Oleh: Morentalisa
Selama beberapa dekade perkembangan industri ekstraktif (minyak, gas dan tambang), industri ini dikenal sebagai industri yang bersifat sangat tertutup dan cenderung elitis. Tidak semua orang memiliki akses terhadap industri tersebut. Terlebih untuk industri minyak dan gas yang sulit untuk dijangkau oleh masyarakat umum.
Dapat dikatakan bahwa pengelolaan industri ekstraktif cenderung tidak transparan. Padahal transparansi merupakan yang poin cukup kritis untuk memastikan bahwa hasil pengelolaan sumber daya alam akan membawa sejumlah keuntungan bagi masyarakat. Tanpa transparansi, pemanfaatan sumber daya alam rawan penyalahgunaan oleh penyelenggara negara yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, selain menyebabkan keuntungan yang harusnya bisa dirasakan oleh masyarakat luas berkurang, minimnya transparansi bisa mendorong terjadinya konflik. Selain itu, di banyak kasus, pengelolaan sumber daya ekstraktif yang tertutup memungkinkan pemerintah yang berkuasa menggunakan hasil tersebut untuk melanggengkan kekuasaannya. Di Burma misalnya, sudah menjadi rahasia umum jika pemerintahan Junta militer menggunakan hasil penjualan minyak, gas dan berbagai batu mulia untuk memastikan kekuasaan mereka.
Kesadaran inilah yang kemudian mendorong sejumlah inisiatif, framework, regulasi dan aturan internasional lahir guna mentransformasi pengelolaan sumber daya ekstraktif agar lebih transparan. Salah satu seruan agar industri ekstraktif menjadi lebih transparan datang dari Amerika Serikat. Negara tersebut mengeluarkan Dodd-Frank Act yang kalau implementasinya berjalan dengan baik, akan mentransformasi model penyelenggaraan pengelolaan industri ekstraktif di banyak negara.
Sekilas Dodd-Frank Act
Dodd–Frank memiliki nama lengkap Wall Street Reform and Consumer Protection Act, merupakan regulasi tingkat federal yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Obama. Undang-undang ini didorong oleh sejumlah pihak, salah satunya adalah Barney Frank, dari House of Representative dan Chriss Dodd dari United States Senate Committee on Banking, Housing, and Urban Affairs, sehingga UU tersebut kemudian diberi nama Dodd Frank Act
Undang-undang tersebut disahkan pada 21 Juli 2010 sebagai respon dari krisis finansial yang melanda negara tersebut pada 2008. Secara garis besar, keberadaan undang-undang ini bertujuan untuk memperbesar peran negara terhadap aktivitas pasar untuk mencegah instabilitas. Dimana instabilitas akibat aktivitas pasar yang ‘minim’ kontrol dipercaya sebagai penyebab terjadinya krisis keuangan. Kehadiran UU tersebut kemudian berusaha untuk mereformasi dan mentransformasikan sifat dari pasar derivative Amerika yang cenderung bebas tersebut.
UU tersebut mengatur pembentukan sebuah badan independen yang akan mengawasi pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen tersebut yakni The Consumer Financial Protection Bureau. Selain itu, UU tersebut berusaha untuk mendorong terbentuknya sistem peringatan dini (Advance Warning System) terhadap gejolak yang terjadi di pasar modal yang dilakukan dengan jalan membentuk badan yang secara khusus bertanggung jawab terhadap pengelolaan dampak dan penanggulangan krisis yakni The Financial Stability Oversight Council.
UU tersebut juga akan mengatur Reformasi Mortgage System dengan menerapkan sejumlah peraturan, semisal dengan menerapkan kewajiban ‘mampu bayar’ bagi semua pihak yang ingin melakukan pinjaman dan kredit perumahan. Salah satu dari upaya reformasi ini juga melingkupi aanya penyediaan jasa konsultasi mengenai mortgage serta menerapkan peraturan yang ketat bagi mortgage dengan harga lebih tinggi. Selain itu, Dodd Frank akan menaikkan standard “hedge fund” yang merupakan dana investasi pribadi yang dapat digunakan dalam berbagai asset. Hedge fund ini dapat digunakan pula dalam berbagai strategi investasi untuk menjaga dana para investor dari kemerosotan yang mungkin terjadi di pasar, sembari memaksimalkan keuntungan dari upswing pasar.
Ada banyak aspek lain yang juga diatur dalam UU tersebut, namun alasan mengapa Dodd Frank Act disebut-sebut akan mempengaruhi sektor ekstratif adalah karena bunyi salah satu klausul di dalamnya. Klausul tersebut secara garis besar berujar bahwa Amerika akan mendorong transparansi di sektor ekstraktif dan mendorong peningkatan kesadaran untuk tidak menggunakan conflict mineral dalam industri, terutama industri manufaktur.
Dodd-Frank Act dan Meluasnya Seruan Transparansi di Sektor Ekstraktif
Ya Dodd-Frank Act memang memberikan lampu hijau pada gerakan transparansi di berbagai belahan dunia terutama untuk sektor ekstraktif. Melalui salah satu klausul dalam UU tersebut, yakni dalam Energy Security Through Transparency Act (ESTTA), di dalam Section 1504 , disebutkan bahwa setiap perusahaan minyak, gas dan tambang, yang terdaftar di dalam U.S. Securities and Exchange Commission (SEC) harus melaporkan secara publik dana yang mereka bayarkan kepada pemerintah. Undang-Undang tersebut mengaharuskan perusahaan-perusahaan atau setiap pihak yang terlibat dalam upaya pengelolaan minyak, gas dan tambang untuk melaporkan pembayaran mereka ke negara dan memposting laporan tersebut secara online.
Lahirnya UU tersebut akan berlaku terhadap semua perusahaan minyak, gas dan juga mineral yang tercatat/terdaftar di dalam US stock exchange. Setiap data yang dilaporkan oleh perusahaan kepada pasar bursa akan dicantumkan di situs pasar bursa AS. Hal ini sangat penting, mengingat dari 50 perusahaan besar dunia yang bergerak di sektor perminyakan dan gas, sekitar 29 dari 32 diantaranya merupakan perusahaan minyak dan gas besar dunia yang terdaftar di NYSE sehingga memiliki kewajiban untuk melaksanakan Dodd-Frank Act. Perusahaan tersebut memiliki home countries disejumlah negara, termasuk, Kanada, Rusia, Cina, Brazil, dsb, namun host country atau negara tempat perusahaan tersebut beroperasi banyak terdapat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
UU tersebut mengharuskan perusahaan-perusahaan seperti Chevron, Unocal, ConocoPhilipps untuk melaporkan pendapatan mereka kepada SEC. Adapun hal-hal yang harus mereka laporkan adalah : 1) tipe dan jumlah pembayaran kepada setiap negara, 2) tipe dan jumlah pembayaran yang dilakukan di tiap proyek , dan 3) sejumlah aliran pendapatan dan pembayaran lain seperti pajak, royalty, fee, serta bonus yang mereka bayarkan setiap penandatangan kontrak.
UU tersebut mengharuskan dan mewajibkan perusahaan untuk melaporkan pembayaran mereka dengan aturan sebagai berikut: mencantumkan total pendapatan berdasarkan kategori, kurs yang digunakan untuk melakukan pembayaran, periode pembayaran, segmentasi yang melakukan pembayaran, pemerintah yang menerima pembayaran tersebut, proyek yang terkait dengan pembayaran tersebut, serta berbagai kategori lain yang dianggap terkait dengan kepentingan publik. Data-data di atas cukup inci dan membuka jalan bagi publik untuk memperoleh akses terhadap informasi yang jelas dan komprehensif atas pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ekstraktif kepada pemerintah. Dengan adanya informasi ini, masyarakat menjadi lebih bisa mengawasi arus pendapatan negara.
Dodd-Frank dan Trend Mendorong Transparansi di Sektor Ekstraktif
Mencermati perkembangan yang terjadi di Amerika, sejumlah inisiatif serupa juga mulai diinisiasi oleh negara-negara lain yang memiliki pasar modal cukup besar, semisal Hongkong, Kanada dan Uni Eropa. Di Eropa, inisiatif ini mulai dibicarakan secara intensif pada 2010. Sekitar akhir 2010, European Commission mengadakan sebuah konsultasi untuk mendiskusikan kemungkinan lahirnya UU serupa bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Eropa. Proses konsultasi yang diadakan pada bulan Oktober-Desember 2010 tersebut diberi nama Consultation on Financial Reporting on a Country-by-Country Basis by Multinational Companies. Tujuan dari konsultasi tersebut adalah untuk mendapatkan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan mengenai laporan keuangan perusahaan-perusahaan transnasional yang dilakukan negara per negara. Regulasi tersebut rencananya akan menjadikan Dodd Frank sebagai bagian dari keseluruhan regulasi dan menambahkan sejumlah peraturan sehingga menjadi Dodd Frank plus. Sementara itu, Parlemen Inggris telah mengeluarkan sebuah motion yang mempertimbangkan adanya kebutuhan untuk mendorong transparansi dalam melaporkan pembayaran oleh perusahaan.
Di Kanada, telah ada sejumlah diskusi untuk mendorong harmonisasi peraturan yang berlaku di Kanada dengan Dodd-Frank Act. Pada bulan Januari 2011 telah diselenggarakan sebuah pertemuan yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan untuk melihat bagaimana kemungkinanan Kanada untuk mengharmonisasi regulasi pelaporannya dengan sejumlah kebutuhan yang terdapat di dalam Dodd-Frank. Jika harmonisasi dengan Dodd-Frank tersebut berhasil, maka hal tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat besar di dalam dunia investasi pertambangan mengingat dua per tiga perusahaan tambang dunia terdaftar di bursa saham Kanada. Selain itu, ada lebih dari 25 negara penghasil mineral di seluruh dunia, dimana perusahaan-perusahaan tambang Kanada tercatat sebagai investor paling besar.
Adanya inisiatif seperti EITI dan Dodd Frank Act menjadi penanda bahwa era ketertutupan yang selama ini mendominasi karakter industri tambang sudah tidak relevan. Seruan agar perusahaan-perusahaan ekstraktif menjadi lebih transparan sudah menggema di berbagai negara. Indonesia harus mampu menggunakan momentum ini untuk mendorong transformasi yang lebih komprehensif di sektor ekstraktif. Perusahaan tidak bisa lagi secara sembunyi-sembunyi melakukan pembayaran guna melancarkan usaha mereka. Di satu sisi, pemerintah akan menjadi semakin sulit untuk menyembukan keuntungan yang diperoleh dari sektor migas dan tambang.
Sumber:
- Brief Summary Of The Dodd-Frank Wall Street Reform And Consumer Protection Act
- Claire Woodside, “Staying Ahead of the Curve: Meeting Canada’s Commitment to Transparency and Good Corporate Citizenship in the Extractive Industries,” Publish What You Pay Canada, http://www.publishwhatyoupay.
org/sites/pwypdev.gn.apc.org/ files/Position_Paper_2_ Staying_Ahead_of_the_Curve.pdf - Publish What You Pay America, Extractive Industries Disclosure Provision in the Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act