Energi Surya Perkuat Transformasi Kawasan Industri 

Jakarta, 11 September 2025 – Indonesia tengah mempercepat langkah menuju dekarbonisasi industri, salah satunya melalui pemanfaatan energi surya. Transformasi ini tidak hanya menjadi bagian dari agenda transisi energi nasional, tetapi juga strategi untuk meningkatkan daya saing industri di tengah tuntutan global terhadap praktik ramah lingkungan. 

Winardi, Direktorat Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian menyatakan hingga saat ini, terdapat sekitar 171 kawasan industri yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, Jawa Barat menjadi wilayah dengan kawasan industri terbanyak, yakni sekitar 56 kawasan. Keberadaan kawasan industri ini menjadi tulang punggung aktivitas manufaktur, sekaligus peluang besar untuk menerapkan solusi energi bersih. 

“Salah satu langkah nyata penerapan energi terbarukan di kawasan industri terlihat dari proyek panel surya di Kawasan Industri Batamindo. Proyek ini merupakan bagian dari Global Eco-Industrial Parks Programme (GEIPP) Indonesia, dengan kapasitas pilot project 472 kWp. Pembangkit listrik tenaga surya ini mulai beroperasi secara komersial pada 1 April 2025, menjadi contoh konkret bahwa industri dapat menggunakan energi bersih untuk menekan emisi karbon sekaligus menekan biaya energi dalam jangka panjang,” tegas Winardi dalam Sesi Green Industry Powered by the Sun di Indonesia Solar Summit 2025 yang diselenggarakan pada Kamis (11/9) oleh Institute for Essential Services Reform (IESR). 

Selain Batamindo, Kawasan Industri Jababeka di Cikarang juga telah menunjukkan komitmennya untuk menjadi kawasan berbasis energi terbarukan. Vega Violetta Puspa, Direktur Operasional dan Keberlanjutan, PT Jababeka Infrastruktur menuturkan sampai saat ini, sudah terdapat 13 perusahaan di Jababeka yang mengimplementasikan PLTS dengan total kapasitas 9,1 MWp. Angka ini menunjukkan langkah konkret kawasan industri dalam mengurangi emisi karbon sekaligus meningkatkan efisiensi energi. 

“Dari sisi jenis perusahaan, mayoritas yang mengimplementasikan PLTS adalah perseroan tertutup (non-Tbk, Terbuka/publik), yaitu 9 perusahaan, sementara hanya 4 perusahaan Tbk yang sudah menerapkan teknologi ini. Artinya, adopsi energi surya tidak hanya terbatas pada perusahaan publik besar, tetapi juga diikuti oleh perusahaan non-publik dengan kesadaran yang sama,” papar Vega.  

Farid Wijaya, Analis Senior, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan PLTS bisa menjadi objek strategis pembangkit energi terbarukan (ET) yang dapat langsung dimanfaatkan oleh industri. Teknologi ini fleksibel karena bisa dipasang di berbagai lokasi tanpa harus menunggu pembangunan infrastruktur besar. Namun, di sisi lain, perusahaan menghadapi keterbatasan. Misalnya, saat sistem PLTS off-grid digunakan, ada kebutuhan investasi tambahan pada sistem penyimpanan energi (baterai) yang masih relatif mahal. Hal ini membuat sebagian perusahaan menunda pengembangan karena tingginya biaya awal 

“Kebutuhan investasi pembangunan PLTS bergantung pada sejumlah faktor, seperti capital cost, penggunaan lahan, hingga kapasitas yang dibangun. Namun, pemanfaatan PLTS tidak selalu memerlukan lahan yang luas. Industri bisa memaksimalkan ruang yang ada, misalnya dengan memasang panel surya di atas atap bangunan, area parkir, bahkan pagar kawasan industri,” papar Farid. 

Di lain sisi, Nur Pamudji, Pembina Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan selain energi surya, potensi energi terbarukan lain seperti minihidro juga cukup besar, terutama di wilayah selatan Pulau Jawa. Namun, pengembangannya masih menghadapi tantangan karena biaya investasi yang relatif tinggi, bahkan bisa mencapai dua digit.  

“Untuk mengatasi hal ini, kawasan industri dapat melakukan skema swap, yaitu pemilik kawasan industri berkontrak untuk membangun pembangkit minihidro di daerah lain misalnya di selatan Jawa, sementara hasil energinya dialokasikan sebagai bagian dari bauran energi hijau untuk kawasan industri tersebut. Agar mekanisme ini berjalan, diperlukan peran aktif pemerintah dalam mendorong regulasi dan insentif swap antar wilayah,” kata Pamudji.  

Sementara itu, Stevanus Wisnu Wijaya, Peneliti, Tenggara Strategics menyoroti pertumbuhan kebutuhan energi di Indonesia semakin pesat seiring dengan berkembangnya digitalisasi dan meningkatnya penggunaan data center. Pusat data kini menjadi tulang punggung berbagai layanan digital, mulai dari pelayanan publik, transportasi seperti bandara, hingga aktivitas bisnis sehari-hari. Untuk itu, pengelolaan pusat data yang efisien energi, ramah lingkungan, serta terintegrasi dengan sumber energi terbarukan (green data center).

energi surya, industri hijau, dekarbonisasi, kawasan industri, PLTS, transformasi energi, IESR, Batamindo, Jababeka, efisiensi energi, emisi karbon, energi terbarukan, Indonesia Solar Summit, GEIPP, green data center.

Share on :

Leave a comment