Memasuki masa-masa akhir dari COP 19, beberapa hal ternyata mengalami jalan buntu. Isu-isu krusial seperti pendanaan, peningkatan ambisi penurunan emisi dari negara maju, mekanisme untuk Loss and Damage, masih terus berlangsung hingga hari ini. COP 19 sepertinya tidak menjadi teman yang baik bagi proses negosiasi ini. Pengumuman yang dilontarkan oleh Jepang dan Australia memperburuk keadaan yang ada saat ini. Apalagi Jepang dan Australia mengumumkannya di minggu pertama negosiasi, yang tentu saja sangat mempengaruhi jalannya negosiasi. Belum lagi dengan dilaksanakannya International Coal Summit oleh pemerintah Polandia, bersamaan dengan diadakannya COP 19.
Jepang mengumumkan akan menurunkan emisi sebesar 3,8% dibandingkan dengan emisi mereka di tahun 2005, yang setara dengan peningkatan emisi sebesar 3,1% apabila dibandingkan dengan emisi mereka di tahun 1990. Walaupun Jepang mengumumkan akan memberikan kontribusi pendanaan sebesar 1,6 milyar dolar terkait dengan kegiatan-kegiatan perubahan iklim, komitmen penurunan emisi mereka memberikan sinyal bahwa komitmen pendanaan dapat ‘menghapuskan’ kewajiban penurunan emisi. Hal ini tentu saja memberikan sinyal yang sangat negatif bagi atmosfir negosiasi. Belum juga jelas apakah 1,6 milyar dollar tersebut ada didistribusikan dalam bentuk hibah atau malah pinjaman. Pinjaman, tentunya, tidak menjadi pilihan yang diinginkan oleh negara-negara berkembang.
Perubahan kebijakan domestik Australia memperburuk keadaan. Pemerintah Australia ‘membersihkan’ seluruh komponen terkait dengan perubahan iklim, termasuk Climate Change Authority, Clean Energy Finance Company, terkait pasar karbon termasuk harga karbon, serta kebijakan-kebijakan terkait dengan energi bersih di Australia. Kelompok masyarakat sipil Australia pun mengajukan protesnya pada pemerintah Australia, yang disampaikan bukan hanya secara domestik tapi juga internasional.
Untuk beberapa negara, terutama negara-negara berkembang, hal ini tentu saja mengecewakan. Begitu banyak upaya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang untuk memberikan bukti pada negara-negara maju, bahwa negara-negara berkembang memang layak untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari pihak negara-negara maju. Di bawah proses ADP (Ad hoc Working Group on Durban Platform on Enhanced Action), 3 versi draft text sudah dikeluarkan, dengan konten yang lebih banyak kepada peningkatan ambisi untuk menurunkan emisi, namun melupakan begitu banyak hal mengenai Means of Impelementation, terutama pendanaan. Hal yang sama terjadi untuk komponen adaptasi, terutama Loss and Damage, dimana output yang diinginkan berupa mekanisme untuk menggambarkan Loss and Damage itu sendiri, masih menjadi perdebatan untuk beberapa negara.
Harus disadari bahwa proses negosiasi UNFCCC adalah sebuah proses yang sudah seharusnya dijalani di tataran multilateral. Namun, politik yang terkandung di masing-masing pemerintahan, terutama pemerintah negara-negara maju, seperti contohnya Australia dan Jepang, membuat proses ini berjalan dengan tersendat-sendat.
Kesepakatan yang diambil di Kopenhagen mengenai mobilisasi 100 milyar dolar untuk perubahan iklim, sepertinya dilanggar oleh negara maju. Begitu juga dengan kewajiban negara maju untuk melakukan penurunan emisi secara domestik. Kedua hal ini harus dilakukan, bukan salah satu dilakukan kemudian yang lain dilupakan. Sebagaimana politik sudah mencoreng proses UNFCCC, politik yang sama juga mencoreng negara-negara terkait.
Well, developed countries, you can run, by using your economy crisis as an excuse, but you definitely can’t never hide from your moral responsibilities! Not from the international fora nor from your own citizens.