Jakarta, 5 Desember 2024 – Perkembangan transisi energi di Indonesia sepanjang tahun 2024 mengalami kemacetan. Pergerakan pemerintah merevisi Kebijakan Energi Nasional justru menurunkan target pencapaian energi terbarukan dari 23% menjadi 17-19 persen pada tahun 2025. Status transisi energi Indonesia tidak bergerak dari tahap konsolidasi.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya pada peluncuran laporan tahunan IESR, Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, menyatakan bahwa di tengah berbagai kabar pesimis tentang transisi energi Indonesia, sebuah langkah berani disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam KTT G20 di Brazil. Presiden Prabowo menyebutkan bahwa Indonesia akan berhenti menggunakan energi fosil dalam 15 tahun ke depan (tahun 2040).
“Hal ini dapat dibaca sebagai komitmen sebab disampaikan dalam forum internasional. Seluruh menteri dan jajaran pemerintahan harus membantu mewujudkan cita-cita ini,” kata Fabby.
Rachmat Kaimuddin, Deputi 3 Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, menyatakan bahwa Indonesia memiliki peluang (ekonomi) besar dari sumber energi terbarukan yang dimiliki.
“Terdapat 3 pilar strategis untuk mencapai aspirasi Indonesia untuk keluar dari middle income trap melalui hilirisasi dan ekosistem industri hijau. Pertama, memaksimalkan nilai bahan baku yang ada melalui hilirisasi; kedua, menciptakan nilai baru melalui rantai pasok terbarukan lokal; dan ketiga, menggunakan pasokan energi lokal terbarukan untuk dekarbonisasi dan ekspor,” jelasnya.
Anindita Hapsari, Analis Agrikultur, Kehutanan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim IESR menyatakan bahwa salah satu temuan IETO 2025 adalah Indonesia belum pernah berhasil mencapai target energi terbarukan setidaknya selama sembilan tahun terakhir. Dalam kerangka kesiapan transisi energi, aspek kebijakan dan situasi politik menjadi sektor yang mendapat penilaian rendah.
“Rating dimensi komitmen politik dan regulasi yang rendah menunjukkan masih kurangnya dokumen yang selaras dengan jalur 1,5, kurangnya koordinasi lintas sektor dalam transisi energi, dan rendahnya kesiapan pemerintah dalam persiapan transisi energi (tidak ada mekanisme akuntabilitas),” katanya.
Anindita menambahkan kurangnya komitmen politik serta peraturan dan tata kelola yang tidak mendukung menjadi faktor penghambat transisi energi di Indonesia meski terdapat kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon.
Strategi pengurangan emisi dari tiap-tiap sektor penghasil emisi juga harus digalakkan agar jumlah emisi yang diturunkan signifikan. Sektor permintaan (demand) menjadi salah satu sektor yang mendapat sorotan, sebab berkontribusi pada 80 persen konsumsi energi dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tidak kecil. Hal ini seperti disampaikan oleh Farid Wijaya, Analis Senior Bidang Material dan Energi Terbarukan IESR.
“Sisi permintaan terdiri dari 3 sektor, yakni industri, transportasi, serta bangunan komersial dan rumah tangga. Ketiga sektor ini, memiliki peran yang penting, dalam menjalankan roda ekonomi. Ketiganya harus menjadi fokus, dalam transformasi energi berkelanjutan, menuju rendah jejak emisi karbon. Tanpa permintaan, suplai menurun, dan roda perekonomian akan melemah,” kata Farid
Sektor penyediaan energi (supply) juga perlu untuk segera melakukan dekarbonisasi. Saat ini, sistem energi Indonesia didominasi oleh energi fosil sebesar 80 persen, dengan porsi terbesar batubara sekitar 40 persen. Ketergantungan pada energi fosil ini membuat Indonesia cukup rentan pada situasi geopolitik dunia. Permintaan batubara global diproyeksikan berada pada puncaknya di tahun 2024, dan ke depan akan mengalami penurunan seiring komitmen iklim global.
Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, melihat situasi ini perlu diantisipasi secara komprehensif, salah satunya dengan menyiapkan kebijakan energi yang harmoni antar lembaga di Indonesia.
“Harmonisasi dokumen kebijakan yang mengedepankan pencapaian porsi energi terbarukan yang tinggi, akan mengirimkan sinyal kuat atas agenda transisi energi Indonesia,” katanya.
Setiap tahunnya terdapat kesenjangan (gap) pendanaan transisi energi sebesar rata-rata USD 7 miliar. Jika tidak segera diambil langkah revolusioner untuk menutup kekurangan ini, beban pembiayaan di belakang akan menjadi semakin besar.
Putra Maswan, Analis Ekonomi dan Keuangan IESR menyatakan bahwa sektor swasta merupakan mitra potensial untuk menambah pendanaan transisi energi.
“Ada dua penghambat bagi sektor privat untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan yaitu pertama, kurangnya kepastian regulasi dan kedua resiko masih tinggi dalam proyek energi terbarukan yang berdampak terhadap rendahnya bankability,” kata Putra.
Menutup rangkaian sesi presentasi laporan IETO 2025, Alvin Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, menekankan bahwa pentingnya untuk segera mengambil langkah pasti transisi energi.
“Pada sektor demand harus dilakukan pengurangan intensitas emisi 47-90 persen untuk tetap kompetitif secara internasional. Pada sektor supply, sebanyak 13,3 GW proyek energi terbarukan pada rancangan RUPTL harus terlaksana, dan untuk penciptaan ekosistem mendukung (enablers) dibutuhkan rata-rata Rp1 triliun alokasi anggaran provinsi untuk program terkait energi terbarukan,” kata Alvin.