Di atas Balok Keseimbangan: Upaya Indonesia dalam Menggalang Dukungan Internasional untuk Aksi Iklimnya

Pada tahun 2023, Indonesia baru mencapai 13,1% pangsa energi terbarukan, masih jauh untuk mencapai target nasional 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Aliran investasi untuk energi terbarukan juga masih tertinggal, dengan total hanya USD 1,5 miliar pada tahun 2023. Sebagai negara berkembang, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia harus mencari investasi atau bantuan asing untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan di negara ini.

Dalam dua tahun terakhir, kerja sama penting antara Indonesia dan negara-negara mitranya telah terjalin untuk melepaskan Indonesia dari ketergantungan bahan bakar fosil. Sebagai contoh, Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) yang diluncurkan pada saat Indonesia menjadi ketua G20, dengan komitmen sebesar USD 21,6 miliar dari negara-negara anggota G20. Pada tahun 2023, PT PLN menandatangani sembilan Nota Kesepahaman senilai USD 54 miliar dengan beberapa perusahaan dan pemodal Tiongkok untuk pengembangan energi terbarukan, termasuk untuk transmisi dan infrastruktur smart grid. Bantuan bilateral terbaru datang dari Australia dalam bentuk KINETIK (Kemitraan Infrastruktur dan Iklim Australia-Indonesia), dengan komitmen sebesar AUD 200 juta untuk mempromosikan tiga pilar transisi energi di Indonesia, yaitu reformasi kebijakan, pendanaan iklim untuk usaha kecil dan menengah, dan transisi energi yang adil bagi kelompok marjinal.

Contoh-contoh tersebut memberikan gambaran sekilas mengenai pendekatan diplomasi iklim Indonesia: untuk mengamankan investasi besar untuk pengembangan ET. Hal ini juga menunjukkan bahwa Indonesia mencoba untuk mencapai dua target dengan satu anak panah, yaitu mencapai pertumbuhan ekonomi, sekaligus mencapai tujuan iklimnya melalui dukungan komunitas internasional.

Menavigasi ketegangan geopolitik dalam kepemimpinan iklim global

Persaingan Tiongkok dan Amerika Serikat untuk menjadi pemimpin global dalam hal tata kelola iklim terlihat jelas dalam bidang pendanaan iklim. Kedua negara berlomba memobilisasi modal di negara-negara berkembang untuk proyek-proyek terkait iklim, meskipun masih jauh dari komitmen pendanaan iklim tahunan sebesar 100 miliar dolar AS. Di bidang pembangunan infrastruktur, AS telah memprakarsai program Build Back Better World (B3W) untuk menyaingi program Belt and Road Initiative (BRI) yang terkenal dari Tiongkok. Kabar baiknya, kedua skema infrastruktur berskala besar ini semakin condong ke arah pembangunan hijau dan rendah karbon. Persaingan ini sebenarnya dapat memberikan keuntungan potensial bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang bergantung pada bantuan internasional untuk mewujudkan tujuan iklimnya.

Namun demikian, sekarang adalah saat yang tepat untuk mengingat kembali prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Karena negara-negara berkembang menjadi pusat persaingan dan pengaruh negara-negara besar, Indonesia harus secara hati-hati menavigasi pendekatan diplomasi iklimnya untuk mempertahankan posisi yang menguntungkan di antara kedua negara besar ini. Menyeimbangkan hubungan antara Indonesia-Amerika Serikat dan Indonesia-Tiongkok dapat menjadi kunci untuk membuka lebih banyak peluang investasi untuk pengembangan energi bersih nasional. Tindakan penyeimbangan ini juga penting untuk memastikan bahwa transisi energi dapat dilakukan sesuai dengan konteks Indonesia, dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di lanskap Indonesia dan tidak menambah beban bagi masyarakat.

Lanjutkan dengan hati-hati pada kesepakatan yang melibatkan teknologi yang belum terbukti

Selain pertimbangan geopolitik, Indonesia juga harus lebih selektif terhadap kesepakatan internasional yang mencakup pengembangan CCS/CCUS, nuklir, dan hidrogen. IRENA memperkirakan bahwa Indonesia memiliki total potensi energi terbarukan sebesar 3.692 GW, dengan tenaga surya memiliki potensi terbesar yaitu 2.898 GW, diikuti oleh tenaga angin lepas pantai dan tenaga air, masing-masing sebesar 589 GW dan 94,6 GW. Dalam hal ini, setiap negosiasi atau perjanjian mengenai pengembangan energi terbarukan di Indonesia harus diarahkan untuk memanfaatkan potensi-potensi tersebut, bukan untuk mendapatkan teknologi yang tidak akan memberikan pengurangan emisi yang signifikan bagi sektor energi Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang berkembang dan potensi pasarnya tentu saja menarik bagi negara-negara yang ingin memperluas pasar luar negeri untuk teknologi energi bersih. Namun, pemerintah Indonesia harus memiliki daftar prioritas dalam perencanaan proyek nasional strategis mereka mengenai teknologi energi bersih mana yang ingin mereka gunakan selama masa transisi energi. Menerima semua jenis teknologi impor tanpa mempertimbangkan efisiensi dan hasil yang didukung secara ilmiah dari teknologi tersebut dapat menjadi kontraproduktif terhadap agenda transisi energi Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia harus menyeimbangkan kebutuhan dan potensi dalam negeri dengan teknologi yang hemat biaya dan telah terbukti di pasar global.

Pendekatan diplomasi iklim dan energi yang terukur, cermat, dan berbasis bukti sangat diperlukan oleh Indonesia untuk mencapai tujuan iklimnya di tengah-tengah lanskap geopolitik yang bergejolak dan rentetan teknologi yang belum terbukti.

Share on :

Leave a comment