Semarang, 26 Juni 2024 – Sektor industri menjadi salah satu konsumen terbesar energi fosil dan kontributor utama emisi gas rumah kaca (GRK). Untuk itu, dekarbonisasi sektor ini menjadi krusial. Hal ini diungkapkan Farid Wijaya, Senior Analis, Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Diseminasi dan Publikasi Serta Analisis Industri Agro di Provinsi Jawa Tengah.
“Seiring krisis iklim yang terjadi saat ini, menjadi tantangan bagi industri yang masih bergantung pada energi fosil, terutama bagi mereka yang terlibat dalam rantai pasok global. Saat ini, banyak pembeli, dan kreditur hanya ingin bekerja sama dengan industri yang sudah mulai transisi menggunakan energi terbarukan,” ujar Farid.
Lebih lanjut, Farid menegaskan, kinerja sektor industri sangat penting bagi perekonomian nasional dan menjadi salah satu kontributor terbesar emisi GRK. Berdasarkan studi Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 yang dikeluarkan oleh IESR, proyeksi Business as Usual (BaU), emisi Indonesia akan berlipat ganda pada tahun 2050, dengan sekitar 60-70 persen emisi berasal dari penggunaan energi di sektor industri. Hal ini terutama disebabkan oleh konsumsi bahan bakar fosil yang tinggi.
“Dalam melakukan dekarbonisasi, upaya dekarbonisasi rantai pasok dan rantai nilai menjadi hal krusial untuk berkelanjutan dalam pengelolaan lingkungan industri. Rantai pasok mencakup kegiatan mendapatkan bahan mentah, membuat produk, dan mendistribusikannya ke pelanggan, meliputi bahan baku, supplier, pengolahan dan proses produksi, penyimpanan dan retail, distribusi dan logistik, serta konsumen. Sementara rantai nilai dimulai dengan nilai-nilai pelanggan dan berupaya menanamkan nilai-nilai tersebut pada produk dan layanan,” kata Farid.
Farid menyatakan, mengutip studi IESR dan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), setidaknya dalam upaya dekarbonisasi, terdapat lima pilar utama yang dapat dikuantifikasi dan menjadi fokus upaya global: efisiensi material dan sumber daya, efisiensi energi, elektrifikasi industri, bahan bakar, bahan baku dan sumber energi rendah karbon, serta pemanfaatan sistem CCS/CCUS.
“Efisiensi energi, material, dan sumber daya dapat menjadi solusi yang mudah dilakukan (low hanging fruits) berbiaya rendah bagi industri. Menurut studi LBNL and IESR, potensi penurunan emisi GRK dari efisiensi sumber daya dan energi untuk mencapai net-zero pada 2050-2060 sekitar 10-25 persen,” kata Farid.
Tidak hanya itu, elektrifikasi industri, penggunaan energi terbarukan, dan bahan bakar alternatif harus berjalan seiring dengan dekarbonisasi ketenagalistrikan dan media penyimpanan energi seperti hidrogen. Energi terbarukan akan menjadi prioritas, terutama panas bumi, tenaga surya, angin, dan air, baik untuk pembangkit listrik maupun pembangkitan hidrogen ramah lingkungan. Bahan bakar fosil akan tetap digunakan sampai batas tertentu untuk memberikan keseimbangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
dekarbonisasi industri, emisi gas rumah kaca, energi terbarukan, efisiensi energi, Indonesia, IESR