NEWS – Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia | 31 July 2019 09:39
Jakarta, CNBC Indonesia – Pertumbuhan pengguna pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) rooftop atau atap surya tergolong stagnan. Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Andhika Prastawa, menilai perkembangan gerakan sejuta atap surya belum seperti yang diharapkan.
“Masih kecil sekali itu 600 ribu, saya butuhnya 1 juta kan,” ungkapnya di Hotel Le Meridien Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Angka tersebut tergolong stagnan, karena pertumbuhan dari tahun ke tahun belum terlalu signifikan. Dia menyebut, pada saat gerakan ini digagas pada 2017, sudah terdapat sekitar 200 ribu rumah tangga yang memakai PLTS atap.
“Waktu deklarasi 2018 sudah naik jadi 400 ribu. Ada Permen [peraturan menteri], jadi 600 ribu,” bebernya.
Sebagai catatan, dasar pemikiran diusulkannya Gerakan ini adalah karena di Pulau Jawa ada 30 juta pelanggan rumah tangga di mana 1/3 merupakan rumah menengah ke atas, atau 10 juta rumah.
Jika 10 juta rumah memasang PLTS di masing-masing atapnya 4 KW saja, ini sudah mencapai 4,000 MWp. Kalau hanya ¼ nya saja, inipun masih mencapai 1 Gigawatt.
1 Gigawatt di Pulau Jawa tidak akan berpengaruh besar terhadap sistem kelistrikan, karena penggunaan listrik di siang hari sudah di atas 10.000 MW. Jika diberi kebijakan dan rangsangan yang tepat, maka PLTS atap bisa menjadi pilar dalam mencapai 5.000 MWp.
Kondisi demikian tentu akan menjadi potensi yang sangat besar. Dengan Potensi pasar tinggi ini, maka pengembangan industri tersebut di Indonesia akan menjadi sebuah keniscayaan. Sayang, potensi tersebut saat ini belum maksimal.
“Jadi ada penambahan, ya tetap 60 km per jam ibarat mobil. Bahkan yang industri malah ngerem, bukan percepatan. Dari 10 order, turun tinggal 4 order,” sesal Andhika Prastawa.
Terhambat Sederet Regulasi
Dengan kondisi demikian, AESI sudah melaporkan sejumlah permasalahan ini ke kementerian terkait pada 23 Juli 2019. Surat tersebut di antaranya tertuju kepada Kemenko Perekonomian, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
Andhika Prastawa memetakan, terdapat sejumlah aturan yang jadi ganjalan. Pertama, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Listrik.
Selanjutnya, Permen ESDM 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Terakhir yakni Permen Perindustrian nomor 4 dan 5 Tahun 2017 tentang Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
“Soal yang TKDN itu minimal 60%, produk dalam negeri belum sampai segitu. Ini merepotkan kita seperti tadi saya sebutkan residensial costumer kok termarjinalisasi, enggak 1:1,” bebernya.
Pihaknya juga kerepotan dengan ketentuan di Permen ESDM Nomor 50 yang mengatur harga 85% biaya pokok produksi (BPP). Tak hanya itu, pihaknya juga direpotkan dengan skema build, own, operate, and transfer (BOOT) atau bangun, miliki, operasikan, dan transfer ke negara.
Dalam waktu dekat, dia membocorkan, bakal ada pertemuan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sejumlah stakeholder terkait bakal duduk bersama menyelesaikan persoalan ini.
“Enggak cari siapa salah siapa, yuk cari solusi, coba usahakan, tapi AESI tetap pada pendirian bahwa TKDN ini jadi instrumen dalam negeri karena ekonomi suatu negara itu akan tumbuh dengan baik kalau ada produksi,” tegasnya.
Biaya Investasi Awal PLTS yang Mahal
Di sisi lain, mahalnya biasa investasi pasang PLTS atap juga masih jadi kendala. Hal itu membuat warga masih pikir-pikir untuk memasang PLTS atap di rumahnya.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkap hasil studi pasar PLTS atap untuk segmen rumah tangga di 2 kota metropolitan, yaitu Jabodetabek dan Surabaya.
“Persepsi mengenai harga listrik surya atap yang mahal membuat responden di 2 kota ini mengharapkan adanya skema pendanaan dalam bentuk cicilan tetap dengan tenor minimal 5 tahun,” ungkap Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum, di Hotel Le Meridien Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Dia menjelaskan, biaya Rp 13-18 juta/kWp sebagai investasi modal awal untuk PLTS atap masih menjadi pertimbangan penting bagi sebagian besar masyarakat. Namun, sebagian masyarakat juga akan lebih cepat memutuskan memasang PLTS atap apabila memiliki infomasi tentang teknologi listrik surya atap yang lengkap.
Dikatakan, perlu persuasi berupa informasi penyedia yang kredibel, skema pembiayaan berupa cicilan tetap dengan bunga rendah, paket sistem listrik surya atap berkualitas yang bergaransi dan memiliki layanan purna jual, serta insentif fiskal. Itu semua yang diharapkan dapat mengurangi biaya dan meningkatkan manfaat.
“Perlu adanya insentif lain dari pemerintah yang dapat meringankan biaya di muka serta jaminan kualitas produk,” imbuh Citra.
Karena itu, IESR merekomendasikan subsidi harga panel/modul surya oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu, salah satu skema yang bisa diterapkan yakni diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk periode waktu tertentu bagi rumah yang memasang PLTS atap.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menilai, berbagai insentif ini dapat meningkatkan kelayakan finansial dan pengembalian investasi bagi pemilik rumah/bangunan. Dalam hal ini, dia bilang, pemerintah daerah memegang peranan penting dalam pemberian insentif ini, sesuai dengan kewenangan mereka.
“Bali misalnya, akan segera mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Energi Bersih, yang juga telah mengakomodasi rekomendasi ini. Adanya insentif dapat meningkatkan minat masyarakat dan bentuk apresiasi bagi pengguna listrik surya atap,” kata Fabby.
Artikel Asli di CNBC Indonesia