Potensi panas bumi di Indonesia cukup besar, dari sekitar 30 GigaWatt, baru dimanfaatkan 5%. Selama ini, investasi sektor ini dinilai berisiko tinggi. Guna meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi ini, pemerintah sedang merevisi aturan lama dengan membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Panas Bumi yang baru. Kebijakan ini sudah ada di Sekretariat Negara, sedang proses administrasi.
“Kalau lancar akhir tahun selesai,” kata Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Mongabay melalui telepon, Jumat (11/11/2016).
Aturan ini, katanya, keluar sebagai pengganti PP 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi. Di sini, ada beberapa terobosan untuk memberikan kepastian bagi para investor dan pengembang panas bumi di Indonesia.
Pertama, pemerintah boleh penugasan BUMN tanpa menggunakan lelang. Pelelangan terjadi saat pemiihan wilayah kerja mana yang akan diberikan kepada BUMN disesuaikan kriteria khusus.
Kedua, penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi (PSPE). ”Perusahaan memilih lokasi mana yang diinginkan melalui lelang, pemerintah melakukan PSPE di wilayah itu,” kata Yunus. Jadi, investor boleh menggunakan eksplorasi dan pengeboran. Selanjutnya, data diberikan kepada pemerintah dengan waktu tiga tahun.
Nanti, katanya, investor akan mendapatkan lelang terbatas atau penunjukan langsung (direct appointment) dalam eksplorasi. Melalui PSPE ini, pemerintah mampu menjamin investor dalam eksplorasi dan mengetahui potensi yang ada. “Ini salah satu kendala investor selama ini.”
Ketiga, menggunakan fixed price. Sebelumnya, lelang terjadi menggunakan harga terendah yang menjadi pemenang. Hal ini, katanya, tak memberikan kepastian harga, apalagi kapasitas potensi panas bumi di wilayah itu belum terukur jelas.
Setelah pasca eksplorasi dan menginformasikan temuan potensi, fixed price akan ditentukan pada uap panas yang digali.
”Dengan IRR yang menarik dari skala 5 MW sampai 220 MW,” jelasnya. Internal Rate of Return (IRR) adalah indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi. Langkah ini menjadi sebuah cara meminimalkan negosiasi.
Tak hanya memperpendek negosiasi, katanya, KESDM juga deregulasi dan debirokrasi perizinan. ”Ada 10 poin, melalui PP ini kalau ada rekomendasi dari kita tidak usah izin yang lain,” katanya seraya mencontohkan, izin kepolisian dan perindustrian.
Dukungan DPR
DPR serius membahas sektor energi bersih, seperti panas bumi. Wakil Ketua DPR-RI Agus Hermanto menilai, dua tahun kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, banyak persoalan energi terbengkalai. Kebutuhan energi makin meningkat, katanya, tak terimbangi kapasitas energi yang ada. Jadi, rotasi pemadaman masih sering terjadi.
”Sikap pemerintah masih mengandalkan bahan baku fosil, padahal tak terbarukan dan dipastikan akan habis,” katanya saat ditemui usai acara senior officials meeting (SOM) soal potensi, tantangan dan usulan solusi pengembangan panas bumi di Indonesia, di Jakarta, akhir bulan lalu.
Pertemuan itu dihadiri Menteri dan Wakil Menteri ESDM, Ignatius Jonan dan Arcandra Tahar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Menteri Ristek M Nasir dan Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro. Ada juga perwakilan dari Kemenkeu, pimpinan Komisi IV, VI, VII, XI dan pelaku industri terkait.
Dia mengatakan, energi panas bumi mampu sebagai pilihan dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Namun, baru 5% diberlakukan, padahal potensi di Indonesia mencapai 30 GW dan tersebar di 330 titik. Energi inipun sudah memiliki landasan hukum, yakni UU Panas Bumi.
Tantangan energi panas bumi
Meski demikian, DPR menyebutkan ada beberapa tantangan utama dalam pengembangan potensi itu. Pertama, risiko pembiayaan dan investasi panas bumi tinggi. Ia erat kaitan dengan tahapan eksplorasi dengan pengeboran sumur.
Kedua, penelitian dan data mengenai sumber daya dan cadangan panas bumi. Nantinya, para pakar diharapkan dapat berkolaboradi dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Jadi, ada penelitian terkait acuan dan data bagi para pengembang. Ketiga, koordinasi pemerintah daerah dalam mengatasi isu sosial.
”Perlu peningkatan pemanfaatan melalui sosialisasi secara luas kepada masyarakat di area pengembangan.”
Berbicara soal pengadaan lahan dan lingkungan, kata Hermanto, sebagian besar potensi panas bumi di zona inti.
Berdasarkan aturan panas bumi itu, kegiatan panas bumi di wilayah konsevasi melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan dan PP Nomor 108 tahun 2015, izin hanya diberikan untuk selain zona rimba dan inti.
”Maka perlu juga ada standar prosedur untuk usulan perubahan zonasi,” katanya.
Siti Nurbaya mengatakan, mendukung dan menyiapkan regulasi dalam pemanfaatan panas bumi dengan mempertimbangkan prinsip konservasi.
”Bisa melalui pola pinjam pakai kawasan hutan apabila sumber energi berada di hutan lindung. Pola izin pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi bila sumber energi berada di kawasan konservasi,” katanya.
Untuk cagar alam, katanya, KLHK memastikan sumber-sumber keragaman hayati tetap dilindungi. Koordinasi dengan pemerintah daerah, ucap Siti, sangat dibutuhkan terkait fungsi lingkungan di sekitar.
“Perlu ada kajian empirik di lapangan dan memastikan tak terjadi gangguan biodiversitas di kawasan itu.”
Fabby Tumiwa, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) berharap, RPP ini mampu memberikan kepastian berusaha dan mengurangi risiko pengusahaan panas bumi, terutama terkait eksplorasi. Dengan begitu, bisa meminimalkan pengeluaran (cost).
”Model fixed price (feed in tariffs) diharapkan mampu membantu investor atau pengembang panas bumi dalam gambaran pengembalian investasi,” katanya melalui surat elektronik.
Harapan lain, dengan model fixed price ini, pemerintah mampu menyeimbangkan epentingan pengembang dan PLN.
RPP ini juga diharapkan mampu mengurangi risiko keterlambatan eksekusi proyek karena ada proses negosiasi power purchasing agreement (PPA) yang cukup lama.
Tantangan lain pemerintah, katanya, adalah penghitungan (feed in tariffs/ FiT) harus mampu merefleksikan dinamika investasi ini. Ke depan, FiT mampu stabil dan tak terus menerus direvisi untuk naik.
Panas bumi tak pakai lahan luas
Potensi EBT tak digali, khusus panas bumi, meski memiliki potensi besar, menurut Agusdharma, anggota International Geothermal Association, karena ego sektoral di negeri ini sangat tinggi.
Pemerintah, katanya, sampai mesti membentuk Dewan Energi Nasional untuk mengkoordinasikan kementerian dan lembaga. DEN ini dipimpin Jusuf Kalla.
Energi panas bumi, katanya, ramah lingkungan potensi bebas memang di hutan inti. Meski demikian, hal itu bukan sebuah kendala. Pemerintah, perlu membuat aturan tegas dan batas-batas wajar yang harus dilakukan.
”Jangan menjadi eksploitasi hutan itu sendiri.”
Menurut dia, walau ada pemanfaatan panas bumi, wilayah harus tertutup untuk umum agar aman dari pembukaan atau perambahan. “Prinsipnya konsistensi dengan aturan dan tegakkan hukum.”
Kala potensi panas bumi sudah ada di satu kawasan, tidak bisa dipindahkan. “Kesulitan memang cukup tinggi jika harus pengeboran tidak langsung atau berbelok.”
Dia merasa aneh kalau ada pemanfaatan energi panas bumi menggunakan lahan maha luas. Menurut dia, kala itu terjadi, berarti sudah ada ‘kepentingan lain’ ikut dalam usulan panas bumi.
Kalau hanya untuk pemanfaatan panas bumi, katanya, hanya berkisar satu sampai puluhan hektar. “Kalau ada yang mengajukan izin sampai ratusan hektar, itu patut dipertanyakan,” kata pria dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia ini.
Dharma mencontohkan, panas bumi di Kamojang, Garut, pembangkit energi panas bumi dengan rambu-rambu, berdaya 240 Mega Watt, hanya pakai 38 hektar lahan.
Idealnya, lokasi panas bumi itu minimal 1,8 hektar sudah bisa menghasilkan listrik.
Daya tarik asing
Abadi Purnomo, dari Asosiasi Panas Bumi mendukung penuh RPP yang sedang disusun pemerintah. ”Panas bumi di Indonesia ini eyecatching, diharapkan RPP ini mampu membuat investor masuk ke Indonesia,” katanya.
Selama ini, regulasi pemerintah terkait panas bumi belum mengakomodir kepentingan investor, tak ada jaminan usaha di Indonesia. Banyak tender dibuka dengan data survei, geologi sebagai pra eksplorasi masih sangat minim.
”Investor menjadi ragu, karena potensi uap panas tak jelas. Jika disebutkan 100 MW, ternyata hanya 20 MW.”
Tahap eksplorasi berjalan, tak lanjut, hingga banyak proyek panas bumi mangrak. Kepastian modal kembali, katanya, sangatlah mimim. Belum lagi, tak ada perbankan yang mau membantu.
”Harapannya fixed priced nanti dilihat dari kapabilitas keuangan, responsibilitas penggunaan teknologi, dan sumber daya manusia.”
Tak hanya itu, RPP ini dimampukan sangat acceptable dan sustainable, pasalnya investor sering dibingungkan oleh penggantian regulasi. ”Kita melihat pemerintah memang serius,” pungkasnya.
Sejak 2014, energi panas bumi menarik untuk investor. Beberapa wilayah selesai lelang, menyusul waktu pengerjaan seperti di Way Ratai, Lampung. ”Antara PT ENEL dari Italia dengan perusahaan dari Indonesia, 90% dipegang Italia,” ucap Yunus.
Kemudian, Bukit Kili di Sumatera Barat, Gunung Lawu di Jawa Tengah, Graho Nyabu di Jambi, Hamiding di Maluku Utara, Galunggung di Jawa Barat, Gunung Ciremai di Kuningan, Gunung Willis di Jawa Timur dan Kepahiang di Bengkulu.
Sejak 2006-September 2016, pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit listrik baru 852 MW. Sedangkan, tahun 2025, energi panas bumi ditargetkan berkontribusi 7% atau 4,8 GigaWatt (GW) setara 23,5 juta ton minyak.
Sumber: mongabay.co.id.