VIVAnews – Pemerintah berencana memulai ekspor listrik pada 2014. Namun, hal itu harus didukung dengan regulasi yang jelas. Sebab, jangan sampai terjadi Indonesia ekspor listrik tapi Indonesia masih kekurangan listrik dan menanggung beban polusi karbon dioksida (CO2).
“Pembangkit listrik di Indonesia dari batu bara Indonesia, listriknya diekspor. Mereka (negara tujuan ekspor) dapat listrik murah dan bebas emisi tapi yang nanggung polusi CO2 Indonesia. Itu secara konvensi internasional, Indonesia yang bertanggung jawab,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa di Jakarta, Selasa 6 Maret 2012.
Fabby menjelaskan, untuk itu perlu ada regulasi yang mengatur harga jual listrik antarnegara. Aturan tersebut, harus tercantum ekspor listrik dipastikan tidak akan mengganggu kemanan energi nasional.
“Harus jelas konsep perencanaan, hingga aturan kontrak. Contoh, kalau tiba-tiba Batam memerlukan listrik tambahan, maka ekspor listrik ke Singapura bisa dialihkan. Yang penting, kalau kekurangan listrik jangan susah kembali,” katanya.
Aturan kedua yang wajib dicantumkan adalah aturan kompensasi CO2. Listrik yang diekspor nantinya harus terkena pajak CO2 sehingga harga listrik untuk ekspor terdiri dari biaya pokok listrik (BPP), margin, dan pajak CO2.
“Karena sebenarnya urusan energi di Malaysia dan singapura bukan concern Indonesia, yang penting energi di Indonesia terjaga,” ujar Fabby. “Kalau mereka mau listrik dari Indonesia, mereka harus bayar dampak CO2,” tambahnya.
Seperti diketahui, PT Perusahaan Listrik Negara akan mulai mengekspor-impor listrik pada 2014 dengan target awal 50-100 megawatt. Namun, PLN berjanji tetap akan memprioritaskan kebutuhan listrik dalam negeri.
Pemerintah saat ini sedang mengkaji regulasi khusus yang akan mengatur jual beli listrik antarnegara. Aturan berbentuk peraturan pemerintah tersebut akan terbit pada pertengahan 2012.
Sumber: vivanews.com.