Fabby Tumiwa [1]
Setelah memperpanjang perundingan hingga 2 hari, pada 11 Desember 2011 pagi hari Presiden COP-17 Maite Nkoana-Mashabane, yang juga adalah Menteri Kerjasama dan Hubungan Internasional Afrika Selatan, menutup COP-17 secara dramatis. Setelah melalui perpanjangan negosiasi, pertemuan negosiasi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) menghasilkan sebuah paket keputusan yang terdiri dari operasionalisasi Green Climate Fund (GCF), periode komitmen kedua untuk Protokol Kyoto, dan sebagai Durban Platform for Enhanced Action atau “Durban Platform.”
Di dunia internasional reaksi terhadap Durban Platform bervariasi dari “langkah maju dalam negosiasi perubahan iklim” sampai dengan “kegagalan untuk menyelamatkan bumi dari ancaman iklim.”
Berikut ini beberapa pandangan awal tentang Durban Platform dalam konteks negosiasi perubahan iklim:
- Durban Platform menyelamatkan proses negosiasi multi-lateral perubahan iklim di bawah PBB, tetapi tidak serta merta menyelamatkan iklim apabila kita mengacu pada rekomendasi Laporan IPCC ke-4 tahun 2007, yang menyatakan untuk dapat mencapai target penurunan emisi 2°Celcius, negara industri yang dikategorikan sebagai negara Annex-1 (negara-negara industri) harus menurunkan emisi sebesar 25%-40% dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2020.
- Durban Platform tidak mengatur tentang berapa besar pengurangan emisi GRK tetapi merupakan kesepakatan untuk memulai proses negosiasi baru dibawah UNFCCC dengan tujuan menghasilkan kesepakatan baru paling lambat tahun 2015. Dalam pembukaan, dokumen ini mengulangi kembali adanya kesenjangan antara komitmen penurunan emisi yang telah disampaikan oleh negara-negara anggota UNFCCC dengan emisi actual yang harus diturunkan untuk memenuhi target kenaikan temperatur rata-rata global sebesar 2°Celcius atau 1.5°C.
- Kehadiran Durban Platform secara efektif menghentikan proses dan prinsip-prinsip yang telah disepakati dalam Bali Action Plan (BAP) yang merupakan hasil dari COP-13 di Bali, Indonesia tahun 2007. Indikasinya yang paling nyata adalah diakhirinya mandat Ad-Hoc Working Group on Long Term Cooperative Action (AWG-LCA) pada tahun 2012.
Sejumlah elemen-elemen utama dari Durban Platform sebagai berikut:
- Naskah Durban mengajak “kerjasama seluruh negara yang seluas-luasnya dan partisipasinya untuk tanggapan internasional yang sewajarnya.” Teks ini memberikan pengertian adanya keterlibatan seluruh negara dalam upaya mengatasi dan mengurangi dampak perubahan iklim dengan memotong pembagian tanggung-jawab tradisional yang selama ini ada antara negara maju dan berkembang.
- Teks Durban membuka kemungkinan integrasi antara negara yang ada didalam dan diluar Protokol Kyoto.
- Dimulainya putaran negosiasi baru dalam wadah Ad-Hoc Working Group on the Durban Platform on Enhanced Action (AWG-DPEA) yang akan dimulai pada tahun 2012. Mandata AWG-DPEA tidak mencakup komitmen tetapi terbatas pada “identifikasi, menggali pilihan-pilihan untuk bentuk-bentuk aksi” yang dapat mengatasi kesenjangan emisi yang harus dikurangi berdasarkan komitmen negara-negara sebelumnya.
- Bentuk kesepakatan yang akan mungkin dihasilkan oleh Durban Platform pada 2015 dapat berupa: 1) sebuah protocol yang mengikat secara hukum (artikel 17 UNFCCC); 2) bentuk instrumen legal lainnya, misalnya dalam bentunk amandemen terhadap Konvensi sesuai dengan artikel 15, atau amandemen terhadap lampiran (Annex) yaitu negara-negara yang terkena kewajiban penurunan emisi GRK; atau 3) “persetujuan atas hasil dengan adanya paksaan hukum (legal force).” Menurut delegasi EU, bentuk ketiga adalah bentuk yang paling lemah.
Tidak dipungkiri, Durban Platform memberikan harapan bahwa negosiasi multilateral perubahan iklim belum mati, tetapi pertanyaannya adalah apakah peradaban umat manusia dapat terselamatkan, dan dampak perubahan iklim dapat dikurangi dengan berlarut-larutnya negosiasi perubahan iklim?
[1] Direktur Eksekutif IESR dan anggota Kelompok Kerja Pendanaan Iklim DNPI. Mengikuti negosiasi perubahan iklim sejak 1999, dan merupakan anggota delegasi RI pada COP-12 hingga COP-15.