Jonan Sebut Harga Listrik Tenaga Surya Murah Berkat PLN

Jakarta, CNN Indonesia — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan harga listrik hasil Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) wajar lebih murah jika dibandingkan produksi PT PLN (Persero). Pasalnya, dalam menyalurkan listrik hasil PLTS Atap, jaringan yang dipakai merupakan transmisi dari PLN.

Sebelumnya, Kementerian ESDM telah menerbitkan ketentuan terkait penggunaan listrik PLTS Atap dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Dalam beleid yang diteken Jonan 15 November 2018 lalu tersebut, jumlah energi listrik yang dijual (ekspor) kepada PLN oleh konsumen dihitung berdasarkan nilai kWh yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65 persen. Artinya, harganya lebih murah 35 persen dibandingkan listrik yang dijual PLN kepada pelanggan PLTS Atap atau sekitar Rp953,55 per kWh dari normalnya Rp1.467 per kWh.

Perhitungan energi listrik Pelanggan PLTS Atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh Impor dengan nilai kWh ekspor. Jika jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi yang diimpor pada bulan berjalan, selisih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya.

“Kalau kita punya PLTS Atap di rumah, jualnya ke PLN pakai kabelnya siapa? Pakai jaringan distribusinya siapa? Kan pakai jaringan transmisi distribusi PLN. Gardu kan juga punya PLN,”ujar Jonan saat menghadiri International Business Summit 2018 IKA ITS di Hotel Indonesia Kempinski, Rabu (28/11).

Jonan memaparkan dalam komposisi pembentuk tarif listrik di Indonesia biasanya dua pertiga berasal dari beban pembangkit listrik. Sementara, sepertiga sisanya berasal dari beban jaringan transmisi atau distribusi.

Jonan meyakini PLTS Atap ke depan perkembangannya akan semakin pesat karena harganya di pasaran cukup murah.

Perkembangan PLTS Atap juga akan membantu pemerintah mencapai target porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam energi primer menjadi 23 persen pada 2025 dari posisinya saat ini yang masih berkisar 12 persen.

Dalam wawancara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essental Service Reform Fabby Tumiwa sebelumnya menilai jika harga jual listrik yang dihasilkan PLTS Atap lebih murah maka hal itu akan menjadi disinsentif. Dengan harga yang lebih rendah, pengembalian investasi panel surya atap yang berkisar Rp15 juta per kiloWatt (kW) menjadi lebih lama yaitu dari kisaran delapan hingga sembilan tahun menjadi 12 hingga 13 tahun.

“Jadi bukan memberikan insentif malah menyebabkan disinsentif,” ujar Fabby beberapa waktu lalu.

Disinsentif tersebut kata Fabby, bisa menghambat percepatan pemasangan panel surya. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan kapasitas listrik surya atap bisa meningkat menjadi 6,5 GigaWatt pada 2025.

Sementara itu, berdasarkan catatan IESR, listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga surya atap di Indonesia masih kurang dari 100 MW. Sebagai pembanding, tahun lalu, Fabby menyebutkan listrik tenaga surya yang dihasilkan oleh Thailand telah mencapai 2,73 GW, Malaysia 830 MW, dan Singapura 130 MW.

Sumber: cnnindonesia.com.

ESDM: Aturan PLTS Atap Surya untuk mendorong bisnis dan industri panel surya

Foto udara panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu (21/11/2018). PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) menargetkan PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat berkapasitas 200 megawatt (MW) dan bakal menjadi yang terbesar di dunia ini akan beroperasi bertahap mulai kuartal I 2019. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 49 tahun 2018 tentang penggunaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh konsumen Perusahaan Listrik Negara (PLN). Harapannya dengan aturan ini bisnis dan industri panel suraya bisa berkembang.

Mengenai hal ini, saat dikonfirmasi, pihak dari PLN dan pemerintah belum mau banyak berkomentar. Hanya saja, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Perusahaan Listrik Negara (PLN) Djoko Rahardjo Abumanan menyebutkan, pada Rabu (28/11) nanti, aka ada launching dan sosiasilisasi mengenai Permen PLTS Atap untuk consume PLN ini. “Biar tidak salah persepsi, Rabu anti ada sosialisasi,” kata Djoko, ke Kontan.co.id, Senin (26/11).

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengklaim bahwa Permen ini sudah cukup akomodatif untuk meningkatkan pangsa pasar energi terbarukan. “Itu untuk mendorong bisnis dan industri panel surya,” ungkapnya.

Hanya saja Harris menekankan bahwa kapasitas PLTS atap yang boleh dipasang maksimal 100% dari kapasitas langganan PLN. Sehingga, mayoritas produksi PLTS atap akan terserap untuk pemakaian sendiri, dan hanya sebagian kecil excess power yang akan diekspor ke jaringan PLN. “Jadi perlu dilihat secara keseluruhan konten, kita bahas (Permen) ini melibatkan stakeholder terkait,” tandasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan, aturan dalam Permen tersebut membuat investasi pada jenis pembangkit enegi terbarukan ini bisa menjadi tidak menarik.

Sebab, tingkat pengembalian investasinya menjadi lebih lama dari hitungan ideal, berdasarkan nilai kilowatt-hour (kWh) Ekspor atau jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi Pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan PLN.

Pasal 6 di Permen ini menyebutkan bahwa energi listrik Pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65% . Dengan perhitungan ini, Fabby menilai tingkat pengembalian investasi untuk pemasangan panel surya akan menjadi 11-12 tahun.

Padahal, dengan perhitungan tarif ekspor 100% atau 1:1 yang berarti tarif listrik yang dijual ke sambungan PLN sama dengan tarif yang dibeli dari sambungan PLN, pengembalian investasi akan memakan waktu sekitar delapan tahun. Adapun, biaya investasi pemasangan panel surya atap saat ini memang masih belum terjangkau, yakni senilai Rp. 14-15 juta per kilowatt peak (kWp)

“Sekarang dipotong hanya 65%. Jadi justru Permen ini memberikan disinsentif bagi rumah tangga untuk memasang panel surya karena pengambalian investasi bukan lebih cepat, malah lambat,” ujar Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa menurut riset pasar yang telah dilakukannya, ada paling tidak 4-4,5 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang akan memasang PLTS Atap. Syaratnya, pertama, ada potensi penghematan listrik lebih besar dari 30%, dan kedua, biaya investasinya harus kembali di bawah tujuh tahun. “Itu hasil market survey kami, hanya di Jawa saja, luar Jawa belum kami lakukan,” kata Fabby.

Dalam perhitungannya, tambahan pengguna 4-4,5 rumah tangga itu setara dengan 15-17 gigaWatt peak. Hal ini, lanjut Fabby, akan bisa membantu pemerintah untuk mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.

Sebab, di dalam target bauran 23% itu, ada target listrik dari PLTS, baik yang dibangun di atas tanah maupun atap, sebesar 6,5 GigaWatt. Artinya, dengan adanya potensi penambahan 15-17 gigaWatt, itu bisa melebihi hampir tiga kali dari target.

Namun, potensi itu bisa hilang, karena menurut Fabby, Permen yang ada saat ini dibuat lebih fokus untuk melindungi PLN. Padahal, imbuhnya, PLN tidak seharusnya khawatir karena pengembangan PLTS Atap tidak akan merugikan perusahaan listrik plat merah ini.

“Sekarang itu total listrik surya sekiatr 80 megaWatt (MW), kalau dihitung listrik atap paling hanya sekitar 30 MW, seluruh Indonesia. Masih kecil, tidak signifikan,” jelasnya.

Bahkan, Fabby memaparkan, jika saja pada tahun 2020 ada tambahan kapasitas listrik surya menjadi 1 GW, pendapatan (revenue) PLN hanya akan berkurang di bawah 4%. Namun, penambahan sebesar 1 GW itu justru bisa menguntungkan PLN.

“PLN malah untung, karena losses di tegangan rendah yang didistribusikan itu berkurang, karena ada pembangkit-pembangkit surya yang mempertahankan tegangan listrik PLN, sehingga PLN bisa memaksimalkan penjualan energinya,” terang Fabby.

Selain itu, jika PLTS Atap lebih bertambah, maka biaya investasinya pun akan semakin murah, sehingga harga panel surya untuk pembangunan PLTS pun bisa semakin menurun. Alhasil, PLN bisa mengurangi konsumsi bahan bakar gas atau diesel dengan substitusi menggunakan panel surya. “Keinginan kita, pemerintah dorong agar ada akselerasi, jadi pasarnya terbuka, lebih banyak PLTS surya, ujung-ujungnya PLN untung,” kaat Fabby.

Sumber: kontan.co.id.

Baru Terbit, Beleid Panel Surya Dinilai Kurang Menarik

Jakarta, CNBC Indonesia- Pemerintah baru saja mengeluarkan peraturan terkait penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap bagi pelanggan PLN. Namun, pengamat menilai, peraturan ini tidak akomodatif untuk menunjang investasi energi baru terbarukan (EBT) di bidang kelistrikan.

“Peraturan ini tidak merugikan pelanggan karena baru sekitar 600 pelanggan PLN yg menggunakan PLTS Atap, tetapi peraturan ini membuat investasi listrik surya atap kurang menarik bagi pelanggan rumah tangga, komersial/bisnis, dan industri,” terang pengamat energi Fabby Tumiwa kepada CNBC Indonesia, saat dihubungi Senin (26/11/2018).

Fabby menilai, Permen ini dibuat untuk melindungi kepentingan PLN dan gagal melihat peluang pengembangan listrik Surya atap di Indonesia. Dari studi pasar yg dilakukan GIZ INFIS dan IESR pda Agustus-September 2018, terdapat potensi 2% early adopter dan 11% early follower rumah tangga di Jabodetabek.

Lebih lanjut, Fabby mengatakan, dari yang 11% tersebut, ekspektasi mereka dalam memasang PLTS Atap adalah penghematan listrik sekitar 30-40% dari tagihan bulanan.

Fabby mengakui, memang penghematan terjadi sesuai kapasitas yang dipasang, tapi interpretasinya adalah potensi pasar tersebut berharap tidak ada penurunan tarif impor ke PLN, atau dengan skema net metering, skemanya impor-ekspor 1:1.

Fabby mengatakan, dalam Permen 49/2018, tarif impor ke PLN hanya 65% dari tarif listrik, jadi masyarakat mensubsidi PLN melalui produksi listrik surya. Selain itu, perhitungan kelebihan atau tabungan kWh hanya berlaku 3 bulan, padahal kalau lihat aturan PLN sebelumnya, tarif net metering 1:1 dan perhitungan kelebihan energi akan diulang setiap akhir tahun.

“Dalam hal ini Permen ini tidak lebih maju dari pada PLN sebelumnya,” pungkas Fabby.

Sumber: cnbcindonesia.com.

Pemerintah Terbitkan Permen Listrik Surya Atap

JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan peraturan menteri yang mengatur harga jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap segera terbit bulan ini. Beleid ini diharapkan dapat mendongkrak pemanfataan energi surya untuk listrik.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, regulasi baru tersebut telah ditandatangani oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan dan kini dalam proses untuk diundangkan.

“Intinya, semua sektor (bisa pakai regulasi ini),” kata dia di Jakarta, kemarin.

Direktur Aneka Energi Direktorat Jenderal EBTKE Harris menambahkan, beleid teranyar itu yakni Permen ESDM No 49 Tahun 2018. Namun, beleid ini belum mendapat nomor lembar negara dari Kementerian Hukum dan HAM.

Setelah dinomori, pihaknya segera melakukan sosialisasi regulasi ini. Inti dari Permen ini, lanjutnya, yakni mengatur pelanggan untuk bisa menyambung ke jaringan PLN dalam rangka menjual kelebihan setrumnya. Namun, volume setrum yang dijual dari pelanggan ini tidak akan terlalu besar. Beleid ini juga mengatur kapasitas yang dapat dipasang.

“Hitungannya gampang, kalau di rumah berlangganan 6.600 VA (volt ampere), maka yang dipasang enggak boleh lebih dari 6.600 VA. Kemudian sektornya mana, mulai dari sosial, rumah tangga, komersial, industri, sama pemerintah,” jelas Harris.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, PLTS atap bisa menjadi solusi sumber energi terbarukan di wilayah yang rasio elektrifikasinya sudah cukup tinggi seperti di Jawa-Bali.

Sayangnya, dengan biaya saat ini Rp 14-15 juta per kilowatt peak (kWp), belum banyak rumah tangga yang berminat memasang panel surya di atapnya. Namun, dari hasil survei yang dilakukan pihaknya, masyarakat akan berminat memasang PLTS atap jika mendapat manfaat setara penurunan harga 30-40%.

Pasalnya, harga panel surya akan menjadi lebih terjangkau. “Nah, (kalau ada) masyarakat mau pergi ke bank cari cicilan tetap untuk membeli solar rooftop 2-4 kWp untuk setiap rumah,” ujarnya.

Untuk itu diperlukan dorongan dari pemerintah berupa regulasi terkait PLTS atap ini. Dengan asumsi 4 juta rumah memasanga panel surya berkapasitas 2-3 kWp, pihaknya menghitung ada potensi tambahan setrum tenaga surya 12-16 gigawatt peak (Gwp). Tambahan ini dapat direalisasikan dalam lima tahun mendatang seiring dengan penurunan modul surya.

“Selaras dengan estimasi sebenarnya potensi surya di Indonesia sampai 2030 itu 45 GW, di mana 15 GW dari solar rooftop dan 30 GW dari PLTS skala besar,” jelas Fabby. (ayu)

Sumber: id.beritasatu.com.

Jonan Curhat Soal Kendala Kembangkan Energi Baru di RI

Jakarta, CNBC Indonesia Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menekankan sila ke-5 dalam Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT).

Jonan melanjutkan, dalam mengembangkan EBT, masalah pertumbuhan ekonomi perlu jadi pertimbangan. Ia berpandangan, di belahan bumi manapun, masalah ketahanan ekonomi, PDB per capita, disparitas, gini ratio tidak sama. Sehingga, tidak adil jika subsidi dicabut dan dialihkan untuk EBT di saat rasio gini masih tinggi.

“Ini jadi faktor kalau kita mau bahas transisi energi ke EBT. Bahwa betul timbul kesejahteraan usaha, ciptakan teknologi, tapi juga timbulkan biaya-biaya baru,” ujar Jonan dalam menyampaikan sambutannya di acara Indonesia Clean Energy Forum, di Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Lebih lanjut, Jonan mengatakan, dalam transisi energi, faktor pasokan dan permintaan juga menjadi pertimbangan. Dari sisi permintaan (demand), Indonesia harus bersyukur karena memiliki generasi muda mayoritas mau di desa atau kota yang semuanya mendukung energi bersih. Jonan menilai, segala sesuatu yang didukung generasi muda, pasti akan berjalan baik.

Sedangkan, dari sisi pasokan, apa yang ditawarkan harus bisa terjangkau (affordable). Jonan menyebut, Uni Eropa bisa menjalankan EBT karena mendapat subsidi besar untuk transisi energi mereka.

“Perdebatan panjang di parlemen, mau disediakan seperti apa insentif ini. Kalau besar-besar harus disiapkan anggarannya. Tantangannya kalau insentif besar, rasio elektrifikasi itu harus 100% penuh, kalau tidak ada yang protes. Sekarang rasio elektrifikasi 98% ada 2% yang belum terlistriki, itu banyak lima juta lebih. Disparitas masih lebar,” tambah Jonan.

Menanggapi hal ini, ditemui di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, justru EBT merupakan solusi akan kurangnya rasio elektrifikasi di daerah-daerah yang belum ada listriknya.

“Daripada PLN terus terbeban untuk melistriki daerah tertinggal, mending subsidi atau insentifnya dialihkan untuk pengembangan EBT di sana, untuk melistriki daerah itu,” pungkas Fabby.

Sumber CNBC Indonesia

Jonan Turunkan Target Energi Terbarukan 2025 Jadi 20 Persen

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah menargetkan pada 2025 porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional di Indonesia mencapai 23 persen. Target ini sesuai dengan komitmen pemerintah dalam Paris Agreement tahun 2015.

Tapi, hingga saat ini porsi EBT baru mencapai angka 13 persen. Meski masih ada waktu 7 tahun lagi untuk mengejar target energi terbarukan 23 persen, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengaku pesimis hal itu bisa terkejar. Dia pun menurunkan target bauran energi terbarukan pada 2025 menjadi 20 persen.
“Ya kira-kira begitu. Saya khawatir enggak bisa capai 23 persen (pada 2025). Ini yang belum tentu 23 persen bauran energi di 2025, mungkin kita coba sampai 20 persen kurang lebih,” kata Jonan usai memberikan sambutan dalam acara Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (15/11).
Jonan menjelaskan, ada beberapa alasan yang membuat target energi terbarukan 2025 turun. “Pertama, mengenai nilai investasinya. Apa ini bisa memberikan dampak yang serius terhadap kenaikan listrik,” ujarnya.
Yang kedua, di sektor transportasi, kata Jonan, sulit mendorong penggunaan bioetanol karena kurangnya pasokan bahan baku.
“Seperti tebu, bersaingan dengan konsumsi manusia. Ketela pohon dan nira juga sama. Memang skala kecil bisa (direalisasikan) tapi coba skala nasional, mana bisa sampai sekarang lho ya,” jelasnya lagi.
Karena itu, dia mendorong industri pertanian menanam ketela dalam skala jutaan hektare agar bisa dikonversi jadi etanol.
Hingga saat ini, porsi EBT di sektor ketenagalistrikan baru mencapai 13 persen, sementara di transportasi mencapai 12-13 persen karena ada perluasan program mandatori biodisesl 20 persen atau B20.
PLTP Pertamina di Ulubelu, LampungPLTP Pertamina di Ulubelu, Lampung (Foto:Dok. Pertamina)
Meski target bauran energi terbarukan 23 persen diturunkan menjadi 20 persen di 2025, pemerintah tetap melakukan sejumlah upaya
Pengembangan EBT terutama dilakukan dengan terus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Kata Jonan, mungkin dalam 7 tahun porsi EBT bisa bertambah 2 persen dari pengembangan panas bumi. Sebab, banyak PLTP baru di berbagai daerah, meski banyak yang kapasitasnya kecil.
Selain itu, pemanfaatan energi air dan mikro hidro juga digenjot. Walaupun kapasitas pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) kecil-kecil, tapi total kapasitasnya cukup signifikan.
“Yang (PLTA) besar-besar juga, saya dengar PLN sekarang tanda tangan. Ini diharapkan bisa tambah bauran energi,” ucapnya.
Potensi EBT lain yang juga diandalkan untuk mengejar target adalah energi surya. Saat ini Kementerian ESDM sedang menyiapkan aturan untuk mendorong penggunaan panel surya atap (solar PV).
“Memang terus terang masih kurang. Kan ini negara tropis, masa kurang sih PLTS-nya? Ini mau dikeluarkan peraturan ini untuk setiap rumah pasang solar PV. Jadi nanti ekspor impor ke dan dari PLN,” tutupnya.
Sumber Kumparan.com

PNBP lebihi target, namun realisasi investasi EBTKE masih di bawah target

Jakarta-KONTAN.ID. Realisasi investasi di sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) masih di bawah target. Hingga Triwulan III, investasi yang terealisasi sebesar US$ 1,16 miliar, atau baru sekitar 57,7% dari target yang dipatok tahun 2018 ini sebanyak US$ 2,01 miliar.

Direktur EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana menjelaskan, setidaknya ada dua alasan mengapa realisasi investasi EBT masih belum optimal. Yaitu karena adanya penundaan pengeboran di sejumlah lokasi pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), serta terhambat oleh Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) yang belum dikeluarkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Ketenaga listrikan menjadi sektor yang dominan dalam investasi di EBT. Khususnya untuk jenis PLTP, yang berkontribusi sekitar 60-65% terhadap target dan realisasi investasi serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari EBTKE.

Karenanya, adanya penundaan pengeboran pada PLTP menjadi faktor penting tidak optimalnya realisasi investasi. Rida mencontoh, pergeseran pengeboran itu antara lain dilakukan oleh Star Energy, yang menggeser ke Triwulan IV-2018 atau ke tahun depan, serta Pertamina yang lebih memilih melakukan hole cleaning.

Namun, Rida optimistis, investasi panas bumi masih akan on track hingga akhir tahun. “Star energy ada pertimbangan lain menunda jadwal pengeboran, hanya bergeser di triwulan, mudah-mudahan di akhir tahun. Pertamina di saat yang sama cukup melakukan program hole cleaning, jadi drillings ditunda. Tapi sepertinya sampai akhir tahun akan on track,” kata Rida dalam pemaparan kepada media, Jum’at (26/10).

Alasan lainnya ialah soal DPT yang belum dikeluarkan PLN, sehingga menghambat proses lelang dan pengerjaan. “DPT belum keluar-keluar apa yang mau dikerjakan? Lelang belum, karena DPT belum keluar,” imbuhnya.

Di sisi lain, seperti yang diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, salah satu alasan banyaknya proyek pembangkit listrik EBT yang tidak berjalan ialah karena faktor regulasi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 membuat pembangkit listrik EBT tidak bankable alias kurang layak memenuhi syarat untuk mendapatkan pendanaan. “Untuk proyek EBT yang tidak jalan penyebabnya adalah tidak bankable. Salah satu faktor penyebabnya adalah regulasi Permen ESDM 50/2017,” katanya.

Hal itu pun diamini oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni. Ia menilai, aturan ini menghambat investasi, khususnya karena ada skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir (build, own, operate, and transfer/BOOT).

“Jadi walau pun kita pake duit sendiri, bunga dan tarifnya nggak disubsidi, tapi asetnya mau diambil sama pemerintah setelah 20 tahun dengan harga US$ 1.000. Nah, berarti kan aset itu bukan milik kita, dan kalau aset bukan milik kita, berarti kita nggak bisa jaminin ke perbankan,” kata Riza.

Padahal, menurut Riza, perbankan di Indonesia tidak mengenal project finance, sehingga pinjaman ke perbankan harus menyertakan jaminan. Terlebih, lanjut Riza, perbankan di Indonesia pun hampir tidak yang bisa memberikan pinjaman selama 10 tahun. Menurut Riza, ada sekitar 450 MW yang tertunda penyelesaian pembiayaannya setelah keluarnya peraturan yang dipersoalkannya tersebut.

“Pembiayaan EBT paling lama, membangun dua tahun, pembiayaan lima tahun. Jaminan proyek, nggak bisa. Kalau kreditnya macet, setidaknya akan dijual dalam waktu 10 tahun. Kalau ada ini (BOOT), kan jadi mikir-mikir,” jelasnya.

Terkait hal ini, Rida tak menampik, bahwa Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 ikut menjadi penghambat investasi. oleh sebab itu, Rida bilang, pihaknya membuka peluang untuk merevisi regulasi ini.

Rida menyebut, saat ini pihaknya sedang melakukan diskusi dengan berbagai stakeholder, baik dengan Kadin, asosiasi, maupun pengamat energi dan kebijakan publik. Menurut Rida, setidaknya ada tiga isu penting yang menjadi bahan evaluasi, yakni soal pemilihan langsung, BOOT, serta tarif Biaya Pokok Penyediaan (BPP).

“Yang pasti Pak Menteri sudah membuka pintu dan menampung semua masukan, sekiranya itu akan lebih membuat kondisi investasi lebih baik, kenapa nggak? (untuk merevisi)” ungkapnya.

Juru Bicara Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) Rizal Calvary membenarkan adanya diskusi untuk mengevaluasi peraturan tersebut. Dalam hal ini, Rizal menggaris bawahi isu BOOT yang membuat sektor keuangan sulit untuk membiayai EBT.

“Dalam skema bangun, miliki, operasikan, dan transfer ke negara (BOOT) aset pengembang selama 20 -30 tahun akan diserahkan kepada PLN, yang selama ini membuat sektor keuangan susah membiayai EBT,” katanya.

Adapun, Riza Husni menyambut positif jika seandainya peraturan ini jadi direvisi. “Kalau betul seperti ini, kita sangat positif ini kabar terbaik sepanjang dua tahun terakhir,” ungkapnya.

Kendati realisasi investasi EBTKE masih belum optimal, namun Rida bilang, PNBP dari subsektor ini telah berkontribusi maksimal. Pasalnya, dari target Rp 700 miliar yang dipatok pada APBN 2018, realisasi PNBP EBTKE hingga triwulan III sudah menyentuh angka Rp 1.144 miliar atau 163% dari yang ditargetkan.

Sumber Kontan.co.id

‘Maju Mundur’ Kenaikan Harga Premium Negatif ke Ekonomi

Jakarta, CNN Indonesia — Keputusan pemerintah untuk mengumumkan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium lalu membatalkannya kembali dinilai memberikan dampak negatif ke perekonomian.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pengumuman ini merupakan cermin koordinasi dan komunikasi yang kurang baik dari pemerintah. Hal itu tentu dibaca masyarakat untuk melakukan tindakan spekulasi atas BBM jenis Premium.

Menurut pengamatannya, banyak masyarakat yang antre membeli Premium di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) selepas pemerintah mengumumkan kenaikan BBM jenis Premium dari Rp6.450 per liter menjadi Rp7 ribu per liter. Ia menduga, beberapa diantaranya akan memanfaatkan momen untuk mencari keuntungan.

“Memang ada pihak-pihak yang membeli BBM di SPBU sebelum pengumuman berlaku tapi tidak banyak. Itulah buah dari tidak adanya perencanaan dan koordinasi,” jelas Fabby kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/10).

Untuk mencegah aksi spekulasi, sebaiknya pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM di tengah malam, dan harganya naik saat itu juga. Namun, meski ada celah spekulasi dengan memborong Premium, ia yakin jumlahnya tidak signifikan.

Setidaknya, ada dua alasan yang mendasari hal tersebut. Pertama, distribusi BBM jenis Premium dianggap sangat ketat dengan kuota yang sudah ditetapkan pemerintah.

Untuk tahun ini, pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) sudah menetapkan kuota 12,5 juta kiloliter (kl) Premium untuk disalurkan tahun ini. Sehingga, distribusinya per periode tentu akan disesuaikan dengan kuotanya.

Alasan kedua, lanjut dia, adalah konsumsi Premium yang kian menipis, sehingga spekulan tidak merasa terinsentif untuk melakukan spekulasi.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi bensin non-Premium mencatat 21,08 juta kiloliter (kl) sepanjang tahun 2017 atau melesat 82,66 persen dibanding tahun sebelumnya 11,54 juta kl.

Sementara itu, konsumsi Premium pada 2017 tercatat 12,49 juta kl atau menurun drastis 42,39 persen ketimbang tahun sebelumnya 21,68 juta kl.

“Saya kira kalau ada spekulasi pun, volume yang bocor di tingkat SPBU tidak terlalu tinggi,” papar dia.

Inflasi Semu

Selain penimbunan BBM jenis Premium, pengumuman “gamang” pemerintah secara tidak langsung juga membuat inflasi terkerek. Sebab, hal ini memberikan efek psikologis bagi pelaku usaha.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan sikap pemerintah yang menarik keputusan mengerek harga BBM akan ditangkap pelaku usaha untuk menaikkan harga kebutuhan pokok terlebih dulu. Jika bahan pokok sudah naik sebelum harga BBM melonjak, maka yang terjadi adalah inflasi semu.

“Dan itu tentu berlaku untuk barang-barang kebutuhan pokok baik makanan dan nonmakanan,” kata Bhima.

Inflasi semu ini, lanjut dia, dianggap cukup berbahaya di penghujung tahun ini. Sebab berdasarkan tren, inflasi di bulan November dan Desember akan melonjak seiring musim liburan natal dan tahun baru.

Inflasi akhir tahun diperkirakan juga makin tertekan lantaran pelemahan nilai tukar yang menembus Rp15 ribu. Selain itu, tingginya bunga pinjaman (cost of borrowing) yang diemban pelaku usaha sebagai imbas dari kenaikan suku bunga acuan juga akan berdampak ke harga barang dan jasa.

Oleh sebab itu, inflasi semu yang disebabkan oleh pengumuman BBM jenis Premium ini berpotensi mengerek inflasi melebihi targetnya. Bhima memprediksi, inflasi di akhir tahun bisa mendekati 3,7 persen, atau melonjak dari inflasi secara tahunan (year-on-year) September kemarin yakni 2,88 persen.

“Akhir tahun, permintaan barang dan transportasi naik. Harga pangan juga perlu dicermati seiring tekanan imported inflation karena kurs melemah. Jadi jangan anggap enteng ada deflasi di bahan makanan karena sifatnya temporer,” pungkas dia.

Untuk itu, Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengimbau menteri Kabinet Kerja berkoordinasi lebih baik sebelum mengemukakan kebijakan.

“Saya kira harus dibuat lebih rapi karena memang dibutuhkan koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian BUMN,” kata Hendrawan.

Selain itu, menurut dia, pemerintah juga masih memiliki tugas mengedukasi masyarakat agar tak terus menggunakan BBM bersubsidi.

“Saya melihat kecenderungan konsumsi BBM, kadang proses edukasi yang panjang dan kesadaran masyarakat terhadap efek emisi. Misal, driver saya pergi ke pertamax, tidak mau gunakan premium atau pertalite karena edukasi,” kata Politikus PDI Perjuangan ini.

Sumber CNN Indonesia

 

 

 

 

Kenaikan Harga Premium Ditunda, Beban Pertamina Makin Berat

JAKARTA, iNews.id – Pemerintah memutuskan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium ditunda untuk menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, penundaan tersebut menunjukkan koordinasi di internal pemerintah tidak berjalan dengan baik. Padahal Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah mengumumkan kenaikan harga.

“Dibatalkan karena tampaknya pemerintah tidak koordinasi dengan baik dan belum ada keputusan,” ujarnya kepada iNews.id, Rabu (10/10/2018).

Fabby mengatakan, penentuan harga Premium menjadi kewenangan pemerintah. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang matang sebelum diputuskan.

Dia juga mengingatkan penundaan tersebut membuat beban Pertamina makin berat karena harga Premium saat ini sebesar Rp6.550 per liter jauh dari nilai keekonomiannya yang mencapai Rp8.600 per liter. Apalagi, pemerintah meminta Pertamina untuk menyediakan Premium di seluruh SPBU.

“Untuk menjual premium saya kira Pertamina bertambah bebannya karena sebelumnya kuota premium hanya 3 juta kiloliter (KL) tapi naik jadi sekitar 7 juta KL untuk tahun ini,” ucapnya.

Situasi ini, kata dia, disebabkan oleh tingginya harga minyak mentah dunia. Harga minyak WTI misalnya, sudah berada menembus level 72 dolar AS per barel akibat langkah Amerika Serikat yang mengembargo Iran. Hal tersebut semakin diperparah dengan melemahnya kurs rupiah yang sudah menembus level Rp15.000 per dolar AS.

Sumber inews.id