JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah disarankan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi premium secara bertahap ketimbang memaksa masyarakat untuk membeli pertamax. Untuk itu, pemerintah diminta melobi DPR agar merevisi Undang-Undang No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012.
Menurut ekonom senior Centre for Strategic and International Studies (Indef) Pande Radja Silalahi di Jakarta, Kamis (26/1), kenaikan harga premium harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan keterjangkauan atau daya beli masyarakat. Misalnya, kenaikan harga dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500-Rp 6.000 per liter.
Kebijakan menaikkan harga BBM premium itu lebih baik ketimbang memaksa masyarakat membeli pertamax sesuai harga pasar yang terus berfluktuasi dengan harga tinggi sehingga membuat beban masyarakat makin berat. Apalagi, pendapatan atau upah tidak bisa mengimbangi kenaikan harga-harga kebutuhan pascakenaikan harga BBM sesuai harga keekonomiannya.
Karena itu, menurut Pande, kenaikan bertahap untuk premium itu merupakan solusi yang seharusnya diambil pemerintah dan DPR. Namun, aturan dalam UU APBN menjadikan hal itu tidak bisa dilaksanakan.
“Sebelum jadi konsumsi politik, sebaiknya DPR segera merevisi pasal dalam UU APBN tentang tidak diperbolehkannya ada kenaikan harga BBM bersubsidi. Saya yakin, DPR orang pintar dan bisa melakukan hal itu untuk kepentingan masyarakat,” kata Pande.
Dia memperkirakan, jika kenaikan Rp 1.500 per liter pada harga BBM premium, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi sebesar Rp 50 triliun setiap tahunnya. Dengan demikian, anggaran itu bisa digunakan untuk melakukan pengentasan kemiskinan, menambah subsidi pupuk, dan membangun infrastruktur jalan.
“Selain itu, maksud pemerintah untuk menjadikan masyarakat mengganti BBM ke gas sudah sangat baik. Tetapi infrastruktur, kebijakan pemerintah, dan kondisi masyarakat yang tidak siap menerima penghapusan premix itu akan menambah kekacauan politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat,” tutur Pande.
Apalagi, menurut dia, penghapusan atau kenaikan harga premium pastinya akan diikuti dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Hal ini akan menjadi beban berat bagi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, pemerintah dan DPR bisa mempercepat revisi APBN Perubahan 2012 atau dengan pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menaikkan harga BBM bersubsidi berupa premium.
Menurut dia, UU tentang APBN 2012 berbeda dengan tahun sebelumnya yang menyebutkankan jika realisasi rata-rata harga harga minyak Indonesia (Indonesia crude price/ICP) lebih dari 10 persen di atas asumsi makro APBN 2011, maka pemerintah bisa melakukan penyesuaian harga BBM.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga mengakui, opsi menaikkan harga premium masih terbuka. “Tapi, kalau kita baca UU tentang APBN, kita tidak boleh menaikkan harga BBM subsidi,” katanya.
Seperti diketahui, dalam postur APBN 2011 realisasi subsidi BBM mencapai Rp 165,2 triliun, yaitu 127,4 persen dibandingkan dengan anggaran subsidi BBM di APBN Perubahan 2011 yang Rp 129,7 triliun. Sedangkan dalam UU APBN 2012, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,6 triliun
Ketua DPD I Partai Golkar DKI Jakarta H Prya Ramadhani mengusulkan kepada pemerintah dan DPR agar memilih opsi menaikkan BBM bersubsidi jenis premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter bagi para pengguna mobil pribadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Golkar DKI menolak opsi penghapusan BBM bersubsidi premium untuk seluruh kendaraan pribadi. Kita mendorong agar pemerintah dan DPR memutuskan menaikkan harga BBM premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000,” ujarnya.
Menurut dia, alasan menyetujui opsi menaikkan harga BBM premium karena Golkar memahami kondisi keuangan negara yang cenderung defisit untuk pembiayaan pembangunan. Namun, Partai Golkar juga memahami kesulitan masyarakat. Sebab, apabila dipilih opsi penghapusan BBM premium, maka jutaan masyarakat kelas menengah ke bawah akan terbebani dengan kenaikan harga BBM nonsubsidi berupa pertamax yang mencapai harga Rp 8.600 per liter.
“Jutaan warga Jabodetabek akan terbebani kalau membeli pertamax. Kasihan, ekonomi mereka itu kan baru saja tumbuh. Kalau harus menanggung beban untuk biaya BBM kendaraannya yang mencapai Rp 2,4 juta per bulan, sangat memberatkan,” kata Prya Ramadhani. (Bayu/A Choir/Yon Parjiyono).
Sumber: SuaraKarya.