Jakarta, 25 Juli 2022 – Indonesia memiliki potensi teknis energi bayu (angin) yang cukup besar. Kementerian ESDM mencatat total potensi tenaga bayu mencapai 155 GW yang terdiri dari 94,2 GW lepas pantai (offshore wind) dan 60,6 GW daratan (onshore wind). Hingga kini pemanfaatan energi bayu baru sebesar 131 MW atau hanya sekitar 0,1% dari potensi yang ada. Pemerintah sendiri melalui green RUPTL menargetkan pengembangan energi bayu akan terpasang hingga 597 MW hingga tahun 2030.
Cita Dewi, EVP Perencanaan dan Enjiniring EBT PLN menyatakan bahwa salah satu tantangan pengembangan energi bayu adalah persiapannya yang harus matang dan lokasinya yang banyak berada di daerah terpencil sehingga membutuhkan dukungan infrastruktur tersendiri baik untuk survey pengukuran kecepatan angin maupun pengembangannya.
“Pengembangan PLT bayu ini membutuhkan satu akurasi yaitu data angin. Untuk melihat berapa banyak energi yang dapat dibangkitkan. Pengukuran angin ini minimal satu tahun di satu lokasi untuk melihat kecepatan angin selama musim tertentu juga saat pergantian musim,” jelas Cita Dewi pada acara Green Talk di Berita Satu.
Agung Hermawan, Ketua Umum Asosiasi Energi Angin Indonesia, menjelaskan satu kondisi yang menghambat pengembangan energi bayu adalah mekanisme lelang proyek yang harus terpusat melalui PLN.
“Sebelum tahun 2017, asal kita sudah punya data angin yang komprehensif, kita tinggal negosiasi dengan PLN terkait harga dan kita dapat langsung membangun. Nah, sejak 2017 pengadaan dilakukan melalui mekanisme tender PLN, jadi meski kami sudah memiliki data pengukuran namun jika mekanisme pengadaan belum dimulai, kami tidak bisa apa-apa,” jelas Agung.
Agung menambahkan bahwa pihaknya menyadari posisi PLN yang sulit sebagai offtaker yang harus mengatur pengadaan energi bayu ini sembari tetap menjaga ketersediaan listrik di seluruh Indonesia. Namun dirinya menegaskan bahwa dibutuhkan keterbukaan untuk saling berkolaborasi untuk mendorong akselerasi energi bayu di Indonesia.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menekankan beberapa hal yang akan menjadi ekosistem pengembangan energi angin, pertama perlunya berinvestasi pada data pengukuran angin yang akurat di lokasi-lokasi potensial sehingga saat PLN akan membuka lelang sudah ada data tersedia.
Kedua, perlu adanya perbaikan dari sisi regulasi. Fabby menegaskan Perpres tentang harga energi baru terbarukan sangatlah dinanti-nanti. Sebab aturan ini akan memberikan sinyal positif bagi investor dan pengembang energi terbarukan.
Ketiga, harus ada penguatan atau pembangunan infrastruktur di tempat-tempat yang akan menjadi lokasi PLTB seperti akses jalan, dan pelabuhan. Hal ini membutuhkan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait di luar kementerian ESDM.
Keempat, perlu dirancang skema low financing untuk memudahkan pengembang PLTB mengakses pendanaan. Misalnya dengan melibatkan bank lokal untuk menyediakan pendanaan ini.
Kelima, mekanisme lelang di PLN perlu dibuat transparan dan terjadwal sehingga pengembang dan semua pihak tahu kapan lelang selanjutnya akan dilaksanakan.
“Tantangan pengembangan energi bayu ini salah satunya biaya logistik yang cukup besar, jadi butuh lebih dari sekedar reformasi kebijakan dan reformasi sistem lelang,” pungkas Fabby.