JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menurunkan tarif listrik bagi golongan pelanggan industri pada pukul 23.00-07.00 untuk mengalihkan beban daya waktu beban puncak dinilai tidak efektif. Oleh karena, peningkatan daya pada beban puncak justru didominasi pada kelompok pelanggan rumah tangga dan bisnis dan tidak semua industri memiliki tingkat konsumsi listrik tinggi.
“Penerapan kebijakan pengalihan beban daya dari beban puncak ke luar waktu beban puncak ini kurang efektif,” kata pengamat kelistrikan, Fabby Tumiwa, saat dihubungi, Senin (28/2/2011), di Jakarta.
Menurut Fabby, PLN seharusnya tidak boleh menetapkan tarif sendiri, baik menaikkan maupun menurunkan tarif listrik. Oleh karena, penetapan tarif merupakan urusan regulasi. “Ini seperti kebijakan daya maksimum yang dipermasalahkan karena tidak sesuai aturan perundang-undangan. Lebih tepat jika PLN memberi diskon,” kata dia.
Dilihat dari tujuannya, lanjut Fabby, kebijakan ini bisa diterima. Sebab, kebijakan ini bisa mendorong ke arah pengalihan beban daya dari waktu beban puncak ke luar waktu beban puncak. Dalam arti, kalau PLN bisa mengurangi beban saat waktu beban puncak, perseroan bisa mengurangi konsumsi BBM dan mengoptimalkan permintaan di luar waktu beban puncak.
Namun Fabby masih mempertanyakan efektivitas implementasi kebijakan ini. Oleh karena sebenarnya peningkatan permintaan daya saat beban puncak justru didominasi kelompok pelanggan rumah tangga dan bisnis. Jadi, insentif tarif pada malam hari itu diperkirakan hanya akan mengalihkan beban daya sekitar 500-600 Mega Watt.
Selain itu tidak semua industri beroperasi 24 jam sehari dan tingkat konsumsi listrik tinggi atau di atas 10 persen dari komponen produksi. Beberapa jenis industri yang beroperasi 24 jam sehari adalah industri tekstil, baja dan industri petrokimia. Padahal jumlah pelanggan industri ini diperkirakan hanya sekitar 25 persen dari total pelanggan industri.
“Bagi industri-industri yang tidak beroperasi 24 jam atau jam beroperasinya tidak sampai dua atau tiga shift, kebijakan pengurangan tarif pada jam 23.00-07.00 itu tidak terlalu menguntungkan. Kalau pindah waktu produksi, perusahaan malah harus merekrut orang lagi dan itu tidak efisien bagi manajemen,” ujarnya.
Jika hendak menikmati insentif tarif itu, lanjut Fabby, pelanggan industri bisa saja menurunkan kapasitas produksinya pada waktu beban puncak. Kemudian dikompensasikan ke tengah malam atau pukul 23.00-07.00 dengan menambah pemakaian mesin untuk meningkatkan kapasitas produksinya agar mendapat insentif tarif itu.
Fabby menilai, rencana kebijakan ini dirumuskan PLN lantaran perseroan itu memiliki masalah dalam penyediaan pasokan daya waktu beban puncak karena kehandalan pembangkitan tidak optimal. “Jadi, selain mengatasi persoalan tingginya konsumsi BBM pada pembangkitan, insentif itu bertujuan agar pembangkit-pembangkit itu bisa dikoordinasi dengan baik,” katanya.
Pemberian insentif itu juga dinilai sebagai strategi PLN untuk mengurangi tekanan industri yang terkena dampak penghapusan kebijakan pembatasan kenaikan tarif listrik 18 persen. Sebab, sebagian industri yang beroperasi 24 jam dan memiliki tingkat konsumsi listrik tinggi juga merupakan industri yang terkena dampak pembatasan itu antara lain industri tekstil dan baja.
Evy Rachmawati
sumber: www.kompas.com.