Jakarta, 28 Mei 2021 – Institute for Essential Services Reform (IESR) sebuah lembaga think-tank yang fokus pada isu energi terbarukan dan lingkungan, meluncurkan studi terbarunya yang berjudul “Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: a Pathway to Zero Emission by 2050”. Studi ini adalah buah kerjasama IESR, Agora Energiewende Jerman, dan Lappenranta University of Technology (LUT) Finlandia.
Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menekankan bahwa dekade ini merupakan dekade yang penting untuk mewujudkan nol emisi pada 2050.
“Laporan ini menunjukkan bahwa secara teknis dan ekonomis Indonesia mampu mencapai nol emisi di sistem energinya pada tahun 2050. Dengan demikian, Indonesia seharusnya mampu memenuhi target Paris yaitu membatasi kenaikan temperatur global di bawah 1.5 derajat dan mencapai netral karbon pada tahun 2050. Kajian ini berbeda dengan pemodelan pemerintah yang menyatakan bahwa kita baru akan mencapai netral karbon pada 2070,” tutur Fabby. Perbedaan hasil ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya perbedaan pemodelan. Namun ditegaskan oleh Fabby bahwa perbedaan ini harusnya menumbuhkan diskusi.
“Laporan ini adalah laporan komprehensif pertama yang melihat sistem energi di Indonesia meliputi pembangkitan listrik, transportasi, dan industri,” imbuh Fabby.
Philip Godron, Senior Associate Global Energy Transition menegaskan bahwa tren transisi energi global menuju energi terbarukan adalah hal yang sedang terjadi saat ini. Semakin cepat kita bertindak, akan makin banyak ruang inovasi terbuka dan juga meningkatkan daya saing global negara yang melakukan transisi energi.
“Misalnya Uni Eropa yang akan menerapkan standar jejak karbon barang-barang yang boleh dipasarkan di sana dengan ketat. Maka menentukan target untuk menjadi nol emisi akan sangat berguna bukan hanya untuk memenuhi komitmen internasional dan menangani krisis iklim, namun juga menjaga bahkan meningkatkan daya saing di kancah internasional,” tutur Philip.
Hasil pemodelan ini sejalan dengan laporan terbaru IEA (International Energy Agency) yang menyatakan bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi bauran energi pada tahun 2050, karena biaya pembangkitan listrik energi terbarukan di Indonesia, khususnya dari energi surya, akan semakin murah.
Dalam jangka panjang, terdapat beberapa keuntungan mencapai nol emisi pada sistem energi di tahun 2050 antara lain, biaya sistem dan Levelized Cost of Electricity (LCOE) yang lebih murah dibandingkan jika Indonesia tetap melakukan business as usual. Hal ini berarti masyarakat akan menikmati harga listrik yang lebih murah. Pamela Simamora, penulis utama laporan ini, menambahkan keuntungan lainnya dari Indonesia capai nol emisi pada 2050, seperti jutaan lapangan kerja yang akan tumbuh.“Akan ada 3,2 juta lapangan pekerjaan baru. Angka ini masih lebih tinggi daripada jumlah pekerjaan yang terancam akan hilang yaitu sebesar 1,3 juta. Jadi sebenarnya kita tetap gaining bukan losing saat menjadi nol emisi pada 2050,” ungkap Pamela.
Terdapat empat pilar penting dalam proses dekarbonisasi Indonesia. Pertama, penggalakan energi terbarukan yang bersandar pada energi surya serta integrasi jaringan listrik untuk ekspor dan impor tenaga listrik antar pulau. Kedua, elektrifikasi di sektor transportasi dan industri . Ketiga, pengurangan penggunaan energi fosil terutama PLTU batubara karena tidak akan kompetitif pada 10-15 tahun ke depan. Empat, pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar bersih bisa berupa hidrogen, bahan bakar sintetik, maupun biofuel untuk dekarbonisasi sistem transportasi dan industri.
“PLTS akan menjadi tulang punggung sistem energi kita, didukung dengan sistem penyimpanan (baterai), elektrifikasi, dan bahan bakar bersih yang menjadi kunci di masing-masing sektor,” pungkas Pamela menutup paparannya.
Darmawan Prasodjo, Wakil Presiden Direktur PLN, menyambut positif laporan ini namun tidak memungkiri realita bahwa PLN tidak dapat melakukan segala upaya dekarbonisasi bidang kelistrikan sendiri.
“Kami sangat apresiasi laporan yang komprehensif ini, dan seperti sudah dipaparkan bahwa Indonesia mampu melakukan dekarbonisasi dan mencapai nol emisi pada tahun 2050. PLN mendukung inisiatif ini dan saat ini kami sedang menyusun model yang mencakup hitungan teknis dan kebijakan. Yang pasti PLN mendukung inisiatif ini, RUPTL yang akan keluar adalah green RUPTL,” tuturnya.
Menyadari bahwa dekarbonisasi membawa manfaat secara langsung kepada masyarakat, Yahya Rachmana Hidayat, Direktur Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan, BAPPENAS mendukung upaya dekarbonisasi.
“Setidaknya ada 3 manfaat yang bisa dirasakan masyarakat dari dekarbonisasi yakni menangani perubahan iklim, mendukung penggunaan energi terbarukan, dan menjamin daya saing industri. Saya kira semuanya (upaya dekarbonisasi-red) dapat dilakukan dan realistis untuk diimplementasikan. Sebenarnya semakin kita cepat mencapai zero emission akan semakin besar peluang kita untuk lolos dari middle income trap,” tuturnya.
Di lain pihak, Luh Nyoman Puspa Dewi, direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM menyatakan bahwa kesadaran untuk menuju zero emission sudah ada, namun menurutnya, kondisi Indonesia saat ini masih agak sulit jika harus melakukan perubahan drastis,
“Kita sadar bahwa kita harus mulai berpikir ke arah net-zero, ini memang sudah dilakukan, namun kita harus realistis dengan melihat kondisi di Indonesia,” tukasnya menanggapi materi paparan.
Tentu saja, demi mewujudkan dekarbonisasi dan mencapai zero emission pada 2050, perlu keyakinan dari pembuat kebijakan, kepemimpinan politik yang kuat dan tindakan nyata dari pemerintah. Komitmen politik yang terwujud nyata, diantaranya dengan menetapkan target NDC yang lebih ambisius serta mengeluarkan kebijakan yang mendukung terciptanya ekosistem yang mumpuni bagi energi terbarukan, agar menarik lebih banyak investor. Hal ini penting, mengingat upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 20-25 miliar/tahun di periode 2021-2030 dan USD 60 miliar/tahun untuk kurun waktu 2030-2040.