Membuka Luka Lama Petinggi PLN di Lingkaran Kasus Hukum

tirto.id – Suasana di salah satu ruangan Kantor Pusat PT PLN di Jalan Trunojoyo, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin sore (16/07) nampak riuh. Sosok yang ditunggu-tunggu oleh puluhan jurnalis dan fotografer akhirnya muncul. Ia adalah Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir.

Senyum lebar tersungging dari bibirnya, wajahnya nampak tenang seolah tak ada masalah yang menderanya. Sesekali ia berpose sambil mengacungkan jempol di hadapan para pemburu gambar, dan mendaulat mantan dirut Bank BRI ini untuk menghadap kamera. “Kayak ngawal orang yang mau haji,†kata pria berumur 60 tahun ini berseloroh.

Sofyan memang tengah menjadi bidikan awak media, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kediamannya di Jakarta, Minggu (15/7) dan kantor PLN pada Senin (16/7). Tindakan penggeledahan oleh tim KPK bagian dari tindak lanjut operasi tangkap tangan (OTT) 13 Juli 2018. Dari OTT itu, sebanyak 12 orang diamankan KPK, termasuk barang bukti berupa uang senilai Rp500 juta. KPK juga menetapkan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, dan pemilik saham PT Blackgold Natural Resources Johannes B. Kotjo sebagai tersangka. Keduanya diduga memberi dan menerima suap terkait proyek PLTU Riau-1.

Sofyan menegaskan persoalan dugaan korupsi pada proyek PLTU Riau-1 tidak ada sangkut pautnya dengan PLN, maupun anak usahanya. Proyek PLTU Riau-1 yang digadang-gadang beroperasi 2023 progresnya masih belum tuntas. Artinya belum ada perjanjian yang mengikat antara pihak swasta dengan PLN atau anak usahanya. Ia menegaskan status dirinya masih sebatas saksi, KPK juga menegaskan hal yang sama.

Di sisi lain, KPK mengembangkan kasus ini berpijak pasca Letter of Intent (LoI) atau surat minat dari PLN dalam rangka perjanjian jual beli listrik atau power purchasment agreement (PPA) dengan investor. Kasus ini tentu mengingatkan sejarah panjang PLN dengan rekam jejak kasus korupsi yang sempat menjerat para direksi PLN di lintas pemerintahan pada masa lalu.

Jejak Korupsi di PLN

Walau Sofyan membantah keterlibatan PLN, kasus korupsi proyek PLTU Riau-1 mengingatkan kembali masa-masa suram PLN ketika proyek BUMN listrik ini acapkali menjadi bancakan korupsi. Pada masa Orde Baru, praktik korupsi dan nepotisme begitu marak di tubuh PLN, terutama saat anak-anak keluarga Cendana tumbuh besar dan merambah dunia bisnis. Praktik pemburu rente juga terjadi di hampir semua proyek besar PLN.

“Pada zaman orde baru, kami terpaksa melayani kroni-kroni keluarga Cendana, dan sedikit yang kecipratan sebagai uang lelah,†ungkap seorang mantan petinggi PLN dikutip dari buku Wandy Binyo Tuturoong dkk dalam “Menuju PLN Bersih†oleh Transparency International Indonesia, (2014:7).

Setelah Orde Baru berakhir, praktik korupsi di PLN tetap merajalela. Tekanan dan godaan korupsi terhadap pimpinan PLN masih tinggi. Praktik memburu rente juga masih berjalan di setiap pengadaan proyek PLN. Momentum untuk mereformasi PLN sempat dilakukan. Namun upaya itu timbul dan tenggelam seakan tak ada harapan. Percikan harapan untuk PLN yang bersih datang saat Kuntoro Mangkusubroto menjadi direktur utama PLN pada 2000.

Mantan menteri pertambangan pada periode 1998-1999 ini memilih orang-orang muda atau baru 5-6 tahun di PLN untuk menjadi agen-agen perubahan. Mereka juga diberikan posisi sebagai manajer di daerah. Selain itu, Kuntoro juga menjadi orang yang pertama kali memecat pejabat setingkat kepala divisi karena melakukan praktik korupsi saat memimpin proyek PLN di Sumatera.

Gebrakan ini mendapatkan sambutan, dan menjadi inspirasi bagi sebagian karyawan PLN. Selain itu, Kuntoro juga mengeluarkan sejumlah kebijakan efisiensi. Namun, Kuntoro hanya setahun menjabat sebagai orang nomor satu di PLN.

Usai Kuntoro dicopot, bersih-bersih PLN kembali tenggelam bahkan menyisakan kasus hukum fenomenal. Eddie Widiono, direktur utama PLN periode 2001-2008 sempat divonis 5 tahun penjara karena kasus korupsi proyek Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi di PLN Distribusi Jakarta Raya Tangerang 2004-2007.

Eddie Widiono tak sendirian, setelahnya ada beberapa petinggi PLN tersandung kasus hukum. Hariadi Sadono, mantan Direktur Luar Jawa Bali PLN divonis 6 tahun pada 2010 karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi proyek pengelolaan Sistem Manajemen Pelanggan berbasis teknologi informasi pada PT PLN Distribusi Jawa Timur.

Juga ada nama Chris Leo Manggala, selaku mantan General Manager PLN Pembangkit Sumatera Bagian Utara. Ia dijatuhi vonis 4 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana suap dalam pengadaan dan pekerjaan Life Time Extention (LTE) Gas Turbine 2.1 PLTGU Blok 2 Belawan.

Upaya dari internal PLN agar BUMN bersih itu belum mati. Beberapa pejabat PLN berinisiatif untuk meneruskan gerakan perbaikan di tubuh PLN dengan lingkup terbatas. Pemerintah sempat menempatkan orang luar PLN untuk melakukan pembenahan ulang. Saat Dahlan Iskan didapuk sebagai dirut PLN pada akhir 2009, upaya untuk menjadikan citra PLN menjadi lebih baik bergaung kembali. Salah satunya adalah dengan meluncurkan program Gerakan Sehari Sejuta Sambungan (GRASS).

Sudah rahasia umum, proses penyambungan listrik PLN kala itu berbelit-belit. Penuh dengan calo dan sarat akan korupsi. Imbasnya, antrean masyarakat untuk mendapatkan sambungan listrik sangat panjang. Sekitar 2,5 juta pelanggan yang mengantre. Seluruh karyawan dan direksi dikerahkan Dahlan untuk menyukseskan GRASS. Hasilnya, PLN sukses mengerjakan satu juta sambungan listrik dalam satu hari. Proses yang mudah dan murah ternyata bisa dilakukan.

Gerakan PLN bersih dilanjutkan direktur utama selanjutnya, yakni Nur Pamudji. Oleh Nur, gerakan PLN bersih tak hanya diteruskan, tetapi juga dilembagakan. Perbaikan pada aspek-aspek yang belum digarap juga dikerjakan. Guna menjadikan PLN bersih, Nur tidak ragu menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini sering dihindari pejabat pemerintah. Salah satu LSM yang digandeng adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII).

Namun, Dahlan dan Nur Pamudji malah sempat terseret kasus dugaan korupsi pada salah satu proyek PLN. Nur pada kasus dugaan korupsi pengadaan BBM untuk high speed diesel (HSD). Sementara Dahlan pada kasus dugaan korupsi pengadaan dan pekerjaan 21 gardu listrik di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Apakah PLN sudah bersih dari korupsi?

PLN adalah BUMN yang mengurusi hajat hidup orang banyak dan menangani banyak aspek kelistrikan. Membutuhkan organisasi yang besar, bahkan PLN salah satu BUMN yang memiliki cicit usaha, saking kompleksnya tata kelola bisnis kelistrikan.

PLN salah satu BUMN yang mengelola aset terbesar, mencapai Rp1.334,957 triliun (2017), PLN memang sebuah perusahaan raksasa dengan karyawan 54.820 orang. Proyek-proyek yang digarap PLN mencapai triliunan rupiah, mencakup tender-tender dari pembangkit, transmisi, hingga distribusi listrik yang banyak berhubungan dengan entitas bisnis lain. Pendapatan operasi PLN juga cukup besar, mencapai Rp255,295 triliun pada tahun lalu.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan catatan ihwal gerakan bersih PLN pada era Sofyan Basir agak turun ketimbang kepemimpinan sebelumnya, terutama terkait komitmen direksi dalam membuat institusi bersih dari korupsi. “Dulu saat masa Nur Pamudji ada yang namanya pakta integritas. Nah, saya melihat direksi yang ada saat ini tidak melakukan itu. Padahal pakta integritas ini penting untuk disampaikan kepada publik,†kata Direktur IESR Fabby Tumiwa kepada Tirto.

Selain itu, Fabby juga belum melihat sistem yang transparansi dan akuntabel di tubuh PLN. Sistem whistleblower yang dibangun PLN juga saat ini masih belum utuh. Ia juga belum melihat upaya-upaya PLN lainnya agar institusi bersih dari korupsi. Reformasi di tubuh PLN memang tidak mudah. Pada kasus terbaru yang membelit PLN, jadi pertanyaan mendasar apakah BUMN listrik ini sudah bersih dari korupsi?

Sumber: tirto.id.

Kejanggalan dan Celah Korupsi di Proyek PLTU Mulut Tambang PLN

Penangkapan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih pada Jumat (13/7) lalu menunjukkan bahwa proyek-proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang PLN rawan permainan.

Politisi Partai Golkar itu diduga menerima suap Rp 4,8 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. KPK menduga uang itu merupakan suap terkait pembangunan PLTU Riau 1.

Eni, seorang anggota dewan, bisa mempengaruhi keputusan yang diambil oleh manajemen PLN. Padahal, DPR tak punya kewenangan dalam proses pengadaan pembangkit listrik di program 35.000 MW.

“Komisi VII DPR itu sama sekali tidak terkait dalam pengadaan di PLN. Kalau sampai terlibat dalam pengambilan keputusan di PLN, berarti ada yang salah,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, kepada kumparan, Senin (16/7).

Fabby berpendapat, peluang permainan di PLTU Riau 1 terjadi karena proyek ini tidak melalui tender terbuka. PJB, anak usaha PLN di bisnis pembangkit listrik, ditugaskan PLN lewat penunjukkan langsung untuk mengerjakannya dan memilih mitra.

Dalam pemilihan mitra PJB ini kemudian Blackgold bisa masuk. “Proyek seperti ini tidak dilelang, dikasih ke PJB. Lalu PJB cari mitra. Kalau penugasan ke anak usaha, kita enggak tahu bagaimana penentuan partner. Ini membuka celah untuk korupsi,” Fabby menerangkan.

Ia menambahkan, proyek PLTU mulut tambang sudah rawan permainan sejak pemilihan tambang-tambang batu bara yang akan dimanfaatkan untuk pembangkit. Sebab, kriteria tambang batu bara yang dipilih kurang jelas.

Ruang Dirut PLN lantai 8 digeledah KPK (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Ruang Dirut PLN lantai 8 digeledah KPK (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)

Tak jelas mengapa tambang milik Blackgold di di Kecamatan Penarap, Kabupaten Indragiri Hulu, yang dipilih untuk PLTU mulut tambang.

“Bagaimana menetapkan lokasi PLTU mulut tambang? Misalnya si A punya tambang batu bara, si B juga punya. Lalu kenapa tambang punya si A yang dipilih? Parameternya apa? Kriteria pemilihan ini harus diperjelas,” tegasnya.

Sebelumnya diberitakan, KPK menggeledah Kantor Pusat PLN di Jalan Trunojoyo, Blok M, Jakarta Selatan, Senin (16/7) sore. Penggeledahan ini diduga merupakan rangkaian dari penyelidikan kasus suap proyek PLTU Riau 1.

Sumber: kumparan.com.

Kehadiran PLTB Sidrap dan PLTB Janeponto Sinyal Positif Perkembangan Energi Terbarukan

Jakarta-Tribunnews.com. IESR menyambut baik peresmian kebun angin pertama di Indonesia,

yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap 75 MW dan PLTB Jeneponto 70 MW di Provinsi Sulawesi Selatan, oleh Presiden Joko Widodo pada Senin, 2 Juli 2018.

IESR menilai beroperasinya dua pembangkit ini merupakan indikasi positif yang menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi energi bayu (angin) yang cukup besar.

Kementerian ESDM memperkirakan potensi PLTB di Indonesia mencapai 100 GW.

Dalam acara peresmian tersebut, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dan mengatur harga jual listrik dari pembangkit energi terbarukan.

Selain itu presiden juga menyampaikan tidak perlu diberikan insentif. Alasan presiden karena energi terbarukan adalah sektor yang banyak diminati oleh para investor dan adanya kompetisi diantara investor akan mendorong proses kompetisi sehingga harga menjadi murah.

“Ada banyak, ngapain diberikan insentif kan yang antre banyak. Izinnya saja yang masih ruwet, itu yang perlu diselesaikan agar izin lebih mudah dan gampang,” kata Jokowi.

IESR menyesalkan pernyataan presiden tersebut. Pernyataan tersebut justru kontra produktif dengan upaya menarik investasi untuk energi terbarukan.

Menurut IESR, presiden tidak mendapatkaninformasi yang akurat mengenai situasi sebenarnya tentang investasi di sektor energi terbarukan. Walaupun ada sejumlah investor asing dan domestik yang tertarik berinvestasi di energi terbarukan, tetapi realisasi investasi tidak optimal.

Data Kementerian ESDM menunjukan nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp 11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 21,25 triliun (2016), Rp. 13,96 triliun (2015) dan Rp 8,63 triliun (2014).

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan energi terbarukan merupakan sektor yang masih muda dan belum tumbuh mapan di Indonesia.

Pemerintah seharusnya menyiapkan kebijakan yang dapat mendorong iklim investasi yang sehat sehingga harga ekonomi energi terbarukan dapat terbentuk.Sehingga nantinya bisa sejajar atau lebih rendah dari harga energi fosil.

“Kedua PLTB yang diresmikan oleh Presiden Jokowi adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih flexible dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) antara pengembang dan PT PLN. Sehingga terjadi optimalisasi harga dan expected return of investment para investor dan pengembang dapat terpenuhi,” jelas Fabby.

Dia juga mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 megawatt (skala menengah).

Di akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan PPA dengan PT PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersil atau COD (Commercial Operation Date), sementara 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.

Selain itu, kendala yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi seperti Permen ESDM No 12/ 2017 dan Permen No 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif feed-in tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah.

Permen No. 50/2017 juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).

“Banyak pengembang yang kesulitan untuk mendapatkan pendanaan di dalam negeri karena bank beranggapan proyek energi terbarukan dinilai beresiko tinggi dan suku bunga pinjaman yang masih dua digit. Tidak semua pengembang memiliki akses atas pendanaan dengan bunga rendah di luar negeri,” ujar Fabby.

Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025 nanti kapasitas pembangkit energi terbarukan ditargetkan mencapai 45000 MW atau masih 36000 MW yang harus dibangun dalam 7 tahun mendatang.

Sumber: Tribunnews.com

Pemerintah Dianggap Hambat Penggunaan Panel Surya di Industri

Jakarta, CNN Indonesia — Aturan pemerintah dianggap menghambat pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia, khususnya teknologi surya atap. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) No.1 /2017, seperti diungkap Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa.

Menurutnya, beleid ini menghambat pemanfaatan teknologi atap surya. Khususnya pemanfaatan panel surya untuk bangunan komersial dan industri serta fasilitas publik. Pasalnya, peraturan ini secara tidak langsung membuat pemilik gedung harus membayar biaya kapasitas kepada PLN apabila produksi listrik mereka lebih dari 25 kVA.

“Nah, dengan kebijakan ini tentu membuat para pemilik gedung menjadi berpikir ulang untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan. Padahal kalau mereka bisa memproduksi cukup besar, mereka sebetulnya bisa menawarkan kepada penyewa gedung, apakah akan menggunakan listirik dengan sumber energi konvesional atau dari energi terbarukan,” jelas Yesi Maryam, dari IESR saat dikontak CNNIndonesia.com, Selasa (3/7).

Selain itu, Fabby juga menyebut bahwa regulasi ini secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri (untuk) memasang pembangkit listrik tenaga surya di atap bangunannya. Adanya bayaran tersebut membuat pengelolaan listrik mandiri tersebut menjadi lebih mahal.

Oleh karena itu Fabby mengatakan Kementerian ESDM harus segera merumuskan beleid yang bisa mendorong penggunaan teknologi listrik surya secara ekonomis. Fabby menilai adanya regulasi yang memadai bisa mendorong pasar teknologi photovoltaic di Indonesia.

“Seperti yang kita lihat di banyak negara, aplikasi teknologi listrik surya atap secara besar-besaran yang didukung pemerintah dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik surya. Bahkan di sejumlah negara listrik dari surya lebih murah dari listrik yang diproduksi PLTU batubara” kata Fabby

Hal ini akan menurunkan biaya teknologi dan investasi yang bersanding dengan peningkatan penggunaan teknologi dan investasi. Tentu saja hal ini dibarengi dengan pembukaan lapangan kerja.

“Dengan biaya investasi yang semakin rendah, listrik surya justru dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik secara keseluruhan,” kata Fabby.
Potensi Energi Surya di Indonesia

Fabby melanjutkan, Indonesia memiliki potensi surya atap yang cukup besar. Data laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA) 2017 menunjukkan potensi tenaga surya mencapai 3,1 GW per tahun.

“Rincian IRENA menghasilkan dimana sekitar 1 GW merupakan potensi dari listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS (ground mounted solar),” kata Fabby.

Fabby mengatakan tentu potensi ini bisa memenuhi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menargetkan adanya peningkatan dari lima persen pada tahun 2015 menjadi 23 persen pada tahun 2025.

Target pencapaian energi ini secara lebih rinci juga dijabarkan dalam Perpres No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Oleh karena itu Fabby menilai baik KEN dan RUEN bisa dicapai dalam waktu yang lebih cepat “Target ini mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari energi terbarukan sebesar 45 GW, atau diperlukan tambahan sekitar 36 GW dari kapasitas pembangkit yang ada saat ini. Pembangkit Listrik Tenaga Surya ditargetkan mencapai 6,4 GW,” kata Fabby

Keterangan rilis menuliskan saat ini kapasitas pembangkit energi terbarukan baru mencapai 9 GW. Total kapasitas pembangkit listrik energi surya masih di bawah 100 MWp, potensi nasional yang tersedia mencapai 560 GWp.

Ketua Umum Asosiasi Ekonomi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prasatawa mengatakan Perpres tersebut sejalan dengan yang komitmen Pemerintah Indonesia pada Conference of Parties (COP) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Khususnya CO2 sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Andhika mengatakan solusi listrik surya atap ini berkontribusi pada komitmen penurunan emisi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam COP pada tahun 2015 di Paris.

“Solusi listrik surya atap juga menjadi bagian dari upaya konservasi energi dan mengurangi pemakaian listrik yang bersumber dari bahan bakar fosil,” ujar Andhika.

Sumber: CNN Indonesia

Energi Terbarukan Masih Perlu Insentif

Jakarta-Kompas — Pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan di Indonesia masih membutuhkan insentif dari pemerintah. Selain kemudahan perizinan, pengembang menginginkan harga jual beli tenaga listrik yang menarik dan kemudahan mendapat pendanaan. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjamin listrik dari energi terbarukan akan dibeli selama memenuhi sejumlah persyaratan.

Presiden Joko Widodo, saat meresmikan pembangkit listrik tenaga bayu di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018), menyatakan bahwa investasi sektor energi terbarukan di Indonesia tak memerlukan insentif. Hal itu disebabkan tingginya minat investor yang tertarik untuk mengembangkan listrik dari energi terbarukan di Indonesia. Menurut Presiden, hal terpenting pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah penyederhanaan izin.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, mengatakan, meskipun investasi asing dan domestik banyak yang tertarik mengembangkan energi terbarukan di Indonesia, realisasi investasi belum optimal. Sektor energi terbarukan di Indonesia adalah sektor yang masih muda dan belum tumbuh mapan. Pemerintah seharusnya menyiapkan kebijakan yang dapat mendorong investasi energi terbarukan tumbuh lebih cepat.

“Untuk beberapa investor, insentif berupa pemotongan pajak atau pengurangan bea masuk barang impor bisa menaikkan keekonomian proyek. Khusus investor lokal, akses pendanaan selalu jadi kendala akibat tingginya suku bunga kredit yang kadang di atas 12 persen. Mereka butuh suku bungan pinjaman yang rendah, sekitar 7-8 persen, utnuk mencapai keekonomian proyek,” ujar Fabby, Kamis (5/7/2018), di Jakarta.

Fabby menyinggung soal kontrak jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan yang ditandatangani pada 2017 lalu. Saat itu, terdapat 70 kontrak yang diteken antara PLN dengan pengembang. Namun, tercatat ada 46 kontrak yang kesulitan mendapat pendanaan. Apabila sampai tenggat waktu yang ditentukan belum mendapat pendanaan, PLN berhak memutus secara sepihak kontrak tersebut.

“Insentif untuk energi terbarukan tidak bisa dibuat seragam. Tetapi, perlu mempertimbangkan jenis teknologi yang dipakai pada pembangkit listrinya,” kata Fabby.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, realisasi investasi sektor energi terbarukan di Indonesia pada 2017 mencapai 1,3 miliar dollar AS. Capaian itu lebih rendah dari realisasi investasi 2016 yang mencapai 1,6 miliar dollar AS. Tahun ini, pemerintah menargetkan realisasi investasi energi terbarukan sebesar 2,01 miliar dollar AS.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni, mengatakan, Presiden Joko Widodo tampaknya mendapat informasi keliru mengenai tidak diperlukannya insentif bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Menurut dia, untuk listrik dari tenaga air, insentif yang dibutuhkan adalah penyederhanaan proses perizinan.

SUMBER: KEMENTERIAN ESDM
Grafis realisasi dan target investasi sektor ESDM dari 2014-2018.

Sementara itu, Direktur Utama PLN Sofyan Basir, sesaat sebelum menghadiri rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR di Jakarta, mengatakan sependapat dengan Presiden bahwa belum perlu insentif untuk pengembangan listrik dari energi terbarukan. Namun, pihaknya berkomitmen siap membeli tenaga listrik dari energi terbarukan selama memenuhi persyaratan.

“Listrik dari energi terbarukan harus sesuai kebutuhan. Kalau ada jaringan atau transmisi, dan ada pembelinya, ya kami beli,” ucap Sofyan.

Kementerian ESDM terus berupaya mempermudah perizinan untuk investasi di sektor ESDM. Untuk investasi ketenagalistrikan, pemerintah telah mencabut 20 peraturan yang dianggap menghambat investasi. Pencabutan itu merupakan bagian dari 90 regulasi di sektor ESDM yang dicabut.

Data Kementerian ESDM menyebutkan, bauran energi primer untuk pembangkit listrik pada 2017, kontribusi energi terbarukan sebesar 12,15 persen. Kontribusi terbesar masih didominasi oleh batubara yang mencapai 57,22 persen. Adapun gas menyumbang bauran sebesar 24,82 persen dan bahan bakar minyak sebesar 5,81 persen.

KOMPAS/NINA SUSILO
Tenaga Angin – Presiden Joko Widodo meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, Senin (2/7/2018). PLTB dengan 30 turbin ini adalah yang terbesar di Indonesia dan mampu menghasilkan 75 Mega Watt. Dengan kapasitas itu, PLTB bisa menyalurkan listrik ke 140.000 rumah pelanggan dengan 450 Watt di Provinsi Sulawesi Selatan.

Permudah izin

Presiden Joko Widodo meyakini energi baru terbarukan adalah jawaban untuk penyediaan energi listrik di Indonesia. Potensi cukup besar. Namun, kebijakan penunjang untuk mendorong kencang pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan tak terasa. Insentif tak ada. Hanya dijanjikan perizinan lebih mudah.

“Ke depan, akan dikembangkan pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan seperti yang kita lihat. PLTB tak hanya di Kabupaten Sidrap, tetapi juga dikerjakan dan sudah 80 persen selesai untuk PLTB Jeneponto. Sekarang juga sudah dikerjakan PLTB di Kabupaten Tanah Laut dan tahun depan diharapkan juga mulai pembangunan PLTB di Sukabumi,” tutur Presiden Joko Widodo dalam sambutannya ketika meresmikan PLTB Sidrap, di Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018).

Kendati mengakui besar potensi Indonesia untuk energi baru terbarukan, kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan PLT ramah lingkungan tak terasa. Seperti potensi panas bumi diakui mencapai 29.000 Mega Watt, tetapi yang mulai dikerjakan belum mencapai 10 persennya. Demikian pula matahari dan air sebagai pembangkit listrik disebut berpotensi besar.

Seusai meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, salah seorang wartawan sempat menanyakan kemungkinan pemberian insentif untuk investor yang bergerak di tenaga listrik ramah lingkungan ini. Presiden Joko Widodo menjawab, banyak yang antre untuk investasi di bidang ini. Karenanya, tak perlu memberi insentif.

“Ngapain harus diberi insentif kalau yang antre saja banyak. Izinnya saja yang masih ruwet. Itu yang perlu diselesaikan, dipermudah,” tuturnya kepada wartawan.

Terkait harga pun, Presiden Jokowi menilai hal tersebut adalah harga pasar. Intervensi tak bisa dilakukan terlalu banyak. “Nggak mungkin investor ditekan-tekan kalau tidak untung, nggak mungkin. Tapi, semakin banyak kompetisi, harga akan semakin baik,” katanya.

Menteri ESDM Ignasius Jonan yang ditanyakan mengenai kebijakan pemerintah terkait pengembangan pembangkit listrik panas bumi yang relatif berbiaya tinggi berkilah, peminat investasi di bidang ini sangat banyak. “Tidak ada biaya tinggi, ‘kan yang minat banyak. Kalau tender saja, handphone saya sampai panas,” ujarnya.

Label: Presiden Joko Widodo, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu, PLTB Sidrap, Investasi Energi Terbaruka, Regulasi ESDM

Sumber: Kompas

IESR Sesalkan Pernyataan Jokowi Soal Pengembangan EBT

Jakarta-Sindonews.com – Institute for Essential Service Reform (IESR)menyambut baik peresmian kebun angin pertama di Indonesia, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap 75 MW dan PLTB Jeneponto 70 MW di Provinsi Sulawesi Selatan yang baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal pekan ini.

IESR menilai beroperasinya dua pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) ini merupakan indikasi positif upaya pengembangan energi terbarukan di dalam negeri.

Namun, IESR menyesalkan pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dan mengatur harga jual listrik dari pembangkit energi terbarukan serta tidak perlunya insentif untuk sektor ini.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai, pernyataan tersebut kontra produktif dengan upaya menarik investasi untuk energi terbarukan. Fabby menilai presiden tidak mendapatkan informasi yang akurat mengenai situasi sebenarnya tentang investasi di sektor energi terbarukan.

“Walaupun ada sejumlah investor asing dan domestik yang tertarik berinvestasi di energi terbarukan, realisasi investasinya tidak optimal,” kata Fabby dalam siaran pers, Rabu (4/7/2018).

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp21,25 triliun (2016), Rp13,96 triliun (2015). Fabby mengatakan, energi terbarukan merupakan sektor yang masih muda dan belum tumbuh mapan di Indonesia. “Pemerintah seharusnya justru menyiapkan kebijakan yang dapat mendorong iklim investasi yang sehat,” tegasnya.

Fabby menambahkan, kedua PLTB yang baru diresmikan Presiden Jokowi tersebut adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih fleksibel dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik antara pengembang dan PT PLN (Persero).

“Hal itu memungkinkan terjadinya optimalisasi harga dan expected return of investment para investor dan pengembang dapat terpenuhi,”
jelas Fabby.

Dia juga mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 Megawatt (skala menengah).

Di akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan penjualan tenaga listrik dengan PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersial. Sementara, 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.

Selain itu, kata dia, kendala yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi seperti Permen ESDM No. 12/ 2017 dan Permen No. 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif feed-in tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PLN di masing-masing wilayah.

Permen No. 50/2017 menurutnya juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).

“Banyak pengembang yang kesulitan mendapatkan pendanaan di dalam negeri karena bank beranggapan proyek energi terbarukan berisiko tinggi dan suku bunga pinjaman yang masih dua digit. Tidak semua pengembang memiliki akses atas pendanaan dengan bunga rendah di luar negeri,” ujar Fabby

Karena itu, tegas dia, jika pemerintah serius mengembangkan energi terbarukan secara massif dalam kurun waktu 3-5 tahun ke depan, maka pemerintah justru perlu memperbaiki kerangka regulasi, mencabut Permen ESDM No. 50/2017, memberikan insentif fiskal dan non-fiskal secara selektif, serta menyediakan mekanisme khusus yang inovatif untuk memenuhi kebutuhan pendanaan

Sumber: Sindonews.com

Regulasi Listrik Surya Atap Diperlukan

Jakarta-Warta Ekonomi.co.id. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) berpendapat bahwa target pencapaian Pembangkit Listrik Tenaga Surya sebesar 6,4 GW sebenarnya dapat terpenuhi.

Salah satunya dengan mendorong pengembangan listrik surya atap (solar rooftop) dengan memanfaatkan atap bangunan rumah pribadi, gedung pemerintah, gedung komersil, rumah ibadah, atap pabrik dan kawasan industri, serta fasilitas publik lainnya.

Sebelumnya pada September 2017, AESI, PPLSA, IESR, bersama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan berbagai organisasi lainnya meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), dengan tujuan mendorong pemanfaatan teknologi surya atap sehingga dapat mencapai kapasitas terpasang satu gigawatt pada 2020.

Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa, mengatakan, sejak GNSSA diluncurkan, terdapat animo yang tinggi dari masyarakat dan ini ditandai dengan meningkatnya jumlah listrik surya atap yang tersambung dengan jaringan PLN (grid-tief) lebih dari dua kali lipat dalam enam bulan.

“Selain itu, tren yang sama juga dapat dilihat pada pemasangan listrik surya atap di gedung perkantoran, bangunan komersial, serta perumahan yang dikembangkan oleh developer,” kata Andhika di Jakarta, Senin (2/7/2018).

Direktur IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan, potensi surya atap di Indonesia cukup besar. Berdasarkan laporan IRENA (2017), potensi tenaga surya mencapai 3,1 GW per tahun, di mana sekitar 1 GW merupakan potensi dari listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS (ground mounted solar).

“Berdasarkan perkiraan potensi ini, target PLTS surya dalam KEN dan RUEN dapat tercapai dengan cepat,” ujarnya.

Perpres Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kata Fabby, telah menetapkan untuk mendukung pencapaian target listrik surya. Maka dari itu, diberlakukan kewajiban pemanfaatan sel surya minimum 25% dari luas atap bangunan mewah, kompleks perumahan, dan apartemen, dan 30% dari atap bangunan pemerintah.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada regulasi yang memadai untuk mendorong pengembangan listrik surya atap, bahkan Permen ESDM Nomor 1/2017 justru menghambat pemanfaatan teknologi listrik surya atap, khususnya untuk bangunan komersial dan industri serta fasilitas publik.

“Regulasi ini secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri memasang pembangkit listrik tenaga surya di atap bangunannya karena secara ekonomi menjadi lebih mahal dengan adanya ketentuan untuk membayar biaya kapasitas kepada PLN,” ujarnya.

Fabby menyarankan, Kementerian ESDM segera merumuskan regulasi yang mendorong pemanfaatan teknologi listrik surya atap secara ekonomis. Adanya regulasi yang memadai dapat mendorong perkembangan pasar teknologi photovoltaic di Indonesia yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya teknologi dan investasi serta membuka lapangan kerja.

“Seperti yang kita lihat di banyak negara, aplikasi teknologi listrik surya atap secara besar-besaran yang didukung pemerintah dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik surya. Bahkan, di sejumlah negara listrik dari surya lebih murah dari listrik yang diproduksi PLTU batu bara. Dengan biaya investasi yang semakin rendah, listrik surya justru dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik secara keseluruhan,” ujarnya.

Sumber: wartaekonomi.co.id

IESR Sesalkan Pernyataan Jokowi Terkait Sektor Energi Terbarukan

Presiden Joko Widodo meresmikan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Provinsi Sulawesi Selatan, pada Senin (2/7). | Sekretariat Negara

Jakarta-Akurat.co. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai beroperasinya dua pembangkit listrik yang memiliki potensi listrik tenaga bayu (angin), PLTB Sidrap, dengan kapasitas 75 MW dab PLTB Janeponto dengab kapasitas 70 MW, merupakan sinyal postif berkembangnya energi baru dan terbarukan di Indonesia.

IESR memprediksi potensi-potensi PLTB di Indonesia akan mencapai 100 GW. Namun IESR menyesalkan pernyataan Presiden tersebut yang mengatakan bahwa Pemerintah sebenarnya tidak perlu melakukan intervensi dan tidak perlu memberikan insentif tambahan terhadap sektor energi terbarukan.

Presiden beralasan energi terbarukan adalah sektor yang banyak diminati oleh para investor. Karenanya dengan adanya kompetisi diantara investor akan mendorong proses kompetisi sehingga harga menjadi murah.

Data Kementerian ESDM menunjukan nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp 11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 21,25 triliun (2016), Rp13,96 triliun (2015) dan Rp 8,63 triliun (2014).

“Kedua PLTB yang diresmikan oleh Presiden Jokowi adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih flexible dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) antara pengembang dan PT PLN,” kata Fabby dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (4/7).

Fabby mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 Megawatt (skala menengah).

Akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan PPA dengan PT PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersil atau COD (commercial operation date), sementara 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanaan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.

Sementara itu, kendala lainnya yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi. Fabby mencontohkan Permen ESDM No. 12/ 2017 dan Permen No. 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif Feed-in Tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah.

Permen No. 50/2017 juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).

Sumber: Akurat.co

Kapasitas PLTS Indonesia Masih Minim

Jakarta, Kompas.id — Kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Indonesia masih minim. Hal itu terlihat dari kapasitasnya yang baru mencapai 90 megawatt-peak (MWp), sedangkan target pemerintah 6,5 gigawatt-peak (GWp) pada 2025.

Pemerintah diminta untuk segera membuat peraturan turunan yang menjamin dan mendorong pengembangan listrik surya di atap bangunan pribadi, pemerintahan, industri, serta fasilitas publik lainnya.

Data dari Institute for Essential Service Reform (IESR) per semester pertama tahun 2018 menyebutkan, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Indonesia baru mencapai 90 MWp. Padahal, potensi kapasitas yang dimiliki PLTS adalah 560 GWp.

Direktur IESR Fabby Tumiwa dalam diskusi “Memanen Potensi Listrik Surya Atap untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan” yang digelar oleh IESR dan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), di Jakarta, Minggu (1/7/2018), mengatakan, kapasitas tersebut tergolong sangat kecil dibandingkan dengan kapasitas dari negara anggota ASEAN lainnya.

”Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura yang telah mencapai 130 MWp dan Malaysia 375 MWp. Kapasitas PLTS Thailand bahkan telah mencapai 2.700 MWp dari target 6 GWp pada 2030,” tutur Fabby.

Grafis kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia sejak 2014-2017 dan rencana pengembangan di 2018.

Jika dibandingkan secara global, pembangunan PLTS Indonesia tidak mengikuti tren global yang cenderung naik dua kali lipat selama tujuh tahun terakhir di sejumlah negara. Padahal, potensi surya di Indonesia bisa lebih maksimal dibandingkan negara lain karena variasi musim Tanah Air lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara, seperti India dan Afrika Selatan.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) juga disebutkan, terdapat kewajiban agar bangunan pemerintah memasang panel surya minimal 30 persen dari luar atap yang dimiliki. Selain itu, bangunan rumah mewah, kompleks perumahan, dan apartemen wajib memasang panel surya minimal 25 persen dari luas atap yang dimiliki.

”Saya takut perpres itu terlupakan. Perpres telah diterbitkan tahun lalu, tetapi sampai sekarang belum ada yang melaksanakannya,” ujar Ketua Dewan Pakar AESI Nur Pamudji.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana diskusi ”Memanen Potensi Listrik Surya Atap untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan” oleh Institute for Essential Service Reform (IESR) dan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), di Jakarta, Minggu (1/7/2018),

Pemerintah perlu beranjak dari paradigma bahwa pembangunan PLTS selalu diasosiasikan dengan program pemerintah untuk daerah tertinggal. ”Kalau hanya mengandalkan program itu, perkembangan akan lambat. Masyarakat banyak yang ingin ikut pasang panel surya,” ujarnya.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Ketua Dewan Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Nur Pamudji

Dengan adanya inisiatif dari masyarakat, pemerintah diminta untuk menjamin keamanan pemasangan panel surya di kediaman pribadi setiap pemilik. Saat ini, aturan terkait pemasangan panel surya secara mandiri dinyatakan belum ada.

Chairman Indonesia Rooftop PV Association Yohanes Bambang Sumaryo menambahkan, semakin banyak warga yang tertarik untuk memasang panel surya kendati harganya masih tergolong tinggi. Ia mencontohkan, dibutuhkan dana Rp 15 juta-Rp 20 juta untuk memasang panel surya dengan kapasitas 1 kilowatt-peak (KWp) atau 1000 watt-peak (Wp).

Jumlah kebutuhan kapasitas setiap rumah berbeda-beda. Namun, menurut Yohanes, instalasi panel surya merupakan investasi jangka panjang karena panel surya dapat digunakan hingga 25 tahun.

Ketua Umum AESI Andhika Prastawa mengatakan, pembangunan PLTS lebih mahal secara nilai ekonomis jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Kendati demikian, PLTS, baik secara pemasangan panel di atap bangunan maupun di atas lahan (ground mounted solar) dinilai lebih dapat membantu kebutuhan masyarakat dalam jumlah kecil, efisien secara luas lahan, dan tersedia dalam jangka waktu yang cepat.

Pada September 2017, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, AESI, IESR, dan beberapa organisasi lainnya telah meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap dengan kapasitas terpasang 1 GW pada 2020. ”Kami bertekad untuk membantu agar seperenam dari target nasional tercapai,” kata Andhika.

Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia menargetkan peningkatan energi terbarukan dari 5 persen di tahun 2015 menjadi 23 persen tahun 2025. Dengan demikian, kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan menjadi sebesar 45 GW atau diperlukan tambahan kapasitas 36 GW dari kapasitas pembangkit listrik yang ada saat ini.

Sumber: Kompas.id