JAKARTA, KOMPAS — Kelambanan dalam pengembangan panas bumi tidak semata karena rendahnya harga beli listrik, tetapi juga terkait masalah akses lahan, kelemahan tender, dan kapasitas pengembang yang mendapat wilayah kerja.Pemerintah harus serius mengatasi kendala ini.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Rabu (25/7), di Jakarta, kelambanan pengembangan panas bumi bukan hanya karena rendahnya harga beli listrik dari pembangkit tenaga panas bumi.
Fabby menjelaskan, kelambanan pengembangan panas bumi juga terkait masalah akses lahan, kelemahan tender, infrastruktur, penolakan masyarakat, serta kualitas investor dan pengembangnya yang mendapat wilayah kerja panas bumi.
“Untuk itu pemerintah harus mampu menyelesaikan beberapa persoalan ini dan tidak hanya terjebak pada solusi pemberian tarif yang lebih tinggi,” kata dia.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kardaya Wamika sebelumnya menyatakan, pengembangan panas bumi terkendala rendahnya harga beli listrik dari pembangkit panas bumi. Untuk itu, pemerintah akan menaikkan harga listrik dari panas bumi menjadi 10-17 sen dollar AS per kWh. Sebelumnya harga patokan listrik dari panas bumi 9,7 sen dollar AS per kWh.
Substitusi BBM
Menurut Fabby, pemerintah semestinya menetapkan harga listrik (feed in tariff) panas bumi di Luar Pulau Jawa dan Sumatera untuk mendorong diversifikasi energi primer dan meningkatkan keandalan pasokan. Masuknya panas bumi bisa menggantikan pembangkit BBM sehingga subsidi BBM bisa disubstitusikan untuk pembangkit panas bumi.
“Dengan tarif lama, pengembang panas bumi di Jawa dan Sumatera sudah untung, tetapi merugikan bagi pengembang panas bumi di luar Jawa dan Sumatera,” ujarnya.
Dengan asumsi pembangkit listrik berbasis BBM tidak berkurang, maka beban subsidi listrik akan naik, kecuali penambahan pembangkit panas bumi bisa mengurangi operasi pembangkit BBM. Dalam konteks saat ini, pembangkit panas bumi sifatnya menambah pasokan, jadi bukan menggantikan pembangkit listrik berbasis BBM.
“Karena itu, pemerintah harus menghitung besaran subsidi yang harus dibayarkan. Jadi harga listrik panas bumi tidak menjadi tanggungan PLN,” ujarnya.
Dari sisi operasi, pembangkit panas bumi akan beroperasi pada saat beban dasar, dan bukan memikul beban puncak sehingga pengoperasiannya berbarengan dengan PLTU batubara. Tetapi secara keekonomian, pembangkit panas bumi tidak bisa dibandingkan dengan PLTU. “Dengan masuknya pembangkit panas bumi yang lebih mahal, biaya pembangkitan rata-rata menjadi lebih tinggi,” kata dia.
Di tempat terpisah, Direktur Konstruksi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Nasri Sebayang menyatakan, PLN siap melaksanakan listrik dari pembangkit panas bumi sesuai kebijakan pemerintah, baik harga pasar, negosiasi bisnis, dan penetapan tarif listrik. Jika memakai kebijakan penetapan tarif listrik, maka harus ada payung hukum terkait mekanisme dan dampak subsidi dengan melibatkan Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan.
Khusus untuk penetapan tarif listrik panas bumi, PLN mendukung konsep “value based type” penetapan tarif listrik. Konsep ini mengacu pada pembangkit alternatif pemasok beban dasar yaitu PLTU batubara, pembangkit listrik tenaga air,dan pembangkit diesel. Hal ini dengan membedakan beberapa kelas atau kelompok berdasarkan struktur lokasi, mutu cadangan, skala atau kapasitas proyek,dan tipe teknologi.
Energi panas bumi di Indonesia mempunyai potensi 29.038 MW atau setam 1,1 juta barrel minyak per hari (sekitar 40 persen dari potensi dunia). Wilayah Indonesia yang terletak di lajur sabuk gunung aktif memiliki potensi panas bumi yang besar, tersebar di sepanjang jalur Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Halmahera. Namun, hingga kini baru dimanfaatkan 1.196 MW atau sekitar 4,1 persen dari total potensi. (EVY)