Oleh: Dede Mahmudah. Sobat Esensial IESR Batch 3
Suatu saat atasanku bertanya, “Rumah kamu dimana De?” Aku pun menyebutkan nama daerah -di pinggiran Jakarta-rumah tinggalku selama ini. Beliau pun mengatakan, “Sekitar 10 tahun lalu saya pernah ke daerah itu, banyak pohon, suasananya asri.” Sambil tersenyum miris, aku pun mengatakan, “Sekarang sudah tidak banyak pohon, berganti dengan rumah kontrakan yang menjamur. Bahkan semenjak terjadi puting beliung, pohon-pohon yang tersisa disekitar rumah saya ditebang. Warga sekitar khawatir, pohon-pohon itu tumbang dan menimpa rumah mereka.”
Hujan turun berhari-hari, ditambah dengan angin kencang dan awan hitam yang tak kunjung reda menumpahkan air hujan, rasa khawatir pun muncul, atap rumah keluargaku yang dimakan usia sudah bocor di sana-sini Selokan di depan gang rumahku yang dipenuhi sampah mulai tidak sanggup menampung air. Akhirnya air hujan mengalir ke rumahku yang terletak dalam posisi tusuk sate, persis diujung gang. Bahaya banjir pun mengancam.
Setelah hari-hari yang diiringi rinai hujan, musim kemarau sepertinya mulai menghampiri. Aku berkunjung ke Jakarta Utara, seorang sahabat baru saja melahirkan putra pertamanya. Sahabatku pun berkata, “Disini semakin panas, kalau di rumah Dede enak, sejuk.” Aku menimpalinya dengan tertawa, sambil berkata “Aku sepakat di sini semakin panas, tapi akhir-akhir ini di rumahku juga tidak jauh beda. Bulan kemarau sepertinya akan lebih lama tahun ini.” Tapi, beberapa hari kemudian hujan datang lagi.
Aku bersyukur sempat menikmati rindangnya pepohonan, sejuknya udara diiringi kicauan burung yang bersarang. Aku pun bahagia mendapatkan kesempatan untuk menikmati hujan. Bermain-main di bawah rinainya atau hanya memandanginya di depan rumah sambil meminum teh panas, tanpa khawatir banjir akan datang. Namun, saat ini rindangnya pepohonan serta sejuknya udara hanya dapat aku nikmati di tempat rekreasi -Cibodas misalnya- dan kicauan burung yang bersarang di sangkar bukan di pohon rindang. Setiap hari payung selalu menemani, karena saat ini hujan sepertinya datang dan pergi tanpa bisa diprediksi. Musibah banjir pun sepertinya sulit dihindari.
Akhirnya aku tahu, semua itu adalah tanda alam yang terkait dengan pemanasan global yang kemudian mempengaruhi perubahan iklim secara global. Makin panasnya bumi disebabkan oleh gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Karbon dioksida dari pabrik dan kendaraan bermotor menjadi penyebab terbesar pemanasan global saat ini, diikuti oleh metana yang dihasilkan dari sistem pencernaan hewan ternak, nitrogen oksida dari pupuk, dan CFC (clorofluorocarbon) yakni gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan. Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan karbon dioksida juga makin memperparah keadaan ini.
Jika seorang diri, aku bukanlah sosok yang mampu mengatasi perubahan iklim sekejap mata, namun bukankah ada istilah mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang? Akupun mulai mengurangi penggunaan kertas dan dokumen dikirim melalui email. Aku pun memilih menggunakan bis dan kendaraan umum dan sepeda motor yang kumiliki hanya kugunakan untuk jarak dekat. Saat berbelanja, aku membawa kantong belanja sendiri. Aku pun meminimalkan penggunaan AC serta lebih efisien dalam menggunakan air saat mandi dan mencuci. Mungkin semua itu hanyalah hal sederhana, namun seandainya hal sederhana itu dilakukan oleh setiap orang di dunia, bumi akan semakin indah dan nyaman untuk ditempati. Bukan hanya untuk kita, juga untuk anak cucu kita nanti.