Jakarta, CNN Indonesia — Organisasi independen Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak Kementerian Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mempertimbangkan ulang kebijakan memangkas porsi energi terbarukan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2018-2027.
Dalam rancangan RUPTL, porsi bauran energi terbarukan ditetapkan menjadi hanya 14 ribu Megawatt (MW) atau menyusut dari angka sebelumnya 21 ribu MW.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai pengurangan bauran energi terbarukan karena adanya penurunan proyeksi permintaan listrik merupakan alasan yang tidak tepat.
Menurut dia, PLN justru memperbesar risiko dengan memprioritaskan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ketimbang mengembangkan energi terbarukan.
“Penurunan permintaan listrik justru harus diantisipasi dengan mengurangi PLTU batubara, di saat bersamaan menambah Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Pembangkit energi terbarukan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterbitkan pada Jumat (22/2).
Pasalnya, pembangkit terdistribusi seperti sel surya dan baterai penyimpan yang bernilai investasi rendah bisa berpeluang mendisrupsi fungsi PLTU.
“Teknologi solar rooftop dan baterai dapat menjadi ancamanan bagi PLN. Aplikasinya di skala rumah tangga dan komersial dengan harga yang kompetitif dalam 5-10 tahun mendatang dapat memangkas kebutuhan dan permintaan listrik rumah tangga dan komersial dari PLN. Akibatnya kapasitas PLTU yang terbangun akan idle, ” papar Fabby.
Pembangunan PLTU juga dianggap tak efektif seiring adanya penurunan pertumbuhan pemakaian listrik dari tahun ke tahun. Hal itu terjadi karena efisiensi para pelanggan listrik dan berkurangnya penggunaan listrik dari segmen konsumen industri akibat relokasi, efisiensi mesin, dan pengurangan volum produksi.
Menurut dia, merasionalisasi jumlah pembangunan PLTU batubara dan meningkatkan bauran energi terbarukan merupakan cara efektif untuk meminimalisir risiko keuangan PLN dalam jangka panjang.
“Saat ini laju pertumbuhan listrik sudah di bawah laju pertumbuhan ekonomi, kemungkinan tren ini akan berlanjut. Jika ini terjadi, maka risiko terjadinya over-supply pembangkit cukup tinggi,” tambah Fabby.
Pasokan yang berlebih dapat memicu terjadinya aset mangkrak, karena kapasitas yang sudah dibangun tidak dibeli listriknya oleh pelanggan PLN. Alhasil, beban keuangan PLN dan IPP meningkat hingga dapat memicu kerugian finasial.
Risiko keuangan akibat kenaikan biaya energi primer, khususnya batubara dan BBM, bisa dimitigasi dengan membangun lebih banyak pembangkit energi terbarukan yang biaya listriknya tidak terpengaruh harga bahan bakar. Dengan demikian, konsumsi energi primer dapat dikurangi secara perlahan.
Minimnya porsi energi terbarukan tak hanya meningkatkan risiko PLN jangka panjang, tetapi juga memperburuk persepsi risiko dan investasi energi terbarukan di Indonesia.
Menurut kajian dari International Renewable Energy Agency (IRENA), potensi pembangkit energi terbarukan yang dapat dibangun di Indonesia mencapai 7 GW per tahun sampai 2030, 3,1 GW diantaranya adalah teknologi PLTS dan rooftop.
Dia mengkritik pemerintah tidak memiliki kerangka kebijakan yang komprehensif dan strategi yang terarah terkait pencapaian harga energi terbarukan yang lebih kompetitif.
“Investor akan memandang bahwa pemerintah Indonesia plin-plan karena tidak konsisten dengan target yang dibuat sendiri, yaitu 23% bauran energi terbarukan pada 2025,” tegasnya.