Jakarta, 3 Desember 2025 – Transisi energi adalah suatu keniscayaan. Turunnya harga teknologi rendah karbon seperti energi surya dan baterai menjadi salah satu pendorong untuk beralih pada teknologi rendah karbon. Proyeksi menunjukkan bahwa tanpa melakukan apapun, dalam 5-10 tahun ke depan harga PLTS dan baterai akan lebih murah daripada membangun PLTU baru.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutan pembuka pada acara Brown to Green Conference, menjelaskan bahwa penting bagi Indonesia untuk mulai memikirkan rencana diversifikasi ekonominya.
“Pembelajaran dari negara-negara lain, dibutuhkan puluhan tahun untuk melakukan transformasi ekonomi bagi daerah-daerah penghasil batubara,” kata Deon.
Deon menambahkan bahwa terdapat risiko infrastructure lock-in, suatu kondisi saat terlalu banyak infrastruktur energi fosil mendominasi sehingga upaya transisi energi akan semakin mahal karena harus mengganti banyak infrastruktur. Jika Indonesia tidak segera merumuskan rencana transisi dan diversifikasi. Hal ini akan melemahkan daya saing ekonomi Indonesia sebab perusahaan multinasional mencari sumber energi yang lebih bersih dan rendah karbon.
Ianto Jones, Head of Low Carbon Energy and Infrastructure, British Embassy Jakarta membagikan pengalaman Inggris dalam memulai perjalanan dekarbonisasinya yang dimulai sejak tahun 2012-2013 saat batubara mendominasi sistem energi Inggris mencapai 40%, dan polusi emisi karbon dioksida menyebabkan kerugian ekonomi dan kesehatan mencapai antara 1,7 sampai 4,9 juta dolar per tahun.
“Mulai tahun 2016, UK menerapkan harga karbon sebesar 25 dolar per ton. Tarif ini membuat batubara tidak ekonomis, dan mengurangi penggunaan batubara pada sistem energi,” kata Ianto.
Totoh Abdul Fatah, Direktur Pendapatan Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menyatakan bahwa batubara memiliki kontribusi besar pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun besaran PNBP yang diterima fluktuatif mengikuti harga komoditas global.
“Sesuai amanat UU No. 3/2020 tentang nilai tambah pertambangan, tiap perusahaan pertambangan memiliki rencana hilirisasi mulai dari hilirisasi metanol amonia, gasifikasi batubara, DME, dan sink gas. Targetnya beragam mulai dari 2025 hingga 2029, namun kami melihat masih terdapat berbagai tantangan jadi kami memprediksi akan mundur untuk realisasinya,” kata Totoh.
Robert, Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Keuangan, mengatakan bahwa Domestic Price Obligation (DPO) menjadi satu instrumen kebijakan untuk menjaga APBN tetap berkelanjutan.
“Dari sisi kebijakan energi nasional, pemerintah sudah memiliki peta jalan penurunan porsi batu bara dalam bauran energi. Namun, DPO cenderung meningkat setiap tahun karena kebutuhan energi dan hilirisasi terus naik. Pemerintah juga mendorong agar batu bara tidak hanya dipakai sebagai bahan bakar, tetapi ditingkatkan nilai tambahnya menjadi produk lain seperti metanol, etanol, atau pupuk amonia. Saat ini sedang dihitung dampak fiskal dan energi dari pergeseran ke model hilirisasi tersebut,” katanya.
Robert menambahkan kebijakan harga, pajak, dan subsidi perlu dirancang agar bisa menekan risiko fiskal sambil tetap mendukung transisi energi dan menjaga ketahanan energi nasional.
Singgih Widagdo, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) mengatakan bahwa pasar batubara global sedang berada dalam situasi fluktuatif dan Indonesia sebagai negara pengekspor batubara perlu memetakan strategi penggunaan batubara.
“Ke depan, ketika teknologi energi terbarukan dan baterai semakin murah, risiko kelebihan pasokan (oversupply) batu bara akan makin besar. Harga batu bara diperkirakan sulit naik signifikan, sementara negara-negara pengimpor mulai menerapkan kebijakan pembatasan emisi dan negara-negara ASEAN sudah mendekati puncak bauran batu bara mereka,” ungkap Singgih.
Di tengah kondisi tersebut, Indonesia yang memiliki sekitar 963 tambang harus memastikan bahwa penurunan produksi batu bara terjadi secara terencana dan berbasis skenario, bukan penurunan mendadak tanpa transisi. Tujuannya agar ekonomi daerah tetap berkelanjutan dan penerimaan negara (terutama PNBP) tidak jatuh secara drastis.
Meliana Lumbantoruan, Deputi Direktur Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan bahwa terdapat ketergantungan sosial ekonomi daerah penghasil batubara Indonesia dengan adanya kebijakan DMO/Domestic Price Obligation (DPO). Ketergantungan ekonomi ini dibarengi dengan kerentanan sosial seperti hilangnya pekerjaan. Untuk setiap 100 juta ton penurunan produksi batubara, terdapat 8.500 – 10.000 orang yang kehilangan pekerjaan. Kerentanan yang langsung berdampak pada masyarakat ini menunjukkan kebutuhan akan rencana dan pendanaan transisi.
“Reformasi DMO dan DPO bukan soal menghapus proteksi, melainkan merestrukturisasi instrumen agar menjadi alat transisi yang aman untuk pasokan (energi), adil untuk publik, dan memacu investasi bersih. Itu memerlukan peta jalan yang terikat waktu, (roadmap time-bound), penentuan harga yang bersifat market-responsive, proteksi sosial-fiskal lintas kementerian, dan penguatan tata kelola yang transparan,” tegasnya.