Pada tanggal 21 April 2020, IESR menyelenggarakan diskusi media daring (online) guna membahas dampak pandemi COVID19 terhadap pengembangan energi terbarikan di Indonesia; dengan narasumber diskusi: Hariyanto, Direktur Konservasi Energi, DJEBTKE, Kementerian ESDM, Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Hariyanto menyebutkan bahwa pemerintah tetap akan menjaga ketersediaan energi di Indonesia dan mempertahankan target pengembangan energi terbarukan tahun 2020, dengan proses evaluasi yang sedang dilakukan Kementerian ESDM. Meski demikian, Kementerian ESDM juga memperkirakan beberapa proyek pembangkit listrik energi terbarukan (PLT ET) akan terhambat dan akan selesai di 2021 alih-alih 2020; yang sudah teridentifikasi di antaranya 3 PLTP yang rencananya akan COD tahun ini bila kondisi business-as-usual. Hariyanto juga menggarisbawahi penundaan pembayaran dari perbankan pada proyek ET, yang kemungkinan akan menurunkan target investasi ET tahun ini.
Proyek PLTS Atap Kementerian ESDM menggunakan APBN yang menargetkan 800 titik dengan anggaran Rp 175 miliar tahun 2020 juga sedang dievaluasi. Kendala yang muncul adalah pengiriman dan logistik, mengingat banyak daerah yang memberlakukan pembatasan dan moda pengiriman yang terbatas. Mengingat secara administrasi proyek ini harus selesai di Desember 2020, Hariyanto mengatakan kementerian masih mencoba merealokasi anggaran untuk proyek lain.
Sujarwanto Dwiatmoko dari Dinas ESDM Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga menyatakan beberapa proyek pemerintah daerah terkait ET akan mengalami penundaaan, karena anggaran daerah difokuskan untuk meredam dampak pandemi pada sektor-sektor yang mendasar (essential). Pembangunan infrastruktur ET yang menggunakan dana APBD dan APBN sementara akan ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan, beberapa perusahaan PLTS Atap yang hendak melakukan ekspansi bisnis ke Jawa Tengah masih menunggu waktu yang lebih kondusif. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga fokus untuk menjaga keamanan suplai energi dan menerapkan prosedur kesehatan yang ketat untuk pelaksanaan operasional lokasi-lokasi pembangkitan dan distribusi energi.
Fabby Tumiwa menggarisbawahi tren pengembangan energi surya yang diperkirakan turun di tahun 2020 dibandingkan perkembangan pesat di 2019. Sepanjang 2019 dan hingga awal tahun 2020, perkembangan PLTS skala besar dan PLTS Atap menunjukkan tren positif. Empat PLTS skala besar juga telah memasuki tahap komisioning di tahun 2019, hingga total kapasitas terpasang PLTS mencapai 152 MW. Pertumbuhan ini juga mendorong turunnya harga listrik energi surya, tender untuk proyek PLTS di Bali Barat dan Bali Timur berkapasitas 2×25 MW telah mencapai < US$ 0,059 per kWh. PLTS skala besar sudah mulai kompetitif dengan pembangkit berbahan bakar fosil, dengan penurunan harga hingga 40% lebih rendah dibanding proyek-proyek PLTS sebelumnya.
Penggunaan PLTS dalam skala kecil (PLTS Atap) juga mencatat pertumbuhan yang eksponensial, hingga Desemvber 2019, jumlah pelanggan PLN yang menggunakan PLTS Atap sudah mencapai 1.580. Prospek awal tahun 2020 menurut analisa IESR juga baik, terutama di segmen pelanggan komersial dan industri yang termotivasi menggunakan energi terbarukan dan karena adanya kemudahan setelah revisi Permen ESDM No. 49/2018 menurunkan biaya kapasitas dari 40 jam menjadi 5 jam.
Dengan kondisi pandemi, prospek ini akan meredup, terutama karena pelemahan ekonomi, menurunnya pertumbuhan permintaan listrik, dan pergeseran prioritas pengguna. Selain itu, nilai tukar rupiah yang melemah juga menyebabkan harga unit PLTS Atap pun naik sekitar 15%-20%. Berdasarkan survei awal IESR terhadap perusahaan EPC (Engineering, Procurement, Construction) PLTS Atap, permintaan dari pelanggan rumah tangga pada Maret-April mengalami penurunan hingga 50%-100%. Sementara itu, untuk segmen pelanggan komersial dan industri mengalami penurunan di rentang 50%-70%. Fabby memperkirakan outlook dalam 6 bulan ke depan akan negatif, tidak ada permintaan baru. Kelompok pelanggan komersial dan industri juga lebih memilih menahan investasi sebagai dampak dari cash flow yang terganggu. Kenaikan harga unit PLTS Atap juga akan memperpanjang waktu pengembalian investasi hingga 1 – 2 tahun lebih lama dibandingkan dengan harga sebelumnya.
Fabby mengusulkan Program Surya Nusantara sebagai alternatif program pemulihan ekonomi pasca-COVID19. Dengan menjadikan pengembangan PLTS Atap sebagai program nasional dan menyasar rumah tangga PLN bersubsidi, target tahunan 1 GWp akan mampu mendorong tumbuhnya industri dalam negeri, menyerap tenaga kerja hingga 30 ribu orang per tahun, mengurangi subsidi listrik dalam jumlah signifikan, dan berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Program ini dapat diintegrasikan dalam Program Kartu Prakerja untuk penyiapan tenaga kerja perancang, pemasang, dan teknisi tersertifikasi dan dapat dipersiapkan di tahun 2020 untuk bisa diterapkan segera pada 2021.
Rekaman diskusi dapat diakses di: