Indonesia mengembangkan BBN sejak 2006 sebagai respon kenaikan harga minyak bumi dan meningkatnya impor bahan bakar seiring dengan anjloknya produksi minyak mentah dalam negeri. Pemerintah pun telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung BBN di antaranya penetapan mandat pencampuran, mekanisme penetapan harga, hingga skema subsidi atau insentif. Namun, dari berbagai target yang disusun dalam peta jalan BBN sejak tahun 2008 untuk bioetanol, biodiesel dan minyak nabati murni, hanya target konsumsi biodiesel solar sebesar 20 persen yang tercapai di tahun 2019.
Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan kajian terhadap pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia dalam “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”. Studi ini merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan pengembangan BBN yang mempertimbangkan secara matang implikasi ekonomi, lingkungan, dan sosial dari BBN, serta ketidakpastian permintaan BBN di masa mendatang.
“Pengembangan biofuel yang masih terfokus pada satu bahan baku yakni crude palm oil (CPO) juga menjadi ancaman keberlanjutannya. CPO juga dipakai untuk makanan, kosmetik dan sebagainya sehingga kita perlu melakukan diversifikasi bahan baku,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Secara umum harga indeks pasar referensi biodiesel dan bioetanol lebih tinggi dari harga bahan bakar minyak bumi. Perhitungan IESR menunjukkan bahwa biaya produksi biofuel drop-in (yang dapat digunakan secara langsung) lebih tinggi daripada bahan bakar minyak. Biaya produksi biofuel adalah sekitar Rp 6.000 hingga Rp 12.000 per liter, sedangkan harga referensi solar adalah Rp 4.500 per liter (rata-rata tahun 2020). Begitu pula dengan BBN berbasis minyak sawit mempunyai biaya lebih tinggi dikarenakan harga bahan baku yang tinggi.
“Dengan biaya produksi yang lebih tinggi, pemanfaatan BBN membutuhkan insentif. Diperkirakan subsidi tahunan yang dibutuhkan untuk menjalankan program biofuel bisa mencapai 29 hingga 57 triliun rupiah pada periode 2021-2024. Besaran subsidi ini bahkan bisa meningkat dua kali lipat apabila harga minyak sawit mencapai titik tertingginya selama 10 tahun terakhir pada USD 970/ton (rata-rata tahunan),” jelas Julius Christian A, Periset Bahan Bakar Bersih IESR dan Penulis Laporan “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”.
Selain itu, ditinjau dari perspektif lingkungan, studi tentang analisis siklus hidup biofuel generasi pertama (termasuk minyak sawit) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan untuk bahan baku BBN generasi pertama berpotensi mengeluarkan lebih banyak emisi GRK daripada bahan bakar minyak (BBM). Traction Energy Asia memperkirakan emisi GRK biodiesel Indonesia dapat mencapai 20 kali lipat emisi pembakaran BBM ketika terjadi konversi hutan gambut.
Dari segi sosial-ekonomi, industri BBN dan perkebunan kelapa sawit turut menyokong ekonomi di tingkat lokal melalui peningkatan nilai output pertanian, output manufaktur, dan PDRB. Pengembangan BBN dalam program B20 pada 2019 juga diperkirakan menciptakan 801 ribu lapangan kerja, namun disisi lain, masih dibayangi dengan berbagai permasalahan terkait kesehatan dan keselamatan pekerja, pekerja anak, diskriminasi, khususnya di perkebunan kelapa sawit. Ditambah lagi, perkebunan kelapa sawit juga kerap menimbulkan konflik lahan dan hilangnya akses sumber daya bagi masyarakat lokal.
IESR memandang, selain isu keekonomian, lingkungan dan sosial, pengembangan BBN juga perlu memperhatikan perkembangan teknologi alternatif, terutama di sektor transportasi. Secara business-as-usual, potensi permintaan BBN dapat meningkat menjadi 190 MTOE pada tahun 2050 dari konsumsi biodiesel saat ini sebesar 8 MTOE. Namun, dalam kasus penetrasi kendaraan listrik yang tinggi dan perpindahan moda yang tinggi ke angkutan umum, potensi permintaan bahan bakar nabati dapat turun menjadi hanya 93 MTOE pada tahun 2050. Adapun potensi permintaan pada skenario ini terutama akan berasal dari angkutan berat dan industri.
Indonesia mempunyai beragam target untuk BBN, diantaranya seperti tercantum dalam RUEN untuk target jangka panjang hingga target jangka pendek yang terdapat dalam RPJMN. IESR mengkaji bahwa penetapan target yang menitikberatkan pada BBN pengganti solar merupakan strategi yang relatif aman. BBN pengganti solar ini masih menjadi pilihan utama di sektor transportasi alat berat, industri, dan penggunaan khusus (konstruksi, pertanian, pertambangan). Sektor-sektor ini diperkirakan masih memiliki pasar yang besar hingga tahun 2050. Selain itu, potensi permintaan avtur ramah lingkungan juga akan sangat besar, termasuk di pasar global, karena alternatif rendah karbon terbatas.
“Di sisi lain, perencanaan infrastruktur produksi BBN, terutama untuk BBN pengganti bensin perlu mempertimbangkan skenario permintaan yang rendah untuk meminimalkan potensi aset yang terlantar,”ujar Julius.
Agar mengatasi berbagai implikasi tersebut, IESR merekomendasikan agar pemerintah dapat : 1) mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi, selaras dengan pengembangan teknologi alternatif. 2) Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan untuk mengukur manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program biofuel. 3) Melakukan diversifikasi bahan baku biofuel. 4) Menetapkan dukungan kebijakan untuk mendorong produksi dan pengembangan biofuel generasi kedua, ketiga dan berikutnya. 5) Mengubah skema insentif untuk mendorong inovasi dengan memasukkan aspek keberlanjutan sebagai persyaratan.