JAKARTA, KOMPAS — Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara anggota G-20 dalam pengembangan energi terbarukan. Hal itu dilihat dari rendahnya daya tarik investasi karbon, kualitas kerangka regulasi yang berada di bawah negara lain, pendanaan, dan upaya dekarbonisasi.
Hal itu terungkap dalam peluncuran laporan dan diskusi panel “Brown to Green Report 2017”, di Jakarta, Selasa (4/7). Laporan itu diterbitkan konsorsium Climate Transparency yang terdiri atas lembaga dan ahli dari beberapa negara G-20, yakni Australia, Argentina, Brasil, China, India, Perancis, Jerman, Indonesia, Meksiko, Afrika Selatan, dan Inggris. Beberapa lembaga di dalamnya, antara lain Institute for Essential Services Reform (IESR), Climate Action Tracker (CAT), Climate Change Performance Index (CCPI), HumboldtViadrina, New Climate Institute, Germanwatch, dan Overseas Development Institute (ODI) yang bergabung dalam Global Climate Transparency, “Pesan utama laporan ini adalah negara-negara G-20 telah melakukan dekarbonisasi, tetapi tidak cukup cepat untuk mencapai target Kesepakatan Paris,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.
Emisi gas rumah kaca (GRK) di negara G-20 secara total meningkat 34 persen pada 1990- 2014 dan pertumbuhan ekonomi 117 persen. “Sehingga intensitas emisi lebih rendah. Ini kemajuan yang cukup baik,” kata Fabby. Dia menuturkan, G-20 menghasilkan 75 persen emisi global, 82 persen di antaranya terkait energi.
“Laporan ini menjadi permulaan untuk mendorong pemerintah membuat kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan,” tambahnya.
Emisi Indonesia tertinggi
Berdasarkan data yang dihimpun IESR, pada 1990-2015 Indonesia adalah anggota G-20 dengan emisi GRK tertinggi, yaitu mencapai 1.000 megaton setara CO2 (MtCO2). Yang memengaruhi adalah emisi dari energi, limbah, industri dan aktivitas pendukungnya, kehutanan, dan lainnya.
Dalam lima tahun terakhir, tambah Fabby, Indonesia menggunakan bahan bakar fosil, khususnya minyak dan batubara dalam jumlah besar. Hal itu berbanding terbalik dengan negara anggota G-20 lainnya yang mulai menggunakan energi terbarukan sehingga emisi mereka rendah.
“Untuk emisi GRK, trennya meningkat. Ini harus menjadi catatan karena sesuai dengan Kesepakatan Paris, minimal harus stabil sampai 2030,” tambahnya.
Daya tarik investasi untuk energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia saat ini tidak baik. Sejak Oktober 2016, Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 40 negara dalam daftar Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI). “Tahun ini investasinya turun menjadi Rp 30-Rp 40 miliar padahal sebelumnya bisa miliaran dollar. Investasi paling tinggi justru batubara dalam lima tahun terakhir, jadi emisinya tidak turun,” kata Fabby.
Soal pendanaan, dia mengatakan, sejak 2015 subsidi bahan bakar minyak di Indonesia semakin berkurang. “Akan tetapi, pada saat bersamaan subsidi untuk energi terbarukan juga berkurang,” katanya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menuturkan, kondisi investasi EBT memang perlu disempurnakan. “Kami bekerja untuk itu,” ujarnya.
Dia mengatakan, “Terkait subsidi EBT, sebetulnya setiap tahun meningkat. Tahun 2015, subsidi biofuel Rp 9,5 triliun dan tahun 2016 hampir Rp 10 triliun-Rp 11 triliun.
Tahun ini kelihatannya akan di angka itu juga,” ujarnya.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Nur Masripatin mengatakan, pihaknya tengah berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk bisa menggunakan dana-dana kerja sama dengan negara lain. Pasalnya, pengguna anggaran bukan hanya pemerintah dalam hal ini kementerian.
Sementara itu, Jalal berharap pada tahun 2019 Indonesia memiliki kebijakan yang sudah pasti. “Sehingga tahun 2020 kita tidak ketinggalan.” Kesepakatan Paris mulai berlaku tahun 2020.
Sumber: Kompas.com.