Elpiji

Tahun 2014 baru berjalan beberapa hari tetapi masyarakat sudah disuguhkan dengan parodi tentang harga elpiji. Pada awal tahun Pertamina mengumumkan menaikkan harga bahan LPG (elpiji) tabung 12 kg sebesar 68%, setelah penyesuaian harga terakhir pada Oktober 2009. Dengan kenaikan ini, harga LPG yang semula 5850 rupiah/kg menjadi 9809/kg sehingga menjadikan harga satu tabung LPG 12 kg menjadi 117.708 rupiah dari 70.200 rupiah.

Kenaikan ini rupanya dimanfaatkan oleh pengecer untuk mengerek harga jual eceran LPG diatas harga resmi Pertamina, bahkan di Papua LPG dijual dengan harga 300 ribu rupiah. Sontak kenaikan ini menjadi topik besar di media cetak dan elektronik, apalagi menjadi headline setelah media memuat protes dari kalangan dari politisi sampai pengusaha warteg, dan ibu rumah tangga, serta mempertanyakan langkah tersebut.

Menteri ESDM berdalih kenaikan tersebut adalah keputusan Pertamina dan tidak dikonsultasikan dengan pemerintah. Adapun ketentuan Permen ESDM No. 26/2009 pasal 25 (b) menyatakan penetapan harga LPG non-subsidi/PSO dilaporkan kepada Menteri ESDM. Sedangkan menurut Pertamina kenaikan harga LPG 12 kg diputuskan oleh RUPS dengan dasar hasil audit BPK yang menilai pada tahun 2011/2012, Pertamina mengalami kerugian 7.7 triliun dari penjualan LPG 12 kg dan 50 kg.

Hanya selang 5 hari setelah kenaikan terjadi, secara mengejutkan Presiden mengadakan rapat kabinet terbatas di Bandara Halim dan akhirnya meminta Pertamina meninjau ulang kenaikan tersebut dalam waktu sehari. Sesuai arahan Presiden, pada batas waktu yang ditetapkan Pertamina mengumumkan harga baru Elpiji yang hanya mengalami kenaikan 1000 rupiah/kg, menjadi 6850 rupiah/kg atau 82.200 rupiah untuk ukuran 12 kg. Harga baru ini berlaku sejak 7 Januari 2013.

Pertamina menyatakan, walaupun ada kenaikan, perusahaan pelat merah tersebut masih menanggung kerugian. Keputusan ini sepertinya melegakan konsumen elpiji 12 kg yang sebagian besar adalah rumah tangga menengah dan restoran. Bagi pemerintah, mempertahankan tingkat harga LPG 12 kg sejatinya dapat mengurangi resiko fiskal akibat meningkatnya permintaan LPG 3 kg yang masih disubsidi. Migrasi pengguna LPG 12 kg akibat kenaikan harga yang kelewat tinggi dapat menimbulkan disparitas yang besar untuk harga produk LPG 12 kg dan 3 kg. Penurunan harga LPG sudah pasti menyelamatkan citra Presiden dan partai pimpinan Presiden yang bersiap menyambut Pemilu 2014.

Walaupun ketetapan telah diambil, ada sejumlah hal yang perlu menjadi catatan publik terkait dengan keputusan ini, yaitu:

Dasar kenaikan harga sebesar 1000 rupiah/kg. Dari berbagai pemberitaan media, tidak cukup jelas apa dasar keputusan menaikkan harga LPG sebesar itu. Mengapa bukan 500 rupiah/kg atau 1500 rupiah/kg atau lebih? Apakah keputusan ini berlandaskan pada perhitungan ekonomis biaya penyediaan LPG Pertamina?

Kewenangan dan mekanisme penentuan harga LPG non-subsidi (tabung 12 kg). Saat ini bisa dibilang kebijakan dan regulasi yang cukup tegas soal penentuan harga LPG 12 kg masih minim dan kurang jelas. Regulasi tentang harga LPG non-subsidi diatur oleh Permen ESDM No. 26/2009 telah menyebutkan harga jual LPG untuk pengguna LPG umum ditetapkan oleh badan usaha dengan berpedoman pada harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Dengan kata lain, untuk LPG 12 kg pemerintah tidak berwenang menetapkan harganya, melainkan diserahkan kepada Pertamina selaku Badan Usaha. Walau demikian, berkaca dari parodi kenaikan harga LPG yang baru saja terjadi, implementasi peraturan ini tidak dilaksanakan secara konsisten untuk kasus Pertamina. Walaupun dalam konteks Permen ESDM No. 26/2009 pasal 25 (b), kenaikan harga tersebut dilaporkan kepada Menteri ESDM, tidak ada kewenangan pemerintah membatalkan keputusan Pertamina. Tanpa adanya kejelasan terkait mekanisme, kewenangan dan tanggung jawab atas penentuan harga LPG non-subsidi (PSO) khususnya yang diproduksi Pertamina, masyarakat akan menghadapi kondisi yang serupa dan politisasi dalam penetapan harga jual LPG non-subsidi.

Biaya produksi LPG Pertamina. Keputusan kenaikan harga tidak menjawab pertanyaan publik tentang biaya produksi LPG Pertamina. Hanung Budya, Direktur Bisnis dan Pemasaran Pertamina menyampaikan bahwa Pertamina menanggung kerugian sebesar 22 triliun sejak 2008 sampai 2013 karena selisih antara harga jual LPG dengan harga kontrak (contract price) dengan Saudi Aramco yang naik dari $515 per metric ton, menjadi $ 873 per metric ton. Walaupun penjelasan ini rasanya rasional, tetapi tidak menjawab secara transparan struktur dan besaran biaya penyediaan LPG Pertamina. Dari seluruh LPG produksi Pertamina, 20% berasal dari produksi Pertamina, 20% dari Kontraktor Kerjasama Migas (KKS) dan 60% berasal dari hasil impor.

Transparansi biaya produksi LPG baik subsidi dan non-subsidi sangat relevan, tidak hanya untuk pengguna LPG 12 kg, tetapi lebih mendesak untuk perhitungan besaran subsidi LPG 3 kg yang setiap tahun dialokasikan di APBN. Sejauh ini patokan biaya LPG 3 kg ditetapkan oleh Keputusan Menteri ESDM yang menjadi dasar perhitungan biaya produksi. Keputusan ini menggunakan harga CP Aramco, ditambah dengan biaya pengolahan dan handling. Walaupun demikian, biaya produksi LPG 12 kg bisa saja berbeda dengan LPG 3 kg karena sumber pasokan bahan baku yang tidak berasal dari Aramco tetapi dari Pertamina dan KKS. Data menunjukkan bahwa Pertamina memasok 977 Metric Ton LPG 12 kg dan 4.39 Metric Ton LPG 3 kg pada tahun 2013. Pasokan LPG 12 kg hanya 18.4% dan LPG 3 kg sebesar 80.16% dari total LPG produksi Pertamina. Transparansi biaya produksi ini diperlukan mengingat Pertamina adalah BUMN dan secara alami menguasai bisnis produk LPG, yang merupakan bahan bakar utama bagi rakyat Indonesia, setelah minyak tanah tidak lagi tersedia.

Regulasi harga dan pengawasan tata niaga LPG. Permen ESDM No. 26/2009 tentang harga jual LPG untuk umum ditentukan oleh Badan Usaha dengan mengacu pada 3 hal: harga patokan, daya beli konsumen dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Regulasi ini mengandung sejumlah defisit. Dalam ketentuan regulasi ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud harga patokan, dan siapa yang berhak menentukan harga patokan, siapa yang menentukan tingkat kemampuan konsumen, apa dasar penilaiannya. Bisa dikatakan pasal 25 Permen ESDM No. 26/2009 dimaksudkan untuk mengatur, tetapi secara substansi ada keengganan untuk mengatur harga jual LPG, dan memberikan keleluasaan kepada Badan Usaha untuk menentukan harga secara subjektif. Regulasi ini juga tidak mengatur bagaimana harga ditetapkan pada tingkat agen dan pengecer, sehingga dapat terjadi perbedaan harga LPG yang terlampau besar di tingkat pengecer dengan distributor.

Dalam pengawasan, tidak terlalu jelas institusi yang mendapatkan tugas dan kewenangan dalam distribusi LPG non-subsidi. BPH Migas yang dibentuk oleh UU No. 22/2001 tidak secara jelas berwenang mengawasi tata niaga LPG baik subsidi maupun non-subsidi, demikian juga Dirjen Migas. Adapun jika konsisten dengan tupoksi BPH Migas, pengawasan tata niaga LPG seharusnya menjadi kewenangan lembaga ini. Kejelasan regulasi dan mekanisme yang baku dan jelas diperlukan untuk memastikan tata niaga LPG diawasi secara baik untuk kepentingan masyarakat umum.

Jakarta, 8 Januari 2013

Share on :

Leave a comment