Sejumlah lembaga pendanaan telah menyiapkan dana dalam mendukung program pembangunan kota yang beradaptasi pada perubahan iklim. Sayangnya, kapasitas kota untuk merancang program yang berkelanjutan, terintegrasi dan memiliki nilai ekonomis masih sangat terbatas dan menjadi kendala untuk mengakses dana yang tersedia.
Dengan dukungan dari Climate and Development Knowledge Network (CKN), Institute for Essential Services Reform (IESR), Senin lalu (18/07) menyelenggarakan diskusi kelompok yang membahas tentang peluang kota-kota di Indonesia dalam mengakses sumber-sumber pendanaan perubahan iklim. Diskusi ini diikuti oleh 30 peserta yang mewakili instansi pemerintah, lembaga donor, kelompok masyarakat sipil dan lembaga pendanaan.
Diskusi diawali dengan pembahasan mengenai keberadaan lembaga-lembaga yang memiliki mandat untuk mendukung program perubahan iklim, baik di tingkat global maupun nasional, seperti Global Environmental Facility, PT Multi Sarana Infrastruktur (PT SMI) dan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Untuk bisa mengakses dana dari lembaga-lembaga tersebut ada sejumlah persyarakatan yang ditetapkan seperti bentuk dan kapasitas organisasi dalam mengakses dana, jenis kegiatan atau program yang bisa didanai, serta mekanisme penyaluran dan pengelolaan dana.
GEF misalnya, yang dibentuk dari konvesi perubahan iklim, hanya bisa diakses negara-negara yang tergabung dalam konvensi dan memiliki dana penyertaan. sementara PT SMI, sebuah BUMN yang dibentuk pemerintah untuk pendanan infrastruktur bisa memberikan pembiayaan program baik yang diajukan oleh pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, namun membutuhkan proposal proyek yang memiliki nilai ekonomis dan berkelanjutan. Sedangkan ICCTF hanya bisa diakses oleh lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.
Diskusi ini juga memberi masukan bagi studi pendanaan perubahan iklim yang dilakukan oleh IESR di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur beberapa waktu lalu. Salah satu kendala yang dihadapi kota untuk mengakses dana perubahan iklim adalah terbatasnya informasi mengenai sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk program-program yang beradaptasi pada perubahan iklim, seperti pendanaan dari pemerintah, kelompok masyarakat, perusahaan dan lembaga perbankan yang beroperasi di wilayah kota.
Selain itu, kapasitas pemerintah kota dalam menyiapkan program dan rencana pembangunan yang selaras dengan isu perubahan iklim juga masih sangat terbatas, sebagian besar belum terintegrasi dengan sektor lain, tidak berkelanjutan dan tidak memiliki nilai ekonomi di masa depan.
Pemerintah kota, juga dianggap belum mampu untuk menginventarisir sumber-sumber pendanaan dan menyiapkan sebuah sistem pengelolaan dana terintegrasi dan berkelanjutan.
Diskusi ini diakhiri dengan sejumlah rekomendasi, diantaranya perlunya penguatan kapasitas bagi pemerintah kota dalam menyiapkan rencana pembangunan yang rendah karbon dan menguataka ketahanan terhadap perubahan iklim, pengembangan sistem pengeloaan sumber pendanaan (registry dan pengelolaan dana yang berkelanjutan) serta pengembangan forum stakeholder untuk sharing informasi dan bertukar pengalaman dalam melakukan inovasi pembangunan yang beradaptasi pada perubahan iklim.