Energi Terbarukan Sebagai Strategi Green Economic Recovery Pasca-COVID19



Akselerasi pembangunan energi terbarukan sebagai strategi green economic recovery pasca-COVID19

Pandemi virus corona menciptakan krisis global yang belum pernah terjadi pada generasi abad ini. Ketika tulisan ini dibuat, terdapat 3,308 juta orang yang terkena wabah ini, dengan kematian mencapai 234 ribu lebih di seluruh dunia. Hingga akhir Maret lalu terdapat lebih dari 100 negara yang menerapkan lockdown atau partial lockdown, yang berdampak pada kehidupan milyaran orang.

Aktivitas ekonomi di berbagai tingkatan lokal, nasional, global melambat drastic bahkan terhenti. Disrupsi logistik terjadi di berbagai negara, jaringan rantai pasok terkoyak, aktivitas produksi dan konsumsi mengalami stagnasi, permintaan energi anjlok, dan sebagai akibatnya kesempatan kerja pun semakin pupus dan tingkat pengangguran meningkat, demikian juga kemiskinan meningkat. 

The coronavirus lockdown is saving lives but destroying livelihoods,” kata Tim Harford, dalam artikelnya di Financial Times, 2 April 2020. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan ekonomi global akan anjlok minus 3% tahun ini.

Indonesia juga terkena dampak sosial dan ekonomi dari wabah virus corona. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dari target yang dicanangkan tahun lalu. Kementerian Keuangan memprediksi ekonomi kita menghadapi ketidakpastian dan kemungkinan hanya tumbuh minus 0,4% – 2,3%. Sejumlah lembaga internasional memprediksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh 1%-2,5%, tetapi berbagai prediksi tersebut tergantung pada faktor seberapa buruk dampak pandemi serta efektivitas respon pemerintah mengatasi perlambatan ekonomi dan besaran stimulus yang dialokasikan untuk memacu pemulihan ekonomi.  

Sejauh ini pemerintah merespon pandemi virus corona dengan tiga strategi: pertama, membatasi penyebaran virus corona lewat kebijakan PSBB; kedua, memperkuat fasilitas dan pelayanan kesehatan untuk menghadapi pandemi; ketiga, meredam dampak ekonomi yang diakibatkan karena aktivitas ekonomi yang melambat dengan memperkuat jaring pengaman sosial dan dukungan fiskal terhadap dunia usaha dan UMKM yang terdampak. Ketiga strategi ini terlihat dalam perubahan dan realokasi belanja dalam APBN 2020 yang mengalami penghematan anggaran K/L, realokasi belanja, dan perluasan pemanfaatan dana desa, serta tambahan anggaran untuk belanja penanganan COVID-19 yang diatur dalam Perpu No. 1/2020.

Jika diamati, respon pemerintah sejauh ini baru berorientasi pada penanganan krisis dan dampak krisis saat ini. Sejauh ini belum terlihat adanya strategi untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca-COVID-19. Dampak dari Pandemi COVID-19 memberikan tantangan yang lebih besar bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan nasional, antara lain: menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas, menciptakan pemerataan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membangun infrastruktur secara merata di seluruh Indonesia.

Kapasitas fiskal untuk pemerintah juga berkurang dengan menurunnya sumber-sumber penerimaan dari pajak dan pendapatan non-pajak. Pulihnya sumber penerimaan negara ditentukan oleh pulihnya ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia yang masih tidak menentu. Oleh karena itu pilihan strategi pemulihan menjadi sangat instrumental dalam rangka optimalisasi sumber daya dan dana yang terbatas untuk menghadapi krisis multi-dimensi tersebut, sekaligus berupaya mencapai target-target pembangunan yang telah direncanakan.

Tantangan yang dihadapi tidak saja berkaitan dengan dampak yang dihasilkan oleh pandemi. Dunia, termasuk Indonesia pada saat yang bersamaan menghadapi ancaman perubahan iklim dan menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan. Ancaman-ancaman tersebut, jika tidak diatasi, dapat menjadi penghambat tercapainya pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam jangka panjang, serta dapat memperbesar risiko dan biaya yang harus dikeluarkan dalam menghadapi krisis serupa dengan pandemi COVID-19, bahkan yang lebih besar, di masa depan. Oleh karena itu otoritas kebijakan perlu mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya dan kapasitas fiskal secara optimal untuk menghadapi krisis dan tantangan multidimensi dalam merumuskan strategi pemulihan ekonomi.

Di sisi lain pandemi COVID-19 menciptakan peluang bagi Indonesia masuk ke dalam jalur pertumbuhan ekonomi rendah karbon (low carbon economy) yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi 5,6% sampai 2024 dan selanjutnya rata-rata 6% sampai 2045. Jalur ini memberikan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pendekatan business as usual seperti saat ini. Walaupun demikian pertumbuhan tinggi dapat terjadi dengan syarat jika aktivitas pembangunan mengintegrasikan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 41% pada 2030, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan energi terbarukan mencapai 23% bauran energi primer hingga 2030 (Bappenas, 2019).

Untuk itu dalam menyusun paket stimulus pemulihan ekonomi pasca-pandemi, Presiden Joko Widodo harus mengintegrasikan transisi energi menuju sistem energi yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, akselerasi pengembangan energi terbarukan, penciptaan lapangan kerja dalam jangka pendek, dan penguatan industri energi terbarukan nasional, serta penurunan emisi gas rumah kaca. Dengan pengintegrasian ini, diharapkan stimulus fiskal yang disiapkan oleh pemerintah dapat menciptakan dampak pada ekonomi dalam waktu singkat dan meletakan fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.

Strategi ini sejalan dengan rekomendasi Managing Director International Monetery Fund (IMF), Kristalina Georgieva yang disampaikan di Petersberg Climate Dialogue, yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi virus corona perlu diharmonisasikan dengan tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dan memastikan pemulihan (ekonomi) yang berkelanjutan secara lingkungan. 

Untuk itu IESR mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green economic recovery pasca-COVID19 melalui Program Surya Nusantara. Ini adalah program untuk memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap sebesar 1 GWp yang dilakukan di 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik masing-masing sebesar 1,5 kWp – 2 kWp yang on grid. Program dimulai persiapannya di 2020 dan dilaksanakan di 2021 dan dapat dilanjutkan hingga 2025 untuk mendukung tercapainya target 6,5 GW dari energi surya sebagaimana target Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.

Program Surya Nusantara membutuhkan stimulus anggaran sebesar 15 triliun di tahun pertama, dapat semakin berkurang dari tahun ke tahun seiring dengan penurunan harga modul surya. Sumber anggarannya berasal dari APBN dan selanjutnya dapat diperluas ke APBD. Sebagian besar dari dana ini akan dinikmati oleh industri dan pelaku usaha serta pekerja domestik, yang akan berputar di dalam ekonomi Indonesia.

Program ini diperkirakan dapat menyerap 30 ribu pekerja secara langsung dan tidak langsung selama setahun penuh. Untuk eksekusinya, diperlukan tenaga kerja terampil sebagai installater dan untuk melakukan O&M. Penyiapan tenaga kerja terampil dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan yang tersertifikasi. Pelatihan ini dapat diintegrasikan dengan Program Prakerja. Pelaksanaan pelatihan dilakukan melalui bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja, BUMN dan perusahaan EPC yang akan menampung tenaga kerja untuk melaksanakan program ini.

Program Surya Nusantara dapat memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia, antara lain: pertama, penyerapan tenaga kerja hingga 30 ribu yang akan mengurangi tekanan pengangguran; kedua, penghematan subsidi listrik Rp. 1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program ini diperluas dan dilakukan sampai 2025. Dengan penurunan subsidi dari program tahun pertama, secara kasar investasi yang dikeluarkan pemerintah akan kembali dalam waktu 10-12 tahun; ketiga, adanya potensi mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,05 juta ton/tahun yang dapat berkontribusi pada target penurunan 29% emisi GRK dalam nationally determined contribution (NDC); keempat, merangsang tumbuhnya industri photovoltaic nasional dan terbukanya pasar dan investasi untuk industri pendukung PLTS; dan kelima, terbukanya pasar PLTS Atap.  IESR memperkirakan potensi PLTS Atap untuk rumah tangga di Jawa-Bali saja mencapai 12 GW. Pemanfaatan PLTS Atap oleh rumah tangga. bangunan komersial dan industri akan mengurangi tekanan terhadap PLN untuk berinvestasi menambah kapasitas pembangkit.

Program Surya Nusantara, jika dilakukan dapat menjadi contoh nyata green economic recovery in action, yang menunjukan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia Tenggara dan di tingkat dunia. 

 

[*] Penulis adalah Direktur Eksekutif IESR, Email: fabby@iesr.or.id

Stimulus Akselerasi Energi Terbarukan untuk Pemulihan Ekonomi Pascapandemi #VirusCorona

Ditengah tekanan pandemi #COVID-19 ada kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan strategi pembangunan rendah karbon, mendukung investasi energi terbarukan salah satunya.

Apa yang bisa dilakukan:

1) Siapkan stimulus untuk mempercepat PLN mengganti PLTD dan PLTU di luar Jawa yang sudah berusia di atas 20 tahun dengan pembangkit energi terbarukan: surya, air, biomass, angin, dan panas bumi. Ada potensi 1000 MW. berikan bunga rendah (<7%) bagi pelaku usaha lokal untuk membagun pembangkit energi terbarukan <20 MW, kombinasikan dengan kebijakan feed-in-tariff yang sedang disiapkan Permennya. Akan ada ribuan tenaga kerja yang terserap dan kredit bank yang mengucur. Sektor riil bergulir;

2) Kombinasikan dengan aktivitas ekonomi lokal dengan sistem produksi biomasa oleh masyarakat. Ini menciptakan lapangan kerja baru yang bisa jadi alternatif terhadap kebun kelapa sawit yang harga produknya mengalami tekanan;

3) Latih tenaga kerja untuk bekerja di sektor energi terbarukan sebagai teknisi, digabungkan dengan program PLTS Atap #SuryaNusantara;

4) Pasang PLTS Atap di pelanggan listrik 900 VA yang disubsidi dalam 5 tahun. Ada 8 juta pelanggan PLN pada kelompok ini. Jika setiap rumah dipasang 1 kWp maka akan didapat 8GW pada akhirnya. Pemerintah dapat menghapus subsidi listrik segera setelah PLTS Atap dipasang. Lanjutkan dengan 24 juta pelanggan 450VA. Alokasikan APBN untuk ini, lakukan bulk procurement sehingga dapat harga yang kompetitif dari produsen PV lokal dan untuk EPC. Ada ratusan kontraktor yang akan menyerap puluhan ribu tenaga kerja dalam 5 tahun;

5) Berikan insentif dan subsidi untuk membangun industri energi terbarukan: turbin air, boiler biomassa, industri PV dari hulu ke hilir dan pembuatan turbin angin, serta industri battery;

6) Berikan kredit lunak untuk rumah tangga untuk memasang PLTS Atap. Ada 4 juta rumah tangga yang berpotensi memasang 12-15 GW. Sebagian besar perlu kredit lunak.

Pemerintah bisa menciptakan “solar economy” dari sini dengan potensi investasi masyarakat $12-20 milyar. #LawanVirusCorona #StimulusEnergiTerbarukan

Bagaimana Prospek Perkembangan Energi Bersih di Indonesia di 2020?

 

Pada Desember 2019 lalu, IESR meluncurkan laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2020. Dalam laporan ini, disampaikan evaluasi perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi selama 2019, serta pandangan prospek pengembangan energi bersih di Indonesia pada 2020 ini. Bagaimana prospek perkembangan energi bersih, khususnya energi terbarukan di Indonesia pada 2020? Salah satu temuan dalam ICEO 2020 mengindikasikan investasi di bidang energi terbarukan mengalami penurunan.  Sejak 2015, realisasi investasi EBT terus menurun, padahal target investasi tahunan terus mengalami koreksi dari target Renstra KESDM 2015-2019. Bahkan target investasi EBT untuk 2019 sebesar $1,8 milyar hanya tercapai $1,5 milyar. Sepanjang 2015-2019 kapasitas pembangkit energi terbarukan (on-grid dan off-grid) bertambah 1,6 GW atau 11% dari total tambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 15,5 GW. Pencapaian ini jauh lebih rendah dari realisasi pada periode 2010-2014. Pada 2020 KESDM memasang target pembangkit energi terbarukan dapat bertambah 685 MW. Angka ini jauh lebih tinggi dari realisasi penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada 2019 sebesar 376 MW. Walaupun lebih tinggi tetapi sesungguhnya pertambahan kapasitas ini masih lebih rendah dari penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk memenuhi target RUEN, setiap tahun sejak 2020, diperlukan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan baru sebesar 4-5 GW.

Untuk dapat mencapai target tersebut maka diperlukan investasi yang cukup, kesiapan atau kemauan off-taker dan ketersediaan proyek-proyek yang feasible. Off taker yang terbesar adalah PLN yang memasok 95% energi listrik di Indonesia. Bagaimanakah status ketiga faktor ini di 2020?

Pertama, sejauh ini Indonesia belum menjadi target utama investasi energi bersih bagi investor asing. Daya tarik investasi untuk energi terbarukan tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol. Beberapa faktor utama antara lain: iklim investasi makro, kualitas kebijakan dan regulasi, rencana dan realisasi pembangunan energi terbarukan, ketersediaan pendanaan, serta akses pada teknologi dan rantai pasok domestik memiliki daya tarik yang lebih rendah bagi investor asing dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang menjadi kompetitor kita. Investor berpandangan kebijakan dan regulasi tidak stabil, mudah berubah, kualitasnya rendah, dan ketidakjelasan dalam implementasinya. Hal-hal ini menyebabkan persepsi risiko investasi di sektor energi terbarukan sangat tinggi yang berakibat pada meningkatnya cost of money untuk investasi proyek energi terbarukan di negara kita.

Di 2020 ini, investor sepertinya akan mencermati langkah pemerintah memperbaiki iklim investasi energi terbarukan. Perubahan kebijakan dan regulasi yang menghambat perkembangan energi terbarukan selama tiga tahun terakhir ini ditunggu oleh para pelaku usaha. Rencana pemerintah menerbitkan aturan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik ET skala kecil dalam bentuk Peraturan Presiden menjadi angin segar bagi pelaku usaha swasta. Tapi FiT saja mungkin tidak cukup karena harga/tarif hanyalah sebagian dari hambatan pengembangan ET. Bagaimana pemerintah melalui instrumen regulasi mengalokasikan risiko-risiko tarif, kebijakan, teknologi, evakuasi daya secara berimbang untuk PLN dan pengembang, dan proses bisnis yang transparan juga menjadi perhatian para investor, khususnya investor asing. Sentimen positif akan terjadi di 2020 kalau ada realisasi komitmen politik dan produk perundangan yang signifikan di tahun ini. 

Kedua, PLN sebagai satu-satunya off-taker listrik swasta, perkembangan energi terbarukan sangat dipengaruhi oleh visi, minat, perencanaan, lelang dan eksekusi dari BUMN ini. Beban pencapaian target energi terbarukan pun sebagian besar harus dipikul oleh PLN. Untuk mencapai target 23% sesuai Perpres No. 22/2017 maka dalam lima tahun mendatang, minimal 75-80% penambahan pembangkit listrik baru harus berasal dari energi terbarukan. Pada prakteknya untuk dapat masuk ke dalam sistem ketenagalistrikan, maka proyek energi terbarukan harus masuk dalam perencanaan PLN, yaitu Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Pada RUPTL 2019-2028, PLN merencanakan menambah 16,7 GW pembangkit energi terbarukan dimana 8 GW direncanakan pada kurun waktu 2019-2024. Untuk mencapai target RUEN, maka kapasitas pembangkit untuk energi terbarukan harus ditambah menjadi 12-15 GW pada kurun waktu tersebut dan dilipatgandakan pada lima tahun berikutnya. Konsekuensinya untuk dapat menampung kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar maka PLN perlu melakukan pengurangan kapasitas pembangkit-pembangkit thermal yang direncanakan atau yang telah dioperasikan 5-10 GW dalam lima tahun mendatang.

Ada perbedaan antara target KESDM untuk penambahan kapasitas terpasang pembangkit ET di 2020 sebanyak 685 MW dengan RUPTL PLN sebesar 933 MW. Perbedaan ini merupakan sinyal bahwa ada persoalan dalam perencanaan kelistrikan dan koordinasi, khususnya untuk pembangkitan ET. Bagaimana perbedaan ini akan direkonsiliasi dalam RUPTL 2020-2029 yang kemungkinan akan terbit dalam beberapa waktu kedepan juga menjadi perhatian para investor dan pengembang.

Ketiga, ketersediaan proyek-proyek energi terbarukan yang bankable dan siap didanai merupakan salah satu faktor yang penting dalam memenuhi target penambahan kapasitas pembangkit listrik. Selama ini ketersedian proyek-proyek pembangkit energi terbarukan yang bankable jumlahnya terbatas. Berbeda dengan pembangkit thermal yang berkapasitas besar, pembangkit energi terbarukan kapasitasnya bervariasi dari skala dibawah 5 MW, 5-10 MW, 10-50 MW, dan diatas 50 MW. Misalkan untuk PLTS yang direncanakan mencapai 0,9 GW, hingga 2025 nanti, dapat terdiri dari 20-50 proyek dengan ukuran rata-rata 20-50 MW per proyek. PLTB yang direncanakan hingga 0,85 GW hingga 2025 dapat terdiri dari 15-30 proyek dengan kapasitas 10-100 MW per proyek.

Jadi, prospek pengembangan energi terbarukan di 2020 sebenarnya lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan adanya komitmen politik dari Presiden, langkah-langkah merevisi kebijakan dan regulasi harga ET (FiT) oleh Menteri ESDM, dan dukungan jajaran direksi PLN untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai target RUEN. Walaupun demikian, aksi-aksi positif ini tidak serta merta langsung meningkatkan daya tarik investasi dan realisasi investasi pembangkit pada tahun ini. Apabila pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan di tahun ini, paling tidak untuk tiga aspek diatas, dampaknya pun baru akan terasa dua sampai tiga tahun mendatang, yang ditandai dengan meningkatnya minat investor dan meningkatnya stok proyek-proyek pembangkit yang siap dikembangkan secara komersial.

Pemerintah harus melihat bahwa 2020 adalah tahun untuk memulihkan kepercayaan investor, dan tahun untuk memperkokoh fondasi untuk transformasi energi yang berkelanjutan di Indonesia. Kegagalan untuk melakukan perbaikan di tahun ini dapat berujung pada hilangnya momentum positif, hengkangnya investor asing, serta hilangnya kesempatan membangun sistem energi modern yang berkelanjutan dan kompetitif secara biaya dalam jangka panjang. Kalau ini terjadi, perlu waktu lama untuk membalik keadaan.

Jakarta, 15 Januari 2020.

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Selamat Tahun Baru 2020! Apa harapan anda di 2020? Kami di IESR berharap di tahun ini energi terbarukan dapat bangkit kembali setelah mati suri selama 3 tahun terakhir. Mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan kami? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pasal 9 butir (f) dari PP tersebut mentargetkan bauran energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini adalah kebijakan dan target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. Sektor kelistrikan adalah salah satu kontributor utama emisi GRK. Berdasarkan kajian KESDM dan UNDP (2018), emisi GRK sub-sektor pembangkitan listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017 dan diperkirakan hingga 2030 akan tumbuh sebesar 10,1% per tahun. Dengan demikian pada 2030, emisi GRK diproyeksikan mencapai 699 MtCO2e (BAU). Dengan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi sebesar 20% maka emisi GRK dapat turun 36% dari skenario business as usual. Dengan itu faktor emisi listrik nasional turun dari 1,005 tCO2e/MWh menjadi 0,729 tCO2e/MWh. Oleh karena itu adanya peningkatan energi terbarukan yang signifikan menunjukan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi, biaya O&M pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin dan hidro relatif rendah dan kenaikan terjaga. Capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.   

Pengembangan pembangkit energi terbarukan selama lima tahun terakhir nyaris mandek.

Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) 2020 yang diluncurkan IESR bulan lalu mencatat penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 2015-2019 hanya mencapai 1,6 GW, lebih rendah dari periode 2010-2014 yang mencapai 1,8 GW. Ini kabar yang kurang baik karena dibandingkan target kebijakan, penambahan kapasitas ini hanya 10-15% dari yang seharusnya terbangun sesuai target RPJMN 2015-2019.  

Praktis sejak berlakunya Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian digantikan dengan Permen ESDM No. 50/2017, pengembangan energi terbarukan mandek. Dari 75 PPA yang ditandatangani sepanjang 2017-2018, terdapat 5 proyek yang diterminasi dan 27 proyek lainnya belum memperoleh pendanaan. Sebagian besar proyek yang berjalan, tidak menggunakan mekanisme harga yang diatur di dua Permen tersebut dan kemungkinan bisa berjalan karena menggunakan pendanaan sendiri atau instrumen pembiayaan korporat. 

Yang lebih parah lagi adalah Permen No. 50/2017 telah menyebabkan para pelaku usaha swasta asing dan domestik kehilangan kepercayaan terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Para investor yang datang ke Indonesia pada 2015 dan 2016 karena melihat adanya peluang investasi di bidang energi terbarukan, secara perlahan angkat kaki dan mencoba peruntungan di negara tetangga, Vietnam, yang pada 2017 dan 2018 justru mengeluarkan kebijakan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik surya dan angin. Kebijakan ini menjadi insentif bagi para investor yang berbondong-bondong memanfaatkannya.  

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, ada harapan pengembangan energi terbarukan. Sejauh ini ada sejumlah sinyal positif yang mengindikasikan pemerintah memiliki keinginan yang kuat mendorong energi terbarukan Indikasinya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada bulan November tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara

Terlepas dari pernyataan dan sikap politik tersebut, Presiden Joko Widodo sesungguhnya menghadapi tantangan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini artinya, dalam lima tahun mendatang akan jadi ajang pembuktian apakah Presiden Joko Widodo mampu membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.

Apa saja tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dan kabinetnya dan apa yang perlu dilakukan?

Pertama, kebutuhan me-mobilisasi investasi publik dan swasta.  Diperlukan investasi $70-90 miliar (~ Rp. 1000 triliun) untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya. Hanya 10%-15% dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik. Untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti. Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan beresiko dan tidak menarik. Regulasi Indonesia harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.  

Kedua, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia. 

Selain itu penilaian atas 5 indikator dan 11 sub-parameter atas daya tarik investasi yang dilakukan IESR yang dilaporkan dalam ICEO 2020 menghasilkan penilaian 6 dari 11 sub-parameter dianggap tidak memadai (insufficient). Penilaian menunjukan pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur, tapi juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatory pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik. 

Ketiga, bertambahnya kapasitas pembangkit thermal, khususnya PLTU. Pada 2019-2028, direncanakan dibangun 27 GW PLTU batubara dan mulut tambang, dimana 22 GW dibangun pada 2019-2025. Dengan perkembangan laju permintaan listrik PLN saat ini yang berada di bawah 5%, jauh di bawah proyeksi laju permintaan listrik dalam RUPTL, maka diperlukan koreksi terhadap rencana pembangunan pembangkit thermal untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan listrik 5 tahun terakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan permintaan listrik berada di kisaran ~5% per tahun dalam lima tahun mendatang sehingga tambahan pembangkit baru sekitar 4 GW per tahun (rata-rata). Oleh karena itu untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan hingga mencapai 23-30% dari total kapasitas pembangkit PLN pada 2025, sekitar 3-4,5 GW pembangkit energi terbarukan harus masuk di sistem PLN setiap tahunnya. Ini berarti setelah 2020, pembangunan PLTU batubara harus mulai dikurangi dibarengi dengan phasing out pembangkit-pembangkit thermal tua dan yang efisiensinya rendah. Tanpa melakukan ini, PLN akan kesulitan memasukan tambahan 20-22 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. 

Mengubah rencana pembangunan pembangkit listrik terutama menunda atau membatalkan PLTU batubara tentunya bukan keputusan yang mudah bagi Menteri ESDM yang akan memutuskan RUPTL 2020-2029 dalam dua bulan mendatang. Perubahan ini dapat mengguncang berbagai macam kepentingan, terutama pemilik tambang dan pembangkit batubara yang berharap dapat mengoptimalkan aset tambang yang mereka miliki. Tapi disinilah kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan diuji. Menarik tentunya memperhatikan langkah dan strategi pemerintah (jika ada) dalam hal merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia dan memastikan Indonesia berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan. 

Jakarta, 2 Januari 2020

 

Jonan Turunkan Target Energi Terbarukan 2025 Jadi 20 Persen

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah menargetkan pada 2025 porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional di Indonesia mencapai 23 persen. Target ini sesuai dengan komitmen pemerintah dalam Paris Agreement tahun 2015.

Tapi, hingga saat ini porsi EBT baru mencapai angka 13 persen. Meski masih ada waktu 7 tahun lagi untuk mengejar target energi terbarukan 23 persen, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengaku pesimis hal itu bisa terkejar. Dia pun menurunkan target bauran energi terbarukan pada 2025 menjadi 20 persen.
“Ya kira-kira begitu. Saya khawatir enggak bisa capai 23 persen (pada 2025). Ini yang belum tentu 23 persen bauran energi di 2025, mungkin kita coba sampai 20 persen kurang lebih,” kata Jonan usai memberikan sambutan dalam acara Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (15/11).
Jonan menjelaskan, ada beberapa alasan yang membuat target energi terbarukan 2025 turun. “Pertama, mengenai nilai investasinya. Apa ini bisa memberikan dampak yang serius terhadap kenaikan listrik,” ujarnya.
Yang kedua, di sektor transportasi, kata Jonan, sulit mendorong penggunaan bioetanol karena kurangnya pasokan bahan baku.
“Seperti tebu, bersaingan dengan konsumsi manusia. Ketela pohon dan nira juga sama. Memang skala kecil bisa (direalisasikan) tapi coba skala nasional, mana bisa sampai sekarang lho ya,” jelasnya lagi.
Karena itu, dia mendorong industri pertanian menanam ketela dalam skala jutaan hektare agar bisa dikonversi jadi etanol.
Hingga saat ini, porsi EBT di sektor ketenagalistrikan baru mencapai 13 persen, sementara di transportasi mencapai 12-13 persen karena ada perluasan program mandatori biodisesl 20 persen atau B20.
PLTP Pertamina di Ulubelu, LampungPLTP Pertamina di Ulubelu, Lampung (Foto:Dok. Pertamina)
Meski target bauran energi terbarukan 23 persen diturunkan menjadi 20 persen di 2025, pemerintah tetap melakukan sejumlah upaya
Pengembangan EBT terutama dilakukan dengan terus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Kata Jonan, mungkin dalam 7 tahun porsi EBT bisa bertambah 2 persen dari pengembangan panas bumi. Sebab, banyak PLTP baru di berbagai daerah, meski banyak yang kapasitasnya kecil.
Selain itu, pemanfaatan energi air dan mikro hidro juga digenjot. Walaupun kapasitas pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) kecil-kecil, tapi total kapasitasnya cukup signifikan.
“Yang (PLTA) besar-besar juga, saya dengar PLN sekarang tanda tangan. Ini diharapkan bisa tambah bauran energi,” ucapnya.
Potensi EBT lain yang juga diandalkan untuk mengejar target adalah energi surya. Saat ini Kementerian ESDM sedang menyiapkan aturan untuk mendorong penggunaan panel surya atap (solar PV).
“Memang terus terang masih kurang. Kan ini negara tropis, masa kurang sih PLTS-nya? Ini mau dikeluarkan peraturan ini untuk setiap rumah pasang solar PV. Jadi nanti ekspor impor ke dan dari PLN,” tutupnya.
Sumber Kumparan.com

IKEA, Google Cs Syaratkan Listrik EBT Sebelum Investasi

Jakarta, CNBC Indonesia- Direktur Eksekutif Institute for Esesential Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, jika pembangunan dan investasi energi baru dan terbarukan (EBT) tidak berjalan lancar, dapat berdampak pada penanaman modal asing. Pasalnya, pengembangan EBT dapat menjadi daya tarik investasi.

“Perusahaan-perusahaan multinasional banyak yang mau investasi di sini, tetapi dengan syarat listriknya menerapkan EBT,” ujar Fabby kepada media saat dijumpai di Jakarta, Selasa (31/7/2018).Lebih lanjut, Fabby menjelaskan, di seluruh dunia, perusahaan-perusahaan multinasional seperti Unilever, IKEA, Microsoft, dan Google sudah punya target untuk membeli listrik 100% dari EBT. Di Indonesia, ujar Fabby, ada perusahaan produsen sepatu NIKE dan Adidas yang sudah mulai terapkan EBT.

“Bisa tidak kita Indonesia terapkan kebijakan seperti itu? Jika ke depan mau investasi, mau tambah kapasitas, mana negara yang bisa sediakan listrik dengan EBT. Saya contoh Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, mereka bisa tarik investasi dari sini, tutup pabrik juga kalau tidak ada EBT,” ungkapnya.

“Pemerintah harus concern tentang hal ini. Ini yang mau beli itu inginnya begitu. Harus ada fleksibilitas di jaringan PLN,” tandas Fabby.

Sebagai informasi, sebelumnya, melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah telah menetapkan target untuk meningkatkan bauran EBT dari 7% saat ini menjadi 23% di 2025 dan 2030, yang setara dengan 45 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan.

Sejauh ini perkembangan EBT masih terbilang lambat, dengan kapasitas terpasang saat ini baru sebesar 9 GW atau 14% dari total kapasitas terpasangan pembangkit listrik, dan baru 20% dari total kapasitas yang menjadi target RUEN.

Adapun, meski diakui sulit tercapai, Pemerintah mengklaim tetap berkomitmen untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) yang sebesar 23% pada tahun 2025.

“Komitmen 23% itu kita tidak ubah sampai hari ini, yaitu tetap di tahun 2025,” tutur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan melalui keterangan resminya, Senin (23/7/2018).

Lebih lanjut, Jonan menjelaskan, pihaknya telah melakukan beberapa inisiatif untuk mencapai target bauran EBT tersebut, seperti  mendorong PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer (IPP) untuk masuk ke pembangkit energi terbarukan, misalnya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

Inisiatif lainnya, Jonan telah meminta PLN mengganti seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan total kapasitas 3.200 megawatt (MW) menggunakan 100% minyak kelapa sawit.

Upaya lainnya adalah melalui penggunaan Rooftop Solar Photovoltaic (PV) atau rooftop panel surya. Jonan mengusulkan untuk menerapkan penggunaan rooftop panel surya kepada konsumen PLN jenis tertentu, seperti rumah tangga golongan 1 (R1) hingga R4 dan juga golongan bisnis.

Sumber :cnbcindonesia

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF): Mendorong Transformasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia Menjadi Lebih Bersih dan Berkelanjutan

Institute for Essential Services Reform (IESR), meluncurkan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang diharapkan dapat mendorong transformasi sektor energi, khususnya sektor ketenagalistrikan di Indonesia menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Pada 2015, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dari business as usual (BAU) di tahun 2030, dan meratifikasi Paris Agreement pada 2016. Untuk mencapai target ini, salah satu upayanya melalui pemanfaatan energi terbarukan yang lebih besar di sektor kelistrikan, dan mengurangi pembakaran batubara.

Melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah telah menetapkan target untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 7% saat ini menjadi 23% di tahun 2025 dan 2030, yang setara dengan 45 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. Sejauh ini perkembangan energi terbarukan masih terbilang lambat, dengan kapasitas terpasang saat ini baru sebesar 9 GW atau 14% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik, dan baru 20% dari total kapasitas yang menjadi target RUEN.

Sementara itu, penyediaan tenaga listrik di seluruh dunia sedang mengalami transformasi yang besar, dengan semakin terjangkau dan kompetitifnya harga listrik dari variable renewable energy (VRE) seperti angin dan surya dibandingkan dengan listrik dari pembangkit fosil, semakin berkembangnya teknologi pembangkit terdistribusi, dan transformasi digital di sektor kelistrikan melahirkan trend 4D: dekarbonisasi, desentralisasi dan digitalisasi serta demokratisasi sistem penyediaan listrik. Kecenderungan ini dapat menjadi faktor disruptif bagi sistem kelistrikan saat ini di Indonesia yang masih bersifat monopolistik, tersentralisasi, dan mengandalkan pembangkit berbahan bakar fosil. Potensi disrupsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya aset-aset terdampar (stranded assets) dari infrastruktur pembangkit dan transmisi serta distribusi (T&D) yang dibangun saat ini dan di masa depan, yang membawa konsekuensi sosial, ekonomi dan finansial.

Mencermati perkembangan yang terjadi, sejak 2017 lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama dengan Prof. Kuntoro Mangkusubroto, yang pernah menjabat sebagai menteri di sejumlah kabinet dan menjadi pendiri dan Ketua Dewan Sekolah SBM ITB, menginisiasi terbentuknya Indonesia Clean Energy Forum (ICEF).

ICEF merupakan forum multi-pihak yang beranggotakan sekitar 25 orang yang merupakan eminent person di sektor energi di Indonesia dari latar belakang birokrat, akademisi, pebisnis, pimpinan BUMN energi, dan organisasi non-pemerintah. ICEF diperkenalkan untuk pertama kalinya kepada publik di hari ini. Prof. Kuntoro Mangkusubroto menjadi Ketua Dewan Pengarah (Advisory Council), adapun IESR didapuk menjadi sekretariat ICEF.

ICEF dimaksudkan sebagai wadah untuk berbagi dan tukar menukar gagasan yang objektif dan inovatif tentang transformasi sektor kelistrikan, dan tindakan adaptasi untuk menghadapi potensi disrupsi yang akan terjadi di masa depan. Gagasan dan pendekatan yang dibahas dalam forum ini diharapkan dapat mendukung para pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakan dan kerangka regulasi yang memadai, serta menyusun strategi sektor kelistrikan yang berkembang seiring dengan perubahan teknologi yang cepat sehingga dapat mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan dan menghindari risiko stranded asset di masa depan. Isu-isu yang dibahas di ICEF berdasarkan pada hasil penelitian dan analisa data yang kokoh, yang dilakukan oleh IESR, maupun mitra-mitra pengetahuan lainnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menjelaskan melalui proses yang terjadi di dalam ICEF, para anggotanya yang memiliki pengaruh dan peran dalam hal perencanaan dan proses penyusunan kebijakan, investasi, dan strategi korporasi diharapkan dapat mengimplementasikan gagasan-gagasan dan rekomendasi yang relevan. Mereka juga diharapkan dapat menjadi katalisator terhadap persemaian gagasan transisi atau transformasi energi di Indonesia.

Peluncuran ICEF direncanakan pada November 2018, dimana pada saat tersebut juga akan dilakukan simposium yang membahas isu-isu mutakhir terkait dengan trend 4D yang terjadi di sektor energi, implikasi terhadap kebijakan, regulasi dan program di tingkat sektoral, dan praktek-praktek terbaik dari sejumlah negara yang relevan dengan situasi Indonesia.

###

Nara hubung

Jannata Giwangkara (Egi)

egi@iesr.or.id

0812 8487 3488