VARIA.id, Jakarta – Pemerintah mengklaim tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah kesempatan baik bagi para eksportir untuk meraup untung. Tingginya nilai tukar dolar tentu membawa keuntungan berlipat setelah dikonversi ke rupiah kembali. Benarkah demikian?
Indonesia masih bergantung pada impor untuk beberapa komoditas, salah satunya minyak bumi. Membeli dengan harga dolar, lalu dipasarkan di dalam negeri dengan satuan rupiah. Tak peduli harga minyak dunia sedang murah yakni 42,85 dolar AS per barel, tetap saja harus dikalikan Rp 13.000 untuk menebusnya.
Inilah yang disorot kalangan pemerhati energi, ekonomi, dan lingkungan. Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, lemahnya rupiah terhadap dolar ini mengancam keamanan pasokan energi Indonesia saat ini dan masa depan.
Ia memaparkan, untuk keperluan transportasi saja masyarakat Indonesia menghabiskan 1,5 juta barel minyak sehari. Diperkirakan pada 2018-2019 akan menjadi 1,8 juta barel per hari.
Sementara produksi dalam negeri hanya 800 ribu barel per hari. PT Pertamina memproduksi 250-280 ribu barel per hari, sisanya perusahaan BUMN lain dan swasta.
“Paling sengsara kalau harga minyak dunia tinggi, lalu dolar juga tinggi. Pertamina bisa bangkrut. Hitungan saya, saat ini saja Pertamina menghabiskan 60 persen pendapatannya atau setara 60 juta dolar AS untuk biaya pengadaan minyak mentah,” kata Fabby di Jakarta, Jumat, 20 Maret 2015.
Fabby kemudian menjabarkan gambaran kerugian yang dialami Pertamina selama ini. Pada Januari 2015, Pertamina sudah mengalami kerugian mencapai 35 juta dolar AS atau sekitar Rp 455 miliar dengan asumsi 1 dolar Rp 13.000.
Kerugian juga dialami PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sekitar 70 persen biaya PLN untuk pengadaan bahan bakar, pembelian listrik swasta (IPP), operasi dan perawatan pembangkit, serta pembayaran imbal obligasi global. Semuanya harus ditebus PLN dalam satuan dolar.
Itu dari sisi suplai atau upaya pengadaan minyak untuk kebutuhan domestik. Sementara dari sisi permintaan, reader di bidang ekonomi politik dan korporat kepemerintahan di Thamrin School, Jalal, mengatakan, pemerintah sebenarnya bisa menyiasati cara mengendalikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) oleh publik.
Salah satunya melalui perusahaan-perusahaan BUMN yang memiliki peran dalam konsumsi minyak. Misalnya, dalam hal transportasi. Daripada ‘memanjakan’ Pertamina, pemerintah lebih baik merangsang pertumbuhan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Tentunya solusi ini harus dibarengi dengan pengembangan sistem transportasi publik yang baik. Agar semakin banyak orang yang beralih menggunakan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Atau cara lain adalah dengan menegaskan peraturan kepada industri otomotif.
Mereka harus menetapkan dan memiliki standar efisiensi energi untuk setiap unit kendaraan yang dipasarkan, atau yang disebut dengan fuel economy standard.*