Jakarta, 7 Februari 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengimplementasikan program Mandatori Biodiesel 35 persen (B35) di bulan Februari 2023. Diharapkan program ini dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 34,9 juta ton CO2e. Menanggapi kebijakan ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menjelaskan salah satu alasan pengembangan bahan bakar nabati mulai dilakukan karena permintaan bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat dan terjadi penurunan produksi minyak mentah di Indonesia. Hal ini diungkapkannya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Februari 2023 dengan tema “Problematika Minyak Goreng, CPO Bagi Pangan vs Energi”.
“Persoalan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia bisa dikelompokkan dalam beberapa isu, di antaranya harga domestik versus harga pasar, persoalan offtaker (pemasok kebutuhan industri atau pasar-red), termasuk intervensi negara. Penggunaan BBN ini mulai digalakkan mengingat sebagian besar bahan bakar minyak (BBM) impor sehingga mengakibatkan neraca perdagangan mengalami defisit, terjadinya pelemahan nilai tukar dan risiko keamanan pasokan energi,” terang Fabby Tumiwa.
Fabby memaparkan, penggunaan minyak sawit dalam BBN memiliki dampak terhadap lingkungan. Mengutip beberapa studi selama 10 tahun terakhir, ujar Fabby, program BBN di Indonesia berkorelasi dengan deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dan memperburuk perubahan iklim yang terjadi. Berdasarkan studi Biofuels Development and Indirect Deforestation (2023), peningkatan permintaan BBN dari CPO diikuti dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit, dari periode 2014-2022 luas kebun kelapa sawit meningkat sampai 4,25 juta ha.
“Penggunaan BBN diklaim sebagai salah satu strategi untuk memangkas emisi gas rumah kaca, dan itu dibandingkan dengan mensubstitusi minyak diesel oleh bahan bakar nabati. Klaim ini perlu diuji, benarkah demikian? Untuk itu perlu ada metodologi perhitungan emisi GRK yang baku, sehingga klaim pemerintah untuk substitusi ke BBN terbukti memiliki manfaat penurunan emisi GRK,” kata Fabby.
Di sisi lain, Fabby menuturkan, terdapat dampak sosial dalam perkembangan BBN yakni mendukung ekonomi nasional dan lokal, seperti mengurangi defisit neraca perdagangan, membuka lapangan kerja dan meningkatkan nilai output petani. Meski demikian, terdapat pula dampak negatif ataupun kendala perkembangan BBN yang patut diperhitungkan yaitu konflik lahan, korupsi, posisi petani yang lemah dan kondisi kerja yang buruk. Untuk itu, Fabby menjelaskan, apabila Indonesia ingin produksi BBN maka terdapat potensi bahan baku non CPO yang bisa digunakan.
“Beberapa potensi bahan baku non CPO seperti tanaman non pangan (nyamplung, kemiri sunan, malapari dengan potensi lahan 250.000 ha atau sekitar 280.000 kilo liter biodiesel/tahun, kaliandra dengan potensi lahan 2.771.000 ha), limbah minyak (minyak jelantah dengan potensi 2,7 juta ton/tahun dan lemak hewan, ikan, tail-oil, limbah sawit dengan potensi 1,2 juta ton/tahun) dan limbah pertanian atau perkebunan (sekam padi dengan potensi 151 juta ton/tahun, bonggol jagung dengan potensi 31 juta ton/tahun, bagas tebu dengan potensi 8 juta ton/tahun dan limbah sawit dengan potensi 70 juta ton/tahun,” tegas Fabby.
Fabby menekankan beberapa rekomendasi untuk memastikan keberlanjutan bahan bakar nabati, seperti memperjelas tujuan pengembangan, pemanfaatan dan menetapkan parameter yang jelas untuk mengukur keberhasilan, diperlukan adanya peta jalan pengembangan BBN yang ditautkan dengan program di Kementerian/Lembaga lainnya, menetapkan persyaratan NDPE dan/atau sertifikasi ISPO pada semua CPO untuk produksi FAME di program BBN, serta memprioritaskan co-processing untuk BBN pengganti bensin.
Direktur Bioenergi, Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menuturkan terdapat dukungan pelaksanaan program biodiesel yakni kecukupan pasokan biodiesel dengan kapasitas produksi terpasang 17,2 juta kilo liter, pemerintah menyediakan insentif dari BPDPKS, menyiapkan dukungan kebijakan untuk menjamin sustainability program, penerapan standar nasional dan petunjuk teknis. Berdasarkan data Kementerian ESDM, total alokasi 2022 sebanyak 11,02 juta kilo liter terdiri dari realisasi implementasi biodiesel tahun 2022 dengan produksi 11,8 juta kilo liter, penyaluran domestik 10,5 juta kilo liter, ekspor 372 ribu kilo liter dan insentif yang dibayarkan dari penyaluran tersebut sekitar Rp22,1 triliun.
“Substitusi BBM ke BBN adalah upaya strategis dalam upaya penghematan devisa akibat menurunnya impor minyak solar, peningkatan nilai tambah Crude Palm Oil (CPO), membuka lapangan kerja, sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan bauran energi baru terbarukan di Indonesia. Tak hanya itu, pengadaan biodiesel (B35) tahun 2023 didasarkan arahan Presiden dalam rapat kabinet pada 6 Desember 2022 dan hasil rapat komite pengarah (komite pengarah) pada 27 Desember 2022,” papar Edi.