Jakarta, Kompas. Pemerintah perlu menertibkan jual-beli uap panas bumi untuk pembangkit listri lewat pengaturan tarif bagi kontrak baru.
Terkait negosiasi harga uap panas bumi antara Pertamina Geothermal Energy dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kedua pihak sudah menyepakati harga.
Pengamat ketenagalistrikan Fabby Tumiwa mengatakan, masalah harga jual-beli uap panas bumi untuk kontrak jual-beli uap panas bumi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, sebaiknya diberlakukan secara berbeda untuk kontrak baru. Pemerintah perlu mengantisipasinya lewat peraturan baru membahas masalah tersebut.
“Untuk kontrak pertama, misalnya berlaku selama 15 tahun dan secara investasinya sudah impas, tentu harganya tidak perlu sama atau sebaiknya lebih murah dalam kontrak kedua,” ujar Fabbt, Jum’at (8/1), di Jakarta
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) selaku induk perusahaan Pertamina Geothermal Energy mengeluhkan harga penawaran PLN terhadap uap panas bumi dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang 1-3 di Jawa Barat. Pertamina menawarkan harga 7,43 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh), sedangkan PLN menawar 3,3 sen dollar AS per kWh untuk kontrak per Januari 2016.
Dalam pernyataan resmi, kedua belah pihak saling sengketa pendapat mengenai harga uap panas bumi itu. Mentri BUMN Rini Soemarno menengahi masalah itu. Lewat rapat yang dihadiri pimpinan Pertamina dan PLN diputuskan, harga uap panas bumi PLTP Kamojang 1-3 sebesar 6 sen dolar AS per kWh.
Adapaun harga uap panas bumi PLTP Kamojang 4 diputuskan sebesar 9,4 sen dolar AS per kWh. Harga itu lebih rendah daripada penawaran Pertamina, 10,11 sen dolar AS per kWh, tetapi lebih tinggi daripada penawaran PLN yang sebesar 5,82 sen dolar AS per kWh.
“Kami menyambut baik langkah pemerintah yang memfasilitasi kesepakatan harga uap panas bumi antara Pertamina dan PLN” kata Vice President Corporate Communication Wianda Pusponegoro.
Sebelumnya, Manajer Senior Public Relations PLN Pusat Agung Murdifi menyatakan, alasan PLN menawar harga lebih rendah lantaran harga jual yang ditawarkan Pertamina terlampau mahal untuk kontrak jangka pendek. Padahal menurut dia, PLN telah sepakat kerjasama dengan PLTP 1-3 lebih dari 30 tahun.
“Kami sudah membeli uap panas bumi Kamojang selama 32 tahun. Lalu kenapa Pertamina menawarkan harga yang lebih mahal untuk kontrak jangka pendek selama lima tahun saja.” kata Agung.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo mengatakan, uap panas bumi yang merupakan energi terbarukan selayaknya harus dibeli oleh PLN. Apabila tidak, investor enggan mengembangkan panas bumi di Indonesia lantaran khawatir tidak terbeli. Pengembangan energi terbarukan, termasuk panas bumi , harus terus didukung untuk merealisasikan target capaian bauran energi.
“Pemerintah juga harus mendukung pengembangan panas bumi, misalnya memberikan insentif di bagian hulu. Insentif bisa berupa pembebasan pajak (tax holiday) atau keringanan pajak (pajak allowance),” kata Agung.
Sumber: Kompas.