Penyediaan tenaga listrik di seluruh dunia tengah mengalami tranformasi besar. Harga listrik dari sumber energi terbarukan seperti angin dan surya semakin terjangkau dan bersaing dengan harga listrik dari pembangkit energy fosil. Teknologi pembangkit yang terdistribusi dan tranformasi digital di sektor kelistrikan melahirkan trend 4D : Dekarbonisasi, Desentralisasi, Digitalisasi serta Demokratisasi dalam sistem penyediaan listrik.
Kecenderungan ini dapat menjadi faktor distruptif bagi sistem kelistrikan di Indonesia yang saat iini masih bersifat monopolistk, tersentralisasi dan mengandalkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Potensi disrupsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya aset-aset yang terdampat (stranded assets) dari infrastruktur pembangkit listrik yang dibangun saat ini dan dapat membawa konsekwensi sosial, ekonomi dan keuangan di masa depan.
Demikian disampaikann Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara diskusi peluncuran Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang berlangsung di Jakarta, pada Selasa (31/07/2018) lalu.
Mencermati perkembangan ini, sejak 2017 lalu IESR bersama dengan Prof Kuntoro Mangkusubroto Ketua Dewan Sekolah SBM ITB, menginisiasi terbentuknya Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), sebuah forum multi-pihak yang beranggotakan 25 orang anggota terpilih yang mewakili birokrat, akademisi, pebisnis, pimpinan BUMN sektor energi dan organisasi non-pemerintah.
Forum ini dimaksudkan sebagai wadah untuk berbagi dan tukar menukar gagasan yang obyektif dan inovatif tentang transformasi sektor ketenagalistrikan dan tindakan adaptif untuk menghadapi potensi disrupsi yang akan terjadi di masa depan.
Gagasan dan pendekatan yang dibahas dalam forum ini diharapkan dapat mendukung pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakan dan kerangka regulasi yang memadai, serta menyusun strategi sektor kelistrikan yang berkembang seiring dengan perubahan teknologi yang cepat sehingga dapat mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan dan menghindari risiko stranded asset di masa depan.
“Isu-isu yang dibahas di ICEF berdasarkan pada hasil penelitian dan analisa yang kokoh, serta pendekatan dialog yang terbuka. Dengan pendekatan ini diharapkan proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan akan berjalan lebih baik dan berkelanjutan”ujar Prof. Kuntoro Mangkusubroto.
Sebagai negara penandatangan Kesepakatan Paris 2015, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% di tahun 2030. Target ini juga telah dituangkan dalam sebuah Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan meningkatkan bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025 atau setara dengan kapasitas pembangkit listrik sebesar 45 Gigawatt.
Namun sejauh ini perkembangan energi terbarukan di Indonesia terbilang lambat, dengan kapasitas terpasang saat ini baru mencapai 9 GW atau 14% dari total kapasitas terpasang pembangkit listik atau sebesar 20% dari total kapasitas yang menjadi target rencana energi nasional.
Dalam satu dekade terakhir, berdasarkan perhitungan tingkat pertumbuhan tahunan atau Compound Annual Growth Rate (CAGR) energi terbarukan Indonesia baru mencapai 4,1%, pertumbuhan ini jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia yang telah mencapai 9,8% dan 10,7%. Bahkan Myanmar-negara anggota ASEAN yang baru saja keluar dari sistem pemerintahan militer- pertumbuhannya kini mencapai 15,5%.
Dalam kesempatan ini Fabby juga mengingatkan bahwa tranformasi di sektor kelistrikan akan menjadi sebuah gelombang besar, karena tumbuhnya kesadaran banyak pihak untuk menjalankan komitmen Kesepakatan Paris.
Saat ini telah ada gerakan global yang dinamakan RE 100, dimana perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang memiliki investasi di Indonesia berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100% untuk mendukung bisnis mereka.
“Ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk Indonesia. Berbicara mengenai transisi energi tak hanya tentang pencapaian target bauran energi terbarukan, tapi juga menentukan daya saing bisnis dan ekonomi Indonesia di masa depan. “ ujar Fabby.
Bahan Presentasi tersedia di sini