Memulai Perjalanan Dekarbonisasi Industri Baja

Jakarta, 20 Maret 2024 – Sektor industri merupakan salah satu sektor penting untuk diturunkan emisinya. Konsumsi energi yang besar serta kontribusinya pada bidang ekonomi yang signifikan pada 2022 sebesar 16,48 persen Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi alasan kuat untuk membuat sektor ini semakin berkelanjutan. Industri dengan kebutuhan energi tinggi seperti industri besi baja membutuhkan persiapan strategis untuk melakukan dekarbonisasi. 

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, dan menempati urutan nomor 15 produsen baja di dunia. Tahun 2023, tercatat kapasitas produksi baja Indonesia mencapai 16 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 33-35 juta ton pada 2030. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar “Accelerating the Transformation of the Steel Industry in Southeast Asia: Indonesia Chapter” menyatakan bahwa produksi baja Indonesia masih tinggi emisi. 

“Proyeksi kebutuhan baja Indonesia diprediksi akan meningkat, jika tidak mengambil langkah dekarbonisasi serius, maka emisi dari industri baja juga akan terus meningkat,” kata Fabby.

Kita juga menghadapi tuntutan pasar internasional untuk menghasilkan baja yang lebih rendah karbon. Uni Eropa misalnya telah menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang efektif pada 2026, akan menimbulkan efek negatif terhadap ekspor industri baja Indonesia. Untuk itu, industri baja perlu melakukan transformasi.

Farid Wijaya, Analis Senior IESR menjelaskan bahwa dekarbonisasi bagi industri besi baja akan membawa prospek pertumbuhan ekonomi, meski saat ini masih cukup banyak tantangannya. 

“Standar industri hijau dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong industri ramah lingkungan. Standar hijau untuk baja baru ditetapkan dan masih terbatas pada baja lembar per lapis. Saat ini belum ada industri besi baja yang mendapat sertifikat hijau karena keterbatasan implementasi,” kata Farid.

Kajol, Program Manager Climate Neutral Industry Southeast Asia, Agora Industry, menambahkan bahwa saat ini hampir 80% produksi baja dilakukan melalui teknologi blast furnace (tanur tinggi). 

“Kita harus mulai memikirkan teknologi yang lebih baik dan modern untuk menggantikan blast furnace. Saat fasilitas blast furnace yang saat ini beroperasi mulai tidak lagi efisien di tahun 2030-2040 kita harus menggantinya dengan teknologi yang lebih modern dan tidak lagi berinvestasi di blast furnace,” jelasnya.

Salah satu teknologi yang dimaksud Kajol adalah Direct Reduced Iron (DRI) yang dapat memproduksi baja primer menggunakan gas alam atau hidrogen bersih. Bijih besi direduksi untuk menghasilkan DRI, yang kemudian dapat dilebur dalam tanur busur listrik (Electric Arc Furnace, EAF) untuk menghasilkan baja primer.

Strategi yang dapat dijalankan untuk dekarbonisasi industri baja mencakup penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan ekonomi sirkular, dan menutup siklus karbon. 

Helenna Ariesty, Sustainability Manager PT Gunung Raja Paksi (GRP) sebagai pelaku industri menekankan pentingnya kepastian regulasi dalam mendorong dekarbonisasi industri. 

“Kami menghadapi beberapa tantangan untuk menavigasi arah kebijakan yang belum konsisten. Selain itu, akses pendanaan yang terjangkau mengingat investasi awal yang dibutuhkan jumlahnya signifikan,”

Joseph Cordonnier, Analis Kebijakan Industri, OECD sepakat bahwa kebijakan dan akses pendanaan akan menjadi komponen kerangka utama untuk membangun ekosistem pendukung untuk dekarbonisasi industri. 

“Sebagai bagian dari kerangka tersebut kita juga harus benar-benar melihat bagaimana memaksimalkan pemanfaatan aset yang ada berdasarkan variabel teknik, efisiensi energi, dan pengurangan emisi aset tersebut,” kata Joseph.

Fausan Arif Darmaji, Analis Perkembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian mengatakan pemerintah menyadari adanya kebutuhan menekan emisi dari produksi baja Indonesia.

“Sektor besi baja juga merupakan fokus kami saat ini. Sembari kami menunggu aturan kebijakan yang saat ini sedang dibuat, kami memberikan pelatihan perhitungan GRK bagi sektor baja, juga perhitungan nilai ekonomi karbonnya,” kata Fausan.

Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi IESR menutup webinar ini dengan menggarisbawahi kebutuhan dekarbonisasi industri merupakan upaya untuk tetap relevan dengan tuntutan perkembangan industri.

“Saat ini dekarbonisasi di sektor industri masih dianggap sebagai tantangan. Bukan hanya di Indonesia, namun juga fenomena global. Tren ini yang harus kita antisipasi karena dekarbonisasi adalah hal yang inevitable (tidak terelakkan),” kata Deon.

Kompas | Ikhtiar Membangun Energi Terbarukan yang Terjangkau dan Murah

Transisi dari energi fosil ke energi yang rendah emisi tak bisa ditawar. Bukan perihal ikut-ikutan tren global, tetapi menyangkut bumi dan kehidupannya di masa mendatang. Namun, muncul pertanyaan kapan Indonesia benar-benar bisa mengandalkan energi terbarukan? Sebab, kendati diberkahi potensi energi terbarukan yang melimpah, aksesnya belum mudah dan harganya belum murah.

Baca selengkapnya di Kompas.

Emisi Usaha Kecil Menengah (UKM) tidaklah Kecil

Dekarbonisasi emisi UKM

Jakarta, 14 Maret 2024 – Sektor industri telah menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Bukan hanya industri besar, Usaha Kecil Menengah (UKM) juga menjadi penggerak roda perekonomian nasional, termasuk dalam membentuk lapangan pekerjaan serta berkontribusi pada PDB sebesar 60,5 persen pada tahun 2021. 

Akan tetapi, di balik angka kontribusi ekonomi ada emisi besar yang menghantui. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya di webinar “Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global”mengatakan bahwa emisi dari sektor UMKM pada tahun 2023 sebesar 216 juta ton CO2e.

“Angka ini setara dengan separuh dari emisi sektor industri nasional pada tahun 2022. Maka, kita perlu secara serius mengupayakan dekarbonisasi industri UKM ini karena dengan memprioritaskan aspek keberlanjutan (sustainability, red) UKM akan naik kelas,” tutur Fabby.

Fabby menuturkan, sebanyak 95 persen dari emisi sektor UKM datang dari pembakaran bahan bakar fosil, sisa 5 persen dari pembakaran sampah. Jika tidak diambil langkah signifikan untuk mengurangi emisi sektor UKM, ada kemungkinan emisi UKM akan meningkat di kemudian hari. 

Abyan Hilmy Yafi, Analis Data Energi IESR, menjelaskan dalam survei yang dilaksanakan oleh  IESR pada 1000 UKM di seluruh Indonesia bahwa untuk memulai dekarbonisasi industri UKM ini terdapat beberapa pendekatan dari yang bersifat peningkatan pemahaman hingga solusi teknis seperti penggantian teknologi. 

“Untuk lintas sektor perlu adanya peningkatan pemahaman pelaku UKM tentang konsumsi energi dan emisi yang mereka hasilkan. Juga perlu sosialisasi aktif untuk mempromosikan energi terbarukan. Secara sektoral, terdapat beberapa rekomendasi teknis seperti penggunaan boiler elektrik pada industri tekstil dan apparel (pakaian, red),” jelasnya.

Bo Shen, Energy Environmental Policy Research, Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) menjelaskan bahwa secara global, tantangan dari melakukan dekarbonisasi industri UKM antara lain adanya gap pengetahuan dari pemilik atau pengelola UKM tentang emisi, energi, atau lebih jauh lagi perubahan iklim dan relevansinya pada usaha mereka. 

“Ketika pelaku UKM sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran cukup untuk melakukan dekarbonisasi atau menekan emisi dari usahanya, pembiayaan menjadi kendala selanjutnya. Biaya yang harus dibayarkan di depan (upfront cost) yang ada saat ini untuk misal mencari vendor teknologi ataupun penyedia jasa energi (Energy Service Company – ESCO), masih cukup tinggi untuk skala keuangan UKM,” jelas Bo Shen.  

Tiap-tiap negara akan menggunakan pendekatan berbeda untuk mendorong dekarbonisasi UKM ini. Amerika Serikat misalnya, mereka bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk membangun pusat penilai industri (industry assessment centres). 

“Selain berguna untuk mendekarbonisasi industri UKM, pendekatan ini juga sekaligus menyiapkan tenaga kerja ahli yang memiliki kesempatan training langsung pada industri UKM,” jelas Bo Shen.

Bo juga menambahkan kasus menarik dari Cina yang membentuk inisiatif bernama Green Growth Together (GGT). Inisiatif ini mendorong dekarbonisasi UKM-UKM yang menjadi bagian rantai pasok produk besar. 

Pemilik industri bermerek besar meminta seluruh jaringan rantai pasoknya untuk menjalankan praktik pengurangan emisi atau dekarbonisasi. Tuntutan ini juga datang dengan bantuan pembiayaan ataupun asistensi teknis yang dibutuhkan. 

Ahmad Taufik dari Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, untuk konteks Indonesia, saat ini sedang mengalami tantangan pada sektor industri. Kontribusi sektor industri pada PDB tercatat terus menurun.

“Secara struktural kami juga masih terus membenahi beragam hal mulai dari pengembangan industri, pengembangan UKM, hingga memastikan tersedianya lapangan kerja yang ramah lingkungan (green jobs) dan tenaga profesionalnya (green professional),” kata Taufik.

Road to Youth Climate Conference Webinar: Perubahan Iklim, Industri, dan Gaya Hidup


Tayangan Tunda


Latar Belakang

Dampak perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan anak-anak dan pemuda. Studi yang dilakukan oleh Save the Children pada tahun 2020 menemukan bahwa anak-anak yang lahir pada tahun 2020 mengalami bencana sebanyak 3.4 kali lebih sering daripada kakek-nenek mereka yang lahir pada tahun 1960. Bencana tersebut melibatkan perubahan iklim seperti gelombang panas, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan kegagalan panen, memberikan tekanan tambahan pada lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perlindungan anak-anak. Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF menyoroti bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan, nutrisi, pendidikan, dan masa depan anak-anak. 

Di sisi lain, perkembangan sektor industri dalam beberapa dekade terakhir telah merubah gaya hidup masyarakat dari berbagai sisi. Mulai dari barang-barang elektronik hingga pakaian sehari-hari. Sayangnya, aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak berwawasan lingkungan kerap kali memiliki dampak buruk terhadap perubahan iklim. Misalnya, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, deforestasi akibat aktivitas industri, serta berkembangnya tren fast fashion yang mendorong konsumsi yang tidak berkelanjutan. Bahkan, sektor industri sendiri telah menyumbang 25% dari emisi karbon global (UNEP, 2023). Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam pola pikir dan perilaku sehari-hari, terutama generasi muda, untuk mengurangi dan memitigasi dampak perubahan iklim dari sektor industri dan gaya hidup.

Webinar ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana perubahan iklim disebabkan oleh industri dan gaya hidup masyarakat umum, termasuk yang dilakukan oleh orang muda. Melalui diskusi mendalam, diharapkan dapat tercipta pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi generasi muda dalam konteks perubahan iklim. Selain itu, webinar ini juga diarahkan untuk merumuskan solusi dan tindakan konkret yang dapat diambil oleh anak muda dalam membangun gaya hidup yang berkelanjutan serta merumuskan inovasi dalam industri untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Tujuan

  • Mendiskusikan dampak perubahan iklim pada sektor industri dan gaya hidup.
  • Mendiskusikan peran orang muda dalam menanggulangi dampak perubahan iklim dari gaya hidup.

 

 


Presentasi

 

Peran Anak Muda dalam Mendorong Arah Perkembangan Industri Indonesia yang Berkelanjutan – Faricha Hidayati

Peran-Anak-Muda-dalam-Mendorong-Arah-Perkembangan-Industri-Indonesia-yang-Berkelanjutan-Faricha-Hidayati

Download

Mendorong Dekarbonisasi UMKM di Indonesia

press release

Jakarta, 14 Maret 2024 – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menjadi salah satu pilar penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop), sektor UMKM memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60,5 persen dan berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai sebesar 97 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2021. 

Di sisi lain, UMKM menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bertanggung jawab terhadap krisis iklim. Berdasarkan studi Institute for Essential Services Reform (IESR), estimasi emisi terkait energi dari UMKM mencapai 216 MtCO2 pada tahun 2023, atau setara dengan separuh emisi sektor industri nasional pada tahun 2022. Untuk itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong bagi pelaku UMKM untuk melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan  yang berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan, UMKM memiliki peran signifikan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Menurutnya, pengurangan emisi atau dekarbonisasi di seluruh rantai pasok pada sektor UMKM akan membuka peluang UMKM Indonesia bersaing di tingkat global.

“Studi kami menemukan bahwa 95 persen emisi dari UMKM ini berasal dari pembakaran energi fosil. Berkaca dari data tersebut, maka pemerintah perlu mulai mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam mendekarbonisasi UMKM. Pemerintah perlu pula mengusulkan strategi dan memberikan bantuan berupa finansial maupun asistensi teknis kepada UMKM agar mampu merencanakan dan mendorong investasi demi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK),” kata Fabby dalam sambutan webinar Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global.

Berkolaborasi dengan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), IESR merumuskan kajian yang menawarkan solusi dekarbonisasi UMKM, khususnya di Industri Kecil dan Menengah (IKM). IKM dipilih karena subsektor tersebut mengeluarkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan subsektor UKM lainnya. Selain itu, IKM  memiliki jumlah pekerja hingga 100 orang sehingga berpotensi menyediakan lapangan kerja bagi penduduk setempat. Hal ini dapat menjadi acuan untuk memastikan transisi yang adil, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Analisis IESR dan LBNL merekomendasikan pemutakhiran teknologi dan elektrifikasi untuk mendekarbonisasi IKM. Studi ini mengambil tiga contoh IKM dengan solusi dekarbonisasinya  Pertama, elektrifikasi untuk sektor tekstil dan pakaian. Kedua, sektor konstruksi yang perlu meningkatkan penggunaan semen rendah karbon, formulasi beton yang inovatif serta mengusulkan peralatan ramah lingkungan kepada pemilik bangunan. Ketiga, sektor industri penyamakan kulit untuk mendorong penetrasi energi terbarukan variabel  (variable renewable energy, VRE), seperti panel surya dan turbin angin domestik.

Analis Data Energi, IESR, Abyan Hilmy Yafi mengatakan, melalui strategi awal dengan dekarbonisasi IKM, beberapa manfaat ekonomi akan didapatkan seperti penciptaan peluang bisnis baru, peningkatan nilai merek, dan menarik kepercayaan pelanggan. Tidak hanya itu, dekarbonisasi juga akan meningkatkan proses produksi, profitabilitas, dan daya saing seiring mengurangi risiko perubahan iklim dan memastikan dampak positif terhadap lingkungan.

“UMKM perlu mendapatkan lebih banyak pendampingan karena banyak pelaku UMKM yang tidak mengetahui tentang energi, satuannya dan bagaimana cara melakukan efisiensinya. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, UMKM dapat menjadi agen perubahan yang mendorong transisi menuju perekonomian yang bersih dan berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik bagi semua,” ucap Abyan. 

Ketua Tim Program Pengembangan Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, Achmad Taufik mengatakan, pihaknya tengah mengusahakan pendanaan/investasi hijau bagi IKM baik dari bank, swasta maupun internasional. Selain itu, pihaknya tengah mendalami beberapa model dan menyusun kajian untuk penguatan penyedia jasa industri hijau. 

“Untuk industri kecil dan menengah dalam upaya untuk dalam bertransformasi menuju industri hijau, kita akan membantu terkait training dan peningkatan kapasitas, akses terhadap teknologi hijau, akses terhadap pasar ataupun menciptakan pasar baru,” ucap Achmad. 

Menyoroti peluang dekarbonisasi di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Peneliti Kebijakan Energi dan Lingkungan, LBNL, Bo Shen menyatakan, penerapan efisiensi energi menjadi daya tarik bagi pasar dalam memilih produk UKM. Ia mencontohkan. di  China, sertifikasi energi efisiensi bagi pelaku UKM menjadi dasar bagi perusahaan besar untuk mengambil produk UKM tersebut. Sementara belajar dari Amerika Serikat, sejumlah universitas membuat pusat penilaian industri yang didanai oleh pemerintah untuk mengetahui estimasi konsumsi energi dan emisi UKM. 

“Terdapat beberapa cara efektif untuk mendorong penghematan energi di UKM di Indonesia yang bisa diterapkan. Di antaranya, tersedianya sistem yang terstandarisasi dan transparan untuk melacak, menilai dan mengkomunikasikan kinerja energi UKM. Kedua, adanya skema evaluasi yang didukung pemerintah dalam peningkatan citra usaha. Ketiga, keberadaan target dekarbonisasi yang jelas bagi pemerintah, perusahaan multinasional dan UKM,” ujar Bo Shen. 

Catatan untuk Editor:

UMKM merupakan seluruh usaha/bisnis yang berukuran mikro, kecil dan menengah. 

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berarti tidak memasukkan usaha mikro.

Industri Kecil Menengah (IKM) merupakan usaha yang memiliki proses produksi/konversi barang mentah/setengah mentah ke barang jadi yang memiliki ukuran bisnis yang kecil hingga menengah.

Jenis mikro, kecil, menengahnya dapat dilihat dari modal/pendapatan/jumlah karyawan.

Kata Data | Koalisi Masyarakat Sipil: 3 Aturan Mundurkan Komitmen Transisi Energi

Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, draf RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035. Capaian ini tujuh hingga sepuluh tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Baca selengkapnya di Kata Data.

Air Berdaya Listrik di Desa Singapura

Palembang, 27 Februari 2024 Gemuruh arus Sungai Endikat yang mengalir deras dan cuaca mendung menyambut kedatangan rombongan Jelajah Energi Sumatera Selatan di muara Sungai Cawang, yang juga dikenal sebagai Muara Endikat, di Desa Singapura, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Wilayah ini tidak hanya menawarkan keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga menyimpan potensi besar dalam penyediaan energi listrik bagi penduduk setempat.

Dengan jarak sekitar 1 hingga 1,5 jam perjalanan dari Kota Pagar Alam, rombongan Jelajah Energi Sumatera Selatan tiba di PLTMH Green Lahat. Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) ini telah beroperasi sejak tahun 2015. PLTMH Green Lahat memiliki kapasitas produksi energi listrik sebesar 3×3,3 Megawatt (MW), yang berarti total kapasitasnya mencapai 9,9 MW. 

“Dari total energi yang dihasilkan, sebanyak 7 MW dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kota Pagar Alam, yang merupakan sekitar 70% dari total produksi. Sementara sisanya, sebesar 30%, didistribusikan ke Kabupaten Lahat,” ujar Plant Manager PLTMH Green Lahat, Kastiono. 

Bersebelahan dengan PLTMH Green Lahat, juga telah dibangun PLTMH Endikat (sama-sama di bawah perusahaan induk PT Manggala Gita Karya) dengan kapasitas 3 x 2,67 MW yang beroperasi pada 2022. Kedua produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) itu memanfaatkan aliran Sungai Endikat untuk menghasilkan energi listrik yang dijual ke PLN hingga nanti dimanfaatkan masyarakat.

Kastiono memaparkan, sebelum PLTMH dibangun, warga sekitar pembangkit, baik yang masuk wilayah Kota Pagaralam maupun Kabupaten Lahat, memang kerap mengalami penurunan tegangan listrik. Rendahnya kualitas kelistrikan itu dipengaruhi, antara lain, oleh lokasi yang terlalu jauh dari gardu induk sehingga tegangan listrik menjadi tak stabil. Lebih lanjut, Kastiono mengakui, produksi listrik dari PLTMH Green Lahat tergantung dari kondisi di sekitar hulu sungai. 

”Yang utama penghijauan di hulunya. Semua perlu kontrol serta tak ada pembalakan liar, tetapi kewenangan menjaga tutupan hutan pada daerah aliran sungai, kan, juga melibatkan instansi lain,” katanya.

Rizqi Mahfud Prasetyo, Koordinator Proyek Sub Nasional, Program Akses Energi Berkelanjutan,IESR menjelaskan menurut kajian IESR, Indonesia memiliki potensi PLTM/MH mencapai 27,8 GW, di mana sebesar 287,7 MW terdapat di Sumatera Selatan. 

“Selain dapat meningkatkan bauran energi terbarukan pada listrik PLN. PLTM dapat meningkatkan kualitas akses energi masyarakat yang mungkin belum terjangkau oleh jaringan PLN,” ujar Rizqi.

Rizqi juga menambahkan bahwa kondisi geografi dan topografi sebagian wilayah Indonesia yang berkontur memungkinkan adanya aliran sungai dan terjunan sungai. Aliran sungai memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, salah satunya di PLTM Green Lahat yang memanfaatkan aliran sungai Endikat.

Keberadaan PLTMH Green Lahat dan PLTMH Endikat membawa harapan bagi pemukiman di Sumatera Selatan, tidak hanya dalam penyediaan energi listrik yang andal, tetapi juga dalam memperkuat infrastruktur dan perekonomian lokal. Dengan berjalannya waktu, diharapkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini dapat terus memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.