Jakarta, 24 April 2025 – Di tengah tantangan geografis dan keterbatasan jaringan listrik di beberapa wilayah yang sulit dijangkau, berbagai negara di dunia telah merancang pendekatan yang mengutamakan partisipasi masyarakat dan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat seperti energi surya, hidro mikro, dan biomassa. Melalui pendekatan partisipatif dan berkelanjutan melalui desentralisasi energi maka dapat memberikan peluang ekonomi, sosial, dan pendidikan yang sebelumnya sulit dijangkau oleh masyarakat terpencil.
Salah satu pendekatan yang menginspirasi datang dari Goparity, sebuah platform urun dana (crowdlending) asal Eropa yang telah mendanai lebih dari 400 proyek di 19 negara.
Nuno Brito Jorge, pendiri dan CEO Goparity menjelaskan, pihaknya aktif mengajak masyarakat luas untuk melakukan divestasi dari industri merusak dan mengalihkan investasi mereka ke proyek-proyek berkelanjutan. Misalnya saja dalam proyek solaris, mereka mengajak warga kota besar seperti Barcelona untuk turut serta berinvestasi dalam pembangkit listrik tenaga surya. Inisiatif ini menciptakan rasa kepemilikan bersama terhadap transisi energi.
“Tidak hanya itu, ada juga proyek komunitas surya di mana kami turut berperan mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 4 MW.Proyek ini memungkinkan masyarakat untuk membeli listrik langsung dari produsen dengan biaya mendekati nol, serta mendapatkan keuntungan finansial dari investasi mereka. Dengan berbagai proyek ini menjadi bukti bahwa transisi energi tidak hanya milik korporasi besar, tetapi juga bisa digerakkan oleh komunitas global melalui pendekatan kolaboratif dan inklusif,” tegas Nuno.
Ira Palupi, Senior Project Officer (Infrastruktur), Kantor perwakilan ADB di Indonesia menjelaskan, pihaknya melalui program pinjaman berbasis hasil (Result-Based Lending, RBL) mendukung PLN untuk meningkatkan kapasitas pembangkit energi skala kecil berbasis surya (PLTS), mikrohidro, dan biogas. Hingga tahun 2024, tercatat ada 184 proyek pembangkit off-grid yang termasuk dalam program ini, dengan tambahan 5 proyek PLTS baru dalam tahun berjalan. Namun, keterbatasan pembiayaan, ketiadaan dana APBN dalam dua tahun terakhir, serta tantangan geografis dan logistik, termasuk dampak pandemi COVID-19, menjadi hambatan signifikan dalam implementasi proyek-proyek ini.
“Untuk mengatasi hambatan tersebut, mekanisme pembiayaan inovatif diterapkan. Di antaranya adalah Disbursement-Linked Indicators (DLI), di mana PLN hanya dapat menerima pinjaman dan hibah jika target produksi listrik tertentu telah dicapai. ADB juga menjalankan skema lain seperti pembiayaan campuran (blended finance) dan kemitraan pemerintah dan swasta (Public-Private Partnership, PPP) dalam mendukung program Energi Terbarukan Indonesia Timur, termasuk dana hibah dari pemerintah Kanada untuk mendorong partisipasi sektor swasta,” jelas Ira.
Natharoun Ngo Son, Direktur EnergyLab Asia menyatakan, Provinsi Ratanakiri, yang terletak di wilayah barat laut Kamboja, dihuni oleh banyak komunitas adat yang terpinggirkan dari pembangunan, terutama akibat lokasi mereka yang sangat terpencil. Salah satu tantangan utama yang dihadapi wilayah ini adalah akses terhadap listrik. Sebagian besar desa tidak terhubung ke jaringan listrik nasional, dan perpanjangan jaringan dinilai tidak layak secara ekonomi maupun logistik, bahkan hingga hari ini.
“Salah satu inisiatif penting adalah pembangunan sistem mini-grid berbasis tenaga surya di Desa Pa Tang, yang dihuni kurang dari 400 warga. Proyek ini hadir menjawab berbagai permasalahan, seperti tidak adanya akses listrik, rendahnya tingkat literasi, keterbatasan daya beli, dan ketergantungan pada kayu bakar untuk kebutuhan memasak. Semua ini berdampak pada sulitnya penyediaan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan informasi, yang berisiko memperpanjang siklus kemiskinan dan keterpinggiran sosial,” kata Son.
Son menilai, studi kasus ini menjadi contoh konkret bagaimana energi terdesentralisasi dapat menjangkau lapisan masyarakat paling akhir (last-mile) dan memberikan dampak sosial yang signifikan. Di level nasional, dari hanya 23% rumah tangga yang teraliri listrik pada 2010 menjadi lebih dari 95% pada 2024 di Kamboja. Namun, sekitar 120 desa masih belum terhubung, menandakan masih adanya kesenjangan kritis dalam mencapai akses listrik.
Julio Retana, Ketua Tim Proyek MENTARI (Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia) Inggris mengatakan, salah satu pelajaran penting datang dari program Mentari, bahwa kemampuan masyarakat untuk membayar tagihan listrik saja tidak menjamin keberlanjutan. Risiko gagal bayar sangat tinggi, dan tanpa strategi ekonomi yang kuat, sistem kelistrikan desa bisa mati perlahan. Maka, pihaknya berinvestasi pada “productive use of energy”—memastikan bahwa energi digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif, bukan sekadar penerangan rumah.
“Contohnya pembangunan area kerja (workstation) untuk pengolahan hasil panen, di mana petani desa bisa menjual dengan harga lebih baik melalui agregasi, negosiasi, dan koordinasi logistik. Hasil keuntungannya dibagi dengan koperasi atau pemerintahan desa, dan sebagian digunakan untuk membiayai perawatan sistem listrik. Bahkan ketika unit listrik desa tidak menghasilkan cukup untuk biaya operasional dan pengawasan, agribisnis desa masuk untuk menutup kekurangan biaya tersebut,” ujar Julio.
Aang Darmawan, Penasihat Senior Bidang Energi, United Nations Development Programme Indonesia menuturkan beberapa pelajaran penting dari proyek ACCESS di Indonesia yang berfokus menyediakan energi bersih dan terjangkau di wilayah terpencil. Pertama, keterlibatan pemerintah sangat penting untuk memastikan proyek sejalan dengan agenda nasional dan mendukung keberlanjutan program. Kedua, pendidikan teknologi bagi masyarakat menjadi krusial agar mereka tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga mampu mengelola dan memelihara sistem energi secara mandiri. Ketiga, meyakinkan pemimpin lokal tentang manfaat listrik sangat berperan dalam membangun dukungan komunitas. Tak hanya manfaatnya, risiko dan konsekuensi dari hadirnya listrik juga perlu dikomunikasikan, termasuk potensi keterlibatan perempuan dan remaja perempuan sebagai operator dan pelaku perubahan di desa mereka.
“Keberlanjutan dan kesinambungan energi desa sangat bergantung pada peran “local champions”—tokoh-tokoh setempat yang dipercaya dan mampu menjadi penggerak dalam implementasi serta pemeliharaan sistem energi. Energi bukan sekadar cahaya, tetapi fondasi menuju kehidupan yang lebih adil dan berdaya,” paparnya.
Marc Schmidt, Managing Director dan Partner, Boston Consulting Group Singapura menegaskan, dalam upaya mendorong transisi energi yang adil dan berkelanjutan, pihaknya bersama Asia Venture Philanthropy Network (AVPN) memulai sebuah inisiatif penting yakni mendesain ulang pendekatan transisi energi agar lebih berpusat pada manusia. Meskipun infrastruktur tetap menjadi tulang punggung utama dari upaya transisi energi, data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari investasi yang dialokasikan untuk inisiatif yang secara langsung menyentuh kehidupan masyarakat, pekerja, dan komunitas lokal.
Mark menggarisbawahi, terdapat tiga level aksi untuk mendorong transisi energi berdasarkan analisis kami. Pertama, integrasi aspek sosial dalam peta jalan dan kebijakan nasional sejak tahap perencanaan awal. Kedua, merancang intervensi spesifik untuk tiap kelompok terdampak, agar tidak sekadar menjadi pemikiran belakangan. Ketiga, membangun dukungan finansial melalui blended finance, memperkuat narasi publik, serta mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan,.