Selasa 13 Oktober 2020 | Untuk dirilis segera
Nara hubung:
Deon Arinaldo
Penulis Laporan Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry
Energy Information Specialist, IESR | deon@iesr.or.id
Gandabhaskara Saputra
Koordinator Komunikasi, IESR | 081235563224 | ganda@iesr.or.id
Baca rilis ini di laman website IESR
Membangun Peta Jalan Transisi Energi Nasional:
Implikasi Transisi Energi Terhadap Industri Batu Bara Nasional
- Moratorium pembangunan PLTU baru diperlukan untuk memperkecil potensi stranded assets dan juga memperbesar ruang bagi bauran energi terbarukan.
- PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis perlu melakukan retrofit untuk mempertahankan efisiensi ataupun menjadi balancer untuk energi terbarukan yang intermiten.
- Perencanaan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan, diperlukan.
Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2020 – Pada hari ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan ketiga dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry. Studi ini menyoroti perkembangan dan tren transisi energi terbarukan, khususnya di berbagai negara tujuan ekspor batubara Indonesia dan di Indonesia, yang ternyata berimplikasi terhadap perkembangan industri batubara dan sistem ketenagalistrikan nasional.
Sejak tahun 2006, tren perkembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) global, yang selama ini menjadi konsumen terbesar industri ini, sudah mulai mengalami penurunan yang utamanya karena faktor perubahan iklim dan polusi serta keekonomian teknologi alternatif dari energi terbarukan yang sudah semakin kompetitif. Merujuk kepada temuan studi ini, semua skenario proyeksi permintaan batubara Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan penurunan di tahun-tahun yang akan datang. Jika strategi transisi batubara nasional tidak mulai dibangun dan dipersiapkan sejak dini, maka keberlanjutan dari industri yang sangat bergantung pada pertumbuhan PLTU global dan domestik ini menjadi semakin rawan dan berpotensi menimbulkan kerugian/biaya yang besar di masa mendatang. Kebijakan responsif pemerintah untuk menggenjot produksi batubara domestik, mengembangkan industri hilir, dan membangun PLTU dengan clean coal technology justru mengindikasikan terciptanya berbagai problematika baru, diantaranya terjebak di satu teknologi tertentu (technology lock-in) dan meningkatkan potensi aset terdampar (stranded asset) di masa depan. Oleh karena itu, IESR menyerukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan dan perencanaan energi Indonesia terkait batubara, serta bersama industri-industri batubara besar di tanah air untuk dapat segera menyusun peta jalan transisi batubara nasional, yang tentunya harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait.
Berdasarkan data terakhir BP, cadangan terbukti (proven reserve) batubara nasional di akhir tahun 2019 mencapai 39,9 miliar ton (atau sebanyak 3,7% dari total cadangan dunia) yang didominasi oleh batubara kalori menengah dan
rendah masing-masing sebanyak 62% dan 38%. Dalam satu dekade terakhir (2010-2019), 80-88% produksi batubara nasional di ekspor sebagian besar ke Tiongkok (27%), India (26%), Korea Selatan (10%), Jepang (9%), dan Taiwan (7%) untuk menyuplai PLTU di negara-negara ini. Di dalam negeri, 82% konsumsi batubara nasional dalam periode yang sama digunakan untuk membangkitkan listrik dari PLTU di Jawa dan Sumatera. Dari statistik ini, sudah jelas bahwa batubara memiliki peranan penting dalam perekonomian dan sektor kelistrikan Indonesia.
Dari perspektif lainnya, peran batubara ini justru mengindikasikan kerentanan yang tinggi dari industri yang sangat bergantung kepada perkembangan tren PLTU global, dan khususnya di kelima negara tujuan ekspor tersebut. Transisi energi, yang didorong oleh penurunan biaya teknologi energi terbarukan, tekanan publik untuk mengendalikan polusi udara, dan tekanan global untuk mengatasi perubahan iklim, akan mendisrupsi status quo dari batubara, yang cepat atau lambat, akan berdampak pada keberlangsungan industri batubara di tanah air.
Dalam pembukaannya, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan “penurunan permintaan batubara sebagai respons dari transisi energi, tentu akan berimplikasi kepada keberlanjutan industri batubara sebagai salah satu komoditas ekspor dan sumber energi untuk pemangkitan listrik. Industri batubara harus mulai segera mengembangkan portofolionya di luar industri ini, atau jika tidak, berisiko menjadi aset-aset terdampar (stranded assets) akibat dari ketidakekonomisan proyek yang terjadi di tengah-di tengah siklusnya. Industri ini berpotensi menurunkan, bahkan mengganggu, stabilitas perekonomian negara, yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian daerah, pekerja, dan masyarakat di sekitar tambang batubara. Untuk itu, strategi dalam melakukan transisi batubara nasional untuk meminimalkan implikasi negatif dari penurunan industri ini perlu segera dibangun dan dilakukan.”
Studi ini mengadopsi tiga skenario yang dikembangkan oleh IEA untuk merepresentasikan dan menganalisis ketidakpastian dari permintaan batubara Indonesia di Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, serta di ASEAN dan negara tujuan ekspor lainnya. Dari skenario kebijakan saat ini (current policies), puncak permintaan batubara Indonesia diproyeksikan terjadi di tahun 2025, dan akan terus menurun hingga mencapai sekitar 360 juta ton di tahun 2050. Penurunan permintaan ini bahkan diindikasikan dapat mencapai sekitar 270 juta ton di tahun 2050 dalam skenario kebijakan baru (new policies) yang memperhitungkan perkembangan kebijakan sampai Agustus 2018 dan teknologi kedepannya. Skenario pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang merangkum upaya-upaya membatasi peningkatan suhu global di bawah 2oC, memproyeksikan penurunannya hingga mencapai sekitar 70 juta ton di tahun 2050.
“Saat ini, eksportir batubara mulai memadati pasar internasional. Amerika, Rusia, Kolombia, Afrika Selatan misalnya, sedang berlomba menjual batubaranya seiring dengan semakin menurunnya permintaan batubara di Eropa dan potensi penurunan PLTU yang dibangun dan beroperasi, serta adanya pertimbangan terhadap potensi tambang batubara menjadi stranded asset. Resesi yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 dan juga kebijakan green economic recovery di negara-negara tujuan ekspor juga semakin menurunkan jumlah permintaan batubara Indonesia. Alhasil, kebijakan dan program pemerintah akhir-akhir ini mulai fokus untuk menaikan tingkat konsumsi batubara dalam negeri melalui hilirisasi dan membangun PLTU. Namun, analisis kami mengindikasikan bahwa hal ini tidak akan cukup untuk menggantikan penurunan permintaan batubara internasional,” tambah Fabby.
Deon Arinaldo, penulis dari laporan ini, memberikan analisis lebih lanjut mengenai keekonomian dari hilirisasi batubara. Opsi coal upgrading, yang membutuhkan biaya investasi dan operasional sekitar USD 557 juta dan USD 89 juta untuk dapat meng-upgrade 5 juta ton batubara setiap tahunnya. Gasifikasi batubara untuk memproduksi 788 ribu ton pupuk akan membutuhkan biaya investasi sekitar USD 913 juta. Sedangkan, untuk coal to liquid atau Dimethyl ether (DME), yang membutuhkan investasi dan proses yang lebih banyak dari gasifikasi batubara, diperkirakan akan menghabiskan biaya investasi sekitar USD 3,5-6,3 miliar untuk dapat memproduksi 50 ribu barel bahan bakar sintetis per hari. Kelayakan dari masing-masing opsi sangat bergantung dari harga batubara, gas, dan minyak.
“Investasi dan pengembangan teknologi hilirisasi batubara yang tidak sedikit ini akan sangat berisiko jika dilihat dari tidak hanya aspek lingkungan dan perubahan iklim, tetapi juga keekonomiannya yang bergantung pada permintaan industri domestik yang menggunakan bahan baku dari pengolahan batubara tersebut. Belajar dari pengalaman negara-negara dalam melakukan hilirisasi, proses transisi akan memakan waktu dan biaya yang mahal serta konsistensi kebijakan dan regulasi pendukung pemerintah,” imbuh Deon.
Setidaknya, pemerintah dapat mengadopsi tiga strategi untuk meminimalisasi implikasi tren transisi energi yang sedang terjadi saat ini. Pertama, moratorium pembangunan PLTU baru diperlukan untuk memperkecil potensi stranded assets dan juga memperbesar ruang bagi bauran energi terbarukan. Kedua, PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis perlu melakukan retrofit untuk mempertahankan efisiensi ataupun menjadi balancer untuk energi terbarukan yang intermiten. Ketiga, merencanakan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan. Untuk industri batubara, tentu diversifikasi bisnis ke industri yang lebih berkelanjutan dan sunrise diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka menengah dan panjang.
Melalui laporan seri ketiga peta jalan transisi energi Indonesia ini, IESR mendesak pemerintah untuk dapat meninjau kembali kebijakan dan perencanaan energi Indonesia terkait batubara, seperti hilirisasi, pembangunan PLTU & clean coal technology, dengan mempertimbangkan keekonomian jangka panjang dan potensi risiko stranded assets. IESR juga menyerukan pemerintah, bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait, untuk mulai penyusunan peta jalan transisi batubara nasional untuk dapat menekan dampak risiko ekonomi dan sosial di masa mendatang. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah harus menetapkan posisi yang jelas, memiliki rencana yang matang, dan memastikan bahwa proses transisi ini dapat dicapai dengan baik dengan mengurangi dampak dari risiko-risiko yang timbul dari transisi, utamanya kepada pemangku kepentingan yang terlibat (termasuk didalamnya pelaku industri, pekerja, dan masyarakat yang terdampak).
###