Belajarlah dari Jerman yang melakukan transisi energi sebagai proyek lintas generasi
Acara Millennials Talk: Energy Transition in A Nutshell ini juga dimeriahkan oleh kehadiran Mentari Pujantoro dari Agora Energiewende, sebuah organisasi yang serupa dengan IESR, yang menceritakan bagaimana Jerman bisa menjadi salah satu negara terdepan dalam hal transisi energi. Mentari bergabung bersama Agora setelah menyelesaikan studi pascasarjana manajemen sumberdaya berkelanjutan di Technische Universität München.
Jerman merupakan salah satu negara di dunia yang dinilai berhasil dalam melakukan transisi energi. Pada tahun 2018, listrik dari energi terbarukan mencapai rekor baru yang mencakup 35% dari total pembangkit listrik, dan disaat yang bersamaan, batu bara mencapai titik terendah (25% dari total pembangkit listrik) dalam sejarah sejak 1949. Bauran listrik tersebut dihasilkan dari 120 GW pembangkit listrik yang sebagian besar berasal dari energi angin (64 GW) dan energi surya (49 GW).
Keberhasilan ini merupakan buah dari strategi jangka panjang dan lintas generasi yang dipersiapkan secara serius dalam mentransformasikan sistem energi menuju sistem yang lebih bersih, handal, berkelanjutan, efisien, serta selaras dengan tujuan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Adapun empat faktor pendorong utama terjadinya transisi energi ini adalah:
- Penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk memenuhi komitmen penurunan emisi GRK negaranya maupun kontribusinya ditingkat global.
- Penghapusan secara bertahap pembangkit-pembangkit nuklir pasca bencana Chernobyl (1986) dan Fukushima (2011).
- Peningkatan ketahanan energi melalui pengurangan impor energi fosil.
- Menjaga daya saing dan pertumbuhan sektor industri.
Mentari berpesan, pengalaman Jerman ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia yang saat ini masih berada dalam tahap awal untuk mentransformasikan sistem energinya menuju sistem yang rendah emisi karbon berbasis energi terbarukan.
Sudah saatnya Indonesia mentransformasikan sistem energinya melalui energi terbarukan
Indonesia, sebagai negara kepulauan dan memiliki sumber energi terbarukan yang berlimpah, sudah sepatutnya dan sesegera mungkin untuk beralih menggunakan energi bersih dan berkelanjutan. Hal itu diungkapkan oleh Agus Praditya Tampubolon, salah satu peneliti di IESR saat berdiskusi dengan generasi milenial yang hadir. Agus menambahkan, untuk mencapai target bauran energi yang sudah ditetapkan pemerintah, kerangka regulasi dan insentif yang saat ini lebih mendukung energi fosil harus diprioritasi ulang untuk memajukan pembangunan energi terbarukan di tanah air.
Dalam konteks Indonesia, konsep transisi energi yang diusung pemerintah yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dirasa masih belum secara tegas mentransformasikan sistem energi nasional menuju sistem yang rendah emisi karbon. Mengapa? Karena kebijakan energi tersebut masih berfokus kepada pemanfaatan energi fosil dengan mengandalkan batu bara sebagai andalan pasokan energi nasional, mengoptimalkan penggunaan gas bumi, dan meminimalkan penggunaan minyak bumi. Secara target, pemerintah telah menyasar bauran energi terbarukan di energi primer sebesar 23% di tahun 2025 dan meningkat 8% menjadi 31% di tahun 2050.
Berdasarkan realisasi capaian pembangkit energi terbarukan hingga Januari 2019 total kapasitas pembangkit terbarukan yang sudah terbangun adalah sebesar 9,3 GW. Hal ini mengindikasikan bahwa pencapaian target 45,2 GW di tahun 2025, baru mencapai 20,6%, atau masih ada 35,9 GW pembangkit energi terbarukan tambahan yang harus dibangun dalam kurang lebih 5,5 tahun kedepan. Sehingga setidaknya harus ada penambahan kapasitas terpasang pembangkit terbarukan sebesar 6,5 GW setiap tahunnya untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
Transisi energi di Indonesia menjadi penting untuk:
- Memastikan ketahanan energi jangka panjang
- Memenuhi target perubahan iklim
- Mengantisipasi terjadinya potensi aset yang terdampar (stranded asset) dari pembangkit fosil
- Mengukur dan mengelola potensi pengurangan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) dari sumber-sumber energi fosil di tingkat nasional dan daerah.
Untuk itu, transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia perlu disiapkan dengan baik.
Agus mengingatkan tiga hal yang harus dilakukan dalam mewujudkan transisi energi di Indonesia, diantaranya: (1) Meningkatkan kesadaran publik; (2) Menggerakkan agenda politik untuk fokus pada pentingnya transisi energi pada tingkat kebijakan dan publik yang lebih luas; dan (3) Mendorong perubahan kebijakan energi konkret yang diterapkan oleh Kementerian ESDM yang merupakan dasar untuk implementasi aktual.
Bergerak bersama untuk mengurangi dampak perubahan iklim dengan menggunakan energi terbarukan!
Di tahun 2000-an perubahan iklim masih sangat jarang diperbincangkan di kalangan masyarakat. Hal ini membuat peraih nobel dan mantan wakil presiden Amerika Serikat, Al Gore, membuat sebuah film dokumenter mengenai perubahan iklim An Inconvenient Truth. Di tahun 2006, Al Gore berhasil membuat dunia membicarakan tentang perubahan iklim melalui film ini dan berhasil mengantarkan film ini meraih Academy Award.
Setahun kemudian, Al Gore mendirikan The Climate Reality Project, sebuah organisasi nirlaba untuk memajukan pembicaraan mengenai perubahan iklim dan mengubah kesadaran yang ada menjadi suatu tindakan nyata di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang bergabung dalam Climate Reality International Branches sejak 2009 yang dikelola oleh Amanda Katili Niode. Pada Juli 2019 ini, Climate Reality Indonesia merayakan satu abad keberadaannya di Indonesia untuk dunia. Sampai dengan saat ini, sudah lebih dari 20,000 relawan Climate Reality Leaders Indonesia.
Salah satu Climate Reality Leaders Indonesia, Hamzah Ramadhan, yang lulus dari pelatihan bersama Al Gore di Nashville pada tahun 2010, turut meramaikan acara Millennials Talk: Energy Transition in A Nutshell pada Rabu, 10 Juli 2019 lalu. Dalam sesinya, Rama, sapaan akrabnya, menggarisbawahi pentingnya menyampaikan informasi dan pesan terkait perubahan iklim dan peranan energi terbarukan dalam mengurangi dampak perubahan iklim yang bisa dipahami oleh audiens.
Secara lebih rinci, Rama mengemas bagaimana cara untuk mengkomunikasikan hal yang tepat dalam empat tips berikut:
- People. Ketahui audiens yang akan ditemui. Dengan begitu, kita memiliki kesempatan untuk memilah informasi yang sesuai untuk dipresentasikan.
- Relevance. Pastikan semua contoh yang diberikan dekat dengan kehidupan mereka. Dengan begitu, mereka bisa membayangkan diri mereka apabila dampak yang diberikan terjadi di lingkungannya.
- No Jargon. Berusahalah untuk tidak menggunakan kata-kata sulit sehingga membuat mereka sulit untuk mengerti pesan utama yang ingin diberikan.
- It’s not you, it’s us. Saat melakukan presentasi, mereka adalah fokus utama bagi kita agar pesan dapat disampaikan dengan baik.
Dalam diskusinya, Rama juga bercerita bahwa cara serupa bisa diterapkan untuk mengkomunikasikan topik-topik transisi energi dan energi terbarukan kepada audiens yang ingin kita libatkan.