By: Reynald Sori – REVIEW (27/3), Sudah dua setengah tahun berjalan sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat nota kesepahaman (MOU) kerja sama energi antara Indonesia dan China namun tindak lanjut komitmen tersebut belumlah terlihat. Beberapa hambatan yang cukup pelik baru mulai disadari oleh Pemerintah Indonesia sejak awal 2007, dan hingga kini masih kerap muncul masalah baru dalam aspek pendanaan kerjasama energi yang nilai investasinya mencapai 5 miliar dollar AS.
Masalah terakhir, Bank of China yang menjadi pendana bagi pembangunan tiga unit PLTU Indaramayu hingga kini belum mengucurkan dana juga. Akibat ketergantungan pendanaan tersebut, operasi PLTU tersebut pun ikut tertunda. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro sempat melansir dugaannya bahwa lambatnya pendanaan akibat konflik pembelian pesawat antara PT Merpati Airlines dengan pihak China yaitu PT Xian Aircraft, sehingga menyandera pendanaan proyek listrik 10 ribu MW.
Mengingat amat pentingnya proyek listrik ini bagi hajat hidup orang banyak, Pemerintah mestinya mampu mengevaluasi letak inti permasalahan kegagalannya. Ketimbang membuat strategi pendek atau hit and run yang akan hanya akan membuat janji Pemerintah menambah pasokan listrik 10.000 megawatt menjadi sekedar janji. Kabar terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah berangkat Rabu (18/3) minggu lalu ke China untuk menyelesaikan masalah dengan Pemerintah China. Hasilnya belum dapat diketahui hingga hari ini, namun optimisme dan kesabaran lebih nampaknya dibutuhkan. Karena MOU tingkat Presiden dan Wakil Presiden saja dapat terkatung-katung, bisa saja kini kejadian lagi.
China pertama kali minta jaminan Pemerintah RI
Dalam pidato saat penekenan MOU di Shanghai akhir Oktober 2006 itu, Presiden Yudhoyono menyatakan keyakinannya, jika dikerjakan secara benar Indonesia dalam satu dekade mendatang bisa menjadi negara dengan modal bioenergi terbesar di dunia, dengan mengundang berbagai investor, termasuk dari China, untuk bersama membangun bioenergi di Indonesia. Saat itu Yudhoyono datang setelah sebelumnya Jusuf Kalla didampingi beberapa Menteri dan Dirut BUMN melempangkan jalan kunjungan serupa sebelumnya pada Maret 2006.
Namun tak sampai setahun kemudian MOU tersebut menjadi kelihatan tak bertaji. Investor China belum mau menyepakati kontrak mengenai rekayasa, tender, dan konstruksi proyek sebelum adanya jaminan dari Pemerintah Indonesia yang mencakup keseluruhan proyek. Waktu itu China tetap minta jaminan agar jika terjadi kondisi dimana Pemerintah mengutak-atik PLN, dan membuatnya tidak sehat alias wanprestasi dalam berbisnis dengan investor energi dari China, maka para investor tak akan rugi. Pemerintah diminta menjamin semua kerugian yang berdampak bagi investor China di kondisi tersebut.
Meski saat itu Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu berkeras bahwa China tak perlu dituruti. Menurutnya Perpres 71/2006 dan Permen Keuangan, sudah mengatur lingkup penjaminannya secara lengkap, termasuk dalam hal kesehatan keuangan PLN dan penyediaan pasokan batu bara. Katanya, PLN bakal mampu mendanai proyek itu karena memiliki obligasi rupiah dan valuta asing, ditambah lagi dengan adanya jaminan berupa Public Services Obligation yang diberikan Pemerintah.
Akhirnya Pemerintah menaikkan level penjaminan proyek percepatan kelistrikan dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang jaminan penuh proyek pembangkit listrik 10.000 MW dengan bahan bakar batu bara. Dengan keluarnya penjaminan penuh, pemerintah menilai terbuka peluang untuk mendapatkan pendanaan dengan bunga yang lebih murah. Peluang mendapatkan pinjaman tidak hanya dari perbankan China.
Pemerintah terlihat sudah mulai putus asa, dengan mengambil keputusan yang beresiko ini. Para pengamat menilai Pemerintah terjebak dalam tawarannya sendiri ke China. Seperti diketahui pada 2007 terjadi gejolak yang amat besar pada harga energi dunia. Dan kontraktor China keburu mendominasi pelaksanaan proyek 10.000 MW sejak awal lelang. Delapan dari 10 proyek PLTU berbahan bakar batu bara di Jawa akan dikerjakan oleh kontraktor China. Namun, sampai pembangunan proyek-proyek pembangkit itu dimulai, masalah pendanaan dengan perbankan China belum juga selesai. Perbankan China meminta penjaminan penuh dari pemerintah.
Kepada media massa, saat itu pengamat dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuding Pemerintah tidak membuat perhitungan faktor risiko perencanaan yang baik dalam proyek 10.000 MW tersebut. Menurutnya, kalau dari awal jaminan penuh pemerintah sudah keluar, Indonesia akan memiliki opsi memilih paket yang lebih baik. Sekarang Indonesia terpaksa harus menerima saja paket pembangkit yang diajukan China.
Peran Peraturan Menteri Keuangan dalam menjabarkan perpres sangat penting. Menteri Keuangan perlu mempertegas adanya jaminan balik dari kontraktor atas keandalan proyek yang akan mereka bangun. Menurut Fabby, perlu dibuat indikator atas teknologi dan keandalan pembangkit sehingga bisa meminimalisasi kemungkinan kita mendapat pembangkit dengan kualitas jelek dari China.
Bahkan sejak Oktober 2007, di dalam Pemerintah sendiri keraguan akan kelancaran proyek ini mulai muncul. Saat itu, Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi J. Purwono mengkhawatirkan tanggung jawab kontraktor yang sudah terpilih untuk mengerjakan proyek dengan tidak adanya ikatan pendanaan. Menurutnya para kontraktor China telah memperoleh terlampau banyak, dengan adanya penjaminan penuh. Akan menjadi sulit sekali mengejar tanggung jawab kontraktor yang gagal memenuhi kewajiban.
Padahal, syarat lelang pengadaan pembangkit 10.000 MW jelas-jelas menyebutkan bahwa kontraktor harus menyediakan pendanaan sebesar 85 persen dalam bentuk kredit ekspor. Mestinya jika pihak kontraktornya tidak bisa menyediakan pendanaan, mesti ada sanksinya atau diadakan pembatalan kontrak.
Kini pesawat Merpati yang jadi hambatan
Nampaknya tudingan pengamat bahwa Pemerintah tidak melakukan penghitungan faktor resiko perencanaan yang benar, makin terlihat nyata. Gagapnya Pemerintah merespon diplomasi bisnis China terulang lagi. Seperti dijelaskan di awal, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menjelaskan tentang beban baru yang disandangnya sebagai penanggungjawab utama urusan listrik negeri ini, khususnya rencana pengadaan pembangkit 10.000 MW. Kini China berargumen bahwa karena Pemerintah tidak lagi menghormati MOU tahun 2006 tentang jual beli pesawat dengan China, maka pihak perbankan China menunda pencairan tahap pertama dari pinjaman dana pembangunan pembangkit yang nilainya sekitar 3 miliar dollar AS.
Meski pada akhir bulan lalu (27/2) Pemerintah Indonesia berjanji akan segera menyelesaikan kasus pembelian 15 pesawat jenis MA 60 oleh PT Merpati Nusantara dengan produsen pesawat asal China, yaitu Xian Aircraft Industry Company Ltd. Karena Dirut PLN Fahmi Mochtar menekankan jika masalah tersebut tidak segera diselesaikan pemerintah, pendanaan dari perbankan China untuk penyelesaian pembangunan proyek listrik 10.000 MW bisa terganggu.
Tetapi ada opini yang berbeda sebelumnya dari Sesmenneg BUMN Said Didu tentang mengapa Merpati tak membayarnya. Sebagai wakil dari pemegang saham alias komisaris BUMN penerbangan ini, Said berkeinginan Merpati tidak rugi. Ia mengungkapkan bahwa penundaan pembelian pesawat dari China dilakukan akibat melihat kondisi perusahaan yang tidak stabil. Menurutnya, kontrak yang dilakukan oleh Merpati dengan Xian Aircraft belumlah efektif. Penundaan kontrak ini diakibatkan akibat harga tiap pesawat itu terlalu mahal, sehingga diduga ada mark up yaitu sekitar USD40 juta per unit.
Sejalan dengan opini Said, PT PPA yang tengah merestrukturisasi Merpati juga telah menyatakan bahwa dari 15 unit pesawat yang dipesan, kemampuan Merpati hanya untuk memiliki 8 unit saja. Sedangkan tujuh unit sisanya mesti minta izin khusus dari Pemerintah. Bukan hanya karena faktor kondisi bleeding Merpati saat disuruh membayar, namun juga karena dimensi kebijakan MOU dengan China adalah G to G. Kalau Merpati dan Xian bisa mengambil opsi bussines to bussiness, Merpati akan menyelesaikannya.
Namun ini tentu akan kembali membuat Merpati yang baru saja mulai untung, kembali terperosok dalam jurang kerugian. Hutang lamanya saja yang masuk obyek pengelolaan PPA sudah mencapai 3 triliun rupiah ke dua BUMN lain plus biaya pembayaran PHK bagi 1.300 karyawannya. Lebih parah tentunya jika ditambahi dengan beban hutang baru beli pesawat yang nilainya kurang lebih 230 juta dollar AS.
Pemerintah tak seriusi kelanjutan krisis energi
Di sinilah pertanyaan pengelolaan energi khususnya listrik mengemuka kembali, terlebih menjelang perhelatan pergantian kekuasaan 2009 nanti. Apakah Pemerintah sekarang dapat melakukan akselerasi penyelesaian berbagai masalah terkait hanya dalam kurun waktu tak lebih dari waktu lima bulan lagi. Prakteknya waktu lima bulan akan terkorting hebat menjelang Pemilu. Bukan apa-apa, selain waktu yang berkurang akibat mayoritas Presiden, Wapres dan anggota kabinet menjadi juru kampanye Pemilu Legislatif dan Presiden, mereka juga akan kehilangan kualitas koordinasi sesamanya.
Maka itu sepertinya dibutuhkan optimisme dan kesabaran lebih dari masyarakat. Keadaan inkoordinasi dan inkonsistensi antar lembaga Departemen maupun BUMN makin memperkuat tudingan Fabby Tumiwa tentang ketiadaan perhitungan tentang resiko perencanaan proyek berdampak sebesar ini bagi bangsa Indonesia. Karena mestinya sebelum kebijakan kerjasama bilateral bernominal besar dengan negara raksasa seperti China yang diambil SBY dan JK pada 2006, semua lembaga pemerintahan yang terkait sudah melakukan assessment atas resiko perencanaan.
Sebenarnya tak sulit sama sekali mencari alasan logis bagi betapa pentingnya persiapan matang tersebut. Kebijakan 10.000 MW yang diluncurkan SBY dan JK pada 2006 adalah harapan terakhir pembangunan kelistrikan negara ini. Dua ratus juta penduduk Indonesia diberikan janji kehidupan yang lebih baik. Terlebih lagi dengan adanya krisis energi dan pangan dunia, maka sektor usaha membutuhkan pasokan listrik yang stabil. Dan sebagai catatan, permintaan listrik di Indonesia selalu naik, bahkan untuk wilayah Jawa dan Bali penggunaan listrik naik setiap tahun pada angka rata-rata 7 persen.
Belum lagi persoalan pemadaman akibat rusaknya sejumlah pembangkit ancaman pemadaman pun tak terelakkan. Bukan hanya karena tertundanya proyek 10.000 MW, gagalnya uji coba PLTU Labuan Angin dengan kapasitas 2 x 115 MW di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, oleh pabrikan China yang dijadwalkan bisa beroperasi April 2009 karena rusaknya turbin blade pada saat pengujian. Persoalan rusaknya sejumlah pembangkit di Palu, Sulawesi Tengah dan dan Jambi, Sumatera Selatan serta pemadaaman bergilir di Jawa dan Bali akibat defisit listrik menambah panjang deretan persoalan listrik di Indonesia.
Data terakhir yang ditampilkan oleh sebuah media mencatat pertumbuhan lima tahun terakhir (2003-2007) menunjukkan bahwa selain konsumsi listrik nasional tumbuh 6,7% per tahun, beban puncak tumbuh 4,8% per tahun dan kapasitas pembangkit hanya tumbuh 3,5% per tahun. Artinya, terjadi ketidakseimbangan antara penambahan kapasitas suplai dengan permintaan. Jika hal ini terus berlanjut bukan tidak mungkin rentetan persoalan baru juga akan bermunculan.
Goyahnya pondasi ekonomi global saat ini yang membuat runtuhnya industri-industri besar di dunia, memberikan dampak yang cukup penting di Indonesia. Industri manfaktur dan komoditas yang menyedot daya listrik cukup besar perlahan mulai bangkrut di Indonesia. Namun hal ini sejatinya bukan berkah, semata-mata karena krisis listrik semakin ringan dijinjing. Kita semua tahu listrik adalah perkara penting bagi infrastruktur pembangunan sebuah negara. Mestinya, kondisi krisis dimana permintaan listrik cenderung stabil menjadikan Pemerintah makin sadar untuk menepati janji pembangunan pembangkit 10.000 MW.
Padahal, Indonesia sesungguhnya merupakan negara yang kaya. Salah satu potensi energi terbesarnya adalah panas bumi. Bayangkan saja, diperkirakan potensi panas bumi di Indonesia mencapai 27.000 MW atau 40% cadangan dunia. Namun demikian, pemanfaatan energi panas bumi baru mencapai 900 MW atau 4% dari kapasitas terpasang nasional. Jika mengacu terhadap postur APBN 2009 yang hanya mengalokasikan dana sebesar Rp46 triliun untuk PLN, maka sangat tidak mungkin pengelolaan panas bumi dioptimalkan dari segi perawatan kapasitas terpasang maupun pembangunan barunya.
Ditambah lagi dengan program listrik 10.000 MW yang tak jelas kapan terealisasi, lalu sampai kapan krisis listrik ini terus berlanjut? Tentu kita hanya berharap siapapun yang berkepentingan dengan Pemilu 2009 dapat memanfaatkan program listrik sebagai prestasi atau otokritik membangun. Atau bisa juga dimanfaatkan oposisi, dan yang mayoritas parpol non partai Pemerintah lakukan, melakukan tekanan dalam kampanyenya agar Pemerintah menepati janjinya bagi masyarakat. Buat masyarakat kebanyakan tentunya konstelasi rumit proyek 10.000 MW ini bakal ditafsirkan lebih sederhana, yakni: listrik tidak mati melulu dan siapa Presiden yang mampu mencegah mati lampu. Bukan hanya menjelang Pemilu, tapi juga setelahnya.
Vox Populi, Vox Dei.
Last Updated ( Friday, 27 March 2009 03:10 )
reviewindonesia.com/economy-business/energy