ESDM: Aturan PLTS Atap Surya untuk mendorong bisnis dan industri panel surya

Foto udara panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu (21/11/2018). PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) menargetkan PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat berkapasitas 200 megawatt (MW) dan bakal menjadi yang terbesar di dunia ini akan beroperasi bertahap mulai kuartal I 2019. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 49 tahun 2018 tentang penggunaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh konsumen Perusahaan Listrik Negara (PLN). Harapannya dengan aturan ini bisnis dan industri panel suraya bisa berkembang.

Mengenai hal ini, saat dikonfirmasi, pihak dari PLN dan pemerintah belum mau banyak berkomentar. Hanya saja, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Perusahaan Listrik Negara (PLN) Djoko Rahardjo Abumanan menyebutkan, pada Rabu (28/11) nanti, aka ada launching dan sosiasilisasi mengenai Permen PLTS Atap untuk consume PLN ini. “Biar tidak salah persepsi, Rabu anti ada sosialisasi,” kata Djoko, ke Kontan.co.id, Senin (26/11).

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengklaim bahwa Permen ini sudah cukup akomodatif untuk meningkatkan pangsa pasar energi terbarukan. “Itu untuk mendorong bisnis dan industri panel surya,” ungkapnya.

Hanya saja Harris menekankan bahwa kapasitas PLTS atap yang boleh dipasang maksimal 100% dari kapasitas langganan PLN. Sehingga, mayoritas produksi PLTS atap akan terserap untuk pemakaian sendiri, dan hanya sebagian kecil excess power yang akan diekspor ke jaringan PLN. “Jadi perlu dilihat secara keseluruhan konten, kita bahas (Permen) ini melibatkan stakeholder terkait,” tandasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan, aturan dalam Permen tersebut membuat investasi pada jenis pembangkit enegi terbarukan ini bisa menjadi tidak menarik.

Sebab, tingkat pengembalian investasinya menjadi lebih lama dari hitungan ideal, berdasarkan nilai kilowatt-hour (kWh) Ekspor atau jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi Pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan PLN.

Pasal 6 di Permen ini menyebutkan bahwa energi listrik Pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65% . Dengan perhitungan ini, Fabby menilai tingkat pengembalian investasi untuk pemasangan panel surya akan menjadi 11-12 tahun.

Padahal, dengan perhitungan tarif ekspor 100% atau 1:1 yang berarti tarif listrik yang dijual ke sambungan PLN sama dengan tarif yang dibeli dari sambungan PLN, pengembalian investasi akan memakan waktu sekitar delapan tahun. Adapun, biaya investasi pemasangan panel surya atap saat ini memang masih belum terjangkau, yakni senilai Rp. 14-15 juta per kilowatt peak (kWp)

“Sekarang dipotong hanya 65%. Jadi justru Permen ini memberikan disinsentif bagi rumah tangga untuk memasang panel surya karena pengambalian investasi bukan lebih cepat, malah lambat,” ujar Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa menurut riset pasar yang telah dilakukannya, ada paling tidak 4-4,5 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang akan memasang PLTS Atap. Syaratnya, pertama, ada potensi penghematan listrik lebih besar dari 30%, dan kedua, biaya investasinya harus kembali di bawah tujuh tahun. “Itu hasil market survey kami, hanya di Jawa saja, luar Jawa belum kami lakukan,” kata Fabby.

Dalam perhitungannya, tambahan pengguna 4-4,5 rumah tangga itu setara dengan 15-17 gigaWatt peak. Hal ini, lanjut Fabby, akan bisa membantu pemerintah untuk mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.

Sebab, di dalam target bauran 23% itu, ada target listrik dari PLTS, baik yang dibangun di atas tanah maupun atap, sebesar 6,5 GigaWatt. Artinya, dengan adanya potensi penambahan 15-17 gigaWatt, itu bisa melebihi hampir tiga kali dari target.

Namun, potensi itu bisa hilang, karena menurut Fabby, Permen yang ada saat ini dibuat lebih fokus untuk melindungi PLN. Padahal, imbuhnya, PLN tidak seharusnya khawatir karena pengembangan PLTS Atap tidak akan merugikan perusahaan listrik plat merah ini.

“Sekarang itu total listrik surya sekiatr 80 megaWatt (MW), kalau dihitung listrik atap paling hanya sekitar 30 MW, seluruh Indonesia. Masih kecil, tidak signifikan,” jelasnya.

Bahkan, Fabby memaparkan, jika saja pada tahun 2020 ada tambahan kapasitas listrik surya menjadi 1 GW, pendapatan (revenue) PLN hanya akan berkurang di bawah 4%. Namun, penambahan sebesar 1 GW itu justru bisa menguntungkan PLN.

“PLN malah untung, karena losses di tegangan rendah yang didistribusikan itu berkurang, karena ada pembangkit-pembangkit surya yang mempertahankan tegangan listrik PLN, sehingga PLN bisa memaksimalkan penjualan energinya,” terang Fabby.

Selain itu, jika PLTS Atap lebih bertambah, maka biaya investasinya pun akan semakin murah, sehingga harga panel surya untuk pembangunan PLTS pun bisa semakin menurun. Alhasil, PLN bisa mengurangi konsumsi bahan bakar gas atau diesel dengan substitusi menggunakan panel surya. “Keinginan kita, pemerintah dorong agar ada akselerasi, jadi pasarnya terbuka, lebih banyak PLTS surya, ujung-ujungnya PLN untung,” kaat Fabby.

Sumber: kontan.co.id.

Share on :