Indonesia Menghadapi Udara Panas: Ancaman Kesehatan dan Urgensi Mitigasi Krisis Iklim

Cuaca Panas di Indonesia
Cuaca Panas di Indonesia
Cuaca Panas di Indonesia. Dok Freepik

Jakarta, 22 Mei 2024 – Indonesia dalam beberapa waktu terakhir mengalami fenomena udara panas. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan fenomena tersebut bukan merupakan gelombang panas (heatwave). Namun demikian, data Climate Action Tracker (CAT) menunjukkan, kebijakan yang berlaku saat ini di seluruh dunia akan menghasilkan pemanasan sekitar 2,7°C di atas tingkat pra-industri.  Untuk itu, diperlukan mitigasi krisis iklim dari seluruh negara. 

Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, mengutip data Climate Action Tracker (CAT), aksi dan kebijakan iklim untuk pengurangan emisi di Indonesia dikategorikan sangat tidak memadai (critically insufficient). Yang berarti, upaya untuk meredam pemanasan global yang dilakukan pemerintah masih jauh dari upaya membatasi suhu bumi di bawah 1,5˚C dalam Persetujuan Paris 2015.

“Kajian CAT ini juga memperlihatkan dua penyebab rating Indonesia menjadi rendah. Pertama, naiknya pembakaran batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) raksasa yang beroperasi pada 2022, yang berakibat emisi Indonesia bertambah sekitar 21 persen dalam waktu setahun. Kedua, bertambahnya kapasitas PLTU yang beroperasi di luar rencana dan jaringan PT PLN atau sering disebut PLTU captive, yang memasok listrik untuk banyak pabrik,” kata Wira dalam X Space berjudul “Cuaca Panas, Apa yang Bisa Kita Lakukan?” pada Rabu (22/4/2024). 

Lebih lanjut, Wira mengatakan, kenaikan suhu 1,5˚ hingga  2˚C bisa mengubah banyak kehidupan di Bumi. Mengutip studi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menemukan bahwa pada suhu pemanasan sebesar 1,5°C, hampir 14 persen populasi dunia akan terkena gelombang panas yang parah. Sedangkan, apabila terjadi pemanasan sebesar 2°C, 37 persen populasi dunia akan terkena gelombang panas yang parah. Untuk itu, Wira mengatakan agar Pemerintah Indonesia perlu memperkuat komitmen mitigasi dan adaptasi krisis iklim.

“Sayangnya komitmen tersebut belum terlihat maksimal. Hal ini bisa dilihat dari pemerintah, melalui Dewan Energi Nasional (DEN), yang  mengubah target bauran energi terbarukan pada tahun 2025 menjadi 17-19 persen, yang lebih rendah daripada target sebelumnya sebesar 23 persen. Langkah ini menyiratkan sinyal yang salah bagi swasta yang ingin berinvestasi energi terbarukan di Indonesia, misalnya. Selain itu, pemerintah perlu juga mencermati komitmen pendanaan karena pencapaian Indonesia sampai saat ini belum lebih dari 60 persen,” tegas Wira. 

Untuk itu, kata Wira, diperlukan kerja sama berbagai pihak dari eksekutif, legislatif maupun pihak swasta untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan, dengan mempertimbangkan berbagai penelitian yang menunjukkan apabila Indonesia mampu potensi energi terbarukan yang besar. Mulai dari energi surya, bayu, hidro, bioenergi, hingga panas bumi.

Sementara itu, Clarissa Magdalena, Manajer Kebijakan dan Advokasi, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menegaskan, salah satu dampak cuaca panas ini membuat manusia semakin mudah berkeringat, yang nantinya bisa berisiko menjadi biang keringat dan menyebabkan gatal-gatal. Namun, apabila suhu tubuh tidak dapat beradaptasi terhadap cuaca panas, suhu tubuh internal tersebut akan mengikuti suhu di lingkungan sekitar. Ini  berimbas terhadap kondisi tubuh yang akan mudah lelah, sakit kepala dan mual. 

“Cuaca panas ini bahkan berdampak lebih serius pada kesehatan orang-orang yang rentan seperti lansia, ibu hamil, dan anak-anak karena dehidrasi. Pada kelompok rentan, cuaca panas ini bisa menyebabkan serangan panas (heatstroke), yang merupakan kondisi medis darurat yang terjadi ketika suhu tubuh naik di atas 40 derajat Celcius. Gejalanya meliputi kebingungan, kejang, dan kehilangan kesadaran,” papar Clarissa. 

Untuk meminimalisir dampak tersebut, Clarissa menyarankan agar kelompok rentan untuk mengonsumsi air minimal delapan gelas atau dua liter perhari, dibarengi dengan buah dan sayur seperti semangka, melon, bayam dan timun untuk memenuhi cairan tubuh. Hindari konsumsi alkohol dan kafein secara berlebihan karena dapat memperburuk dehidrasi.

 

cuaca panas, krisis iklim, pemanasan global, energi terbarukan, batubara, PLTU, IESR, Climate Action Tracker, Persetujuan Paris, kesehatan, dehidrasi

Share on :

Leave a comment