,r atau pada saat UU No. 8 Tahun 1971 masih berlaku proses birokrasinya adalah sebagai berikut: investor->Pertamina->Pemboran sumur. Setelah BPMigas lahir, proses yang ada semakin bertamabah menjadi Investor->Ditjen Migas->BP Migas->Bea Cukai->Pemda->Pemboran sumur [4]
Pasca eksplorasi, investor diwajibkan untuk melakukan Rencana Pengembangan (Plan of Development). Pengawasan BP Migas dalam POD, WPB dan AFE dianggap berbelit-belit dan lambat sehingga menyebabkan produksi turun. (Alur perubahan struktur dalam industri migas setelah hadirnya BPMigas dapat di download di UU Nomor 22 Tahun 2001 dan Peran BP Migas dalam Regulasi Industri Migas di Indonesia-
Kritik lain juga muncul dari Indonesia Petroleum Asscoiation (IPA). Di dalam sejumlah media, asosiasi perusahaan minyak ini menyesalkan kondisi berbelit-belit yang muncul sebagai akibat dari kehadiran BPMigas. IPA berpendapat bahwa untuk mencapai pertumbuhan produksi, proses persetujuan dan regulasi ini perlu dipercepat. Urusan birokrasi dalam setiap proses yang membutuhkan izin BPMigas dianggap terlalu lambat. (Tempo Online, 2004). Pandangan yang sama juga dijelaskan oleh pengamat perminyakan, Kurtubi. Menurut Kurtubi, dengan keberadaan BP Migas, proses investasi bisa menghabiskan waktu hingga 5 tahun sebelum akhirnya bisa melakukan pengeboran. Dimana perusahaan harus bertemu Ditjen Migas, BP Migas, berurusan dengan Bea Cukai, hingga melobi pemerintah daerah. Sementara, dengan UU migas yang lama, yaitu UU 8 Tahun 1971, rata-rata waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 3 bulan. Hal tersebut dikarenakan para investor akan langsung bertemu Direktur Pertamina dan apabila proses lobby telah dilakukan, langsung melakukan penandatangan kontrak dan dapat langsung melakukan proses eksplorasi/eksploitasi.
Salah satu persoalan lain yang juga banyak mengundang kritik terkait keberadaan BP Migas adalah terkait penggantian biaya cost recovery. Pada hakikatnya, biaya operasi yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC adalah diganti atau ditanggung oleh pemerintah. Kontraktor membayar terlebih dahulu (menalangi) nilai pengeluaran untuk biaya operasi tersebut. Selain menyediakan dana, kontraktor wajib menyediakan teknologi, peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi eksplorasi dan eksploitasi migas tersebut dan menanggung semua risiko yang timbul daripadanya. Penggantian biaya operasi oleh Pemerintah tersebut dalam perhitungan bagi hasil disebut sebagai Cost Recovery.
Sayangnya banyak indikasi bahwa proses penggantian ini digunakan untuk kepentingan-kepentingan pribadi pegawai perusahaan. Misalnya saja biaya yang dikeluarkan untuk bermain golf yang kemudian di klaim untuk dimintakan gantinya kepada pemerintah. Besarnya biaya cost recovery yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada perusahaan akan membuat bagian keuntungan pemerintah menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, banyak seruan kepada BPMigas untuk memperketat rancangan cost recovery. Hanya saja di banyak kalangan usahawan migas, ketentuan pengawasan terhadap KKS eksplorasi saat ini dianggap berlebihan dan kontra-produktif serta mengakibatkan penundaan dalam keseluruhan proses eksplorasi. Rekomendasi IPA adalah bahwa BPMIGAS hendaknya mempertimbangkan penyederhanaan proses manajemen KKS eksplorasi. Hal ini akan mempercepat pengeboran sumur eksplorasi yang diperlukan dan mengurangi biaya.
Sejumlah pengamat menilai bahwa peran BPMigas sebagai pengawas cost revovery belum maksimal dikarenakan kendala kapasitas. Dimana BPMigas dianggap tidak memiliki pengalaman terjun di sektor hulu industri migas secara langsung. Oleh karena itu, ketika penghitungan biaya dalam operasi migas, BPMigas kesulitan untuk menentukan besaran biaya riil yang dikeluarkan. Maryati Abdullah, aktivis yang bekerja untuk isu-isu keterbukan anggaran, berpendapat bahwa terkait dengan peran BPMIGAS dalam menentukan dan mengawasi cost recovery, BPMIGAS dianggap gagal untuk meningkatkan mutu Sistem Pengendalian Internal BPMIGAS. Hal tersebut terlihat dengan membengkaknya biaya cost recovery sebagai akibat dari klaim biaya penggantian yang tidak sesuai tempatnya.
Pada akhirnya lahirnya praktik KKN menjadi alasan utama bagi restrukturisasi usaha migas Indonesia. Diharapkan dengan membentuk BPMigas dapat menghilangkan praktik-praktik monopoli Pertamina serta mendorong Pertamina dapat tumbuh menjadi perusahaan negara yang lebih baik. Hanya saja tampaknya institusi baru yang diharapkan jadi pembaharu ini belum menjalani fungsinya dengan maksimal dan memberikan kepuasan kepada semua pihak. Semoga dalam perjalannya ke depan, institusi ini akan semakin diperlengkapi dan memperlengkapi diri sehingga dapat mengawal industri migas menjadi lebih baik. Reformasi dan restrukturisasi industri migas Indonesia masih dalam perjalanan panjang untuk mencapai tujuan akhir: memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia.
[1] Pandangan Umum Fraksi Partai Persatuan Pembangunan terhdap Rancangan Undang-Undangn tentang Minyak dan Gas Bumi, disampaikan oleh juru bicara FPPP DPR-RI: H Achmad Farial, Jakarta, 15 Februari 2001.
[2] Pandangan Umum Fraksi Partai Bulan Bintang atas Rancangan Undang-Undang Tentang Miyak dan Gas Bumi, dibacakan oleh Ir. Darmansyah Husein, dalam Risalah Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undangan Tentang Minyak dan Gas Bumi.
[3] Hanan Nugroho, “Deregulasi Setengah Hati: Tinjauan Terhadap Restrukturisasi Sektor Energi Indonesia,” Dipresentasikan di Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pasca Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta, 8-9 Desember 2004.
[4] Harya Dwi Nugraha, UU No. 22 Tahun 2001: Benarkah Berpihak pada Investor Asing? http://www.ilc.insancendekia.