Bogor, 6 Februari 2024 – Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak, satu di antara langkah krusial yang harus diambil adalah mempercepat investasi dalam teknologi energi bersih. Salah satu inovasi terkini yang menonjol adalah pengembangan hidrogen hijau. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan potensi energi terbarukan sekitar 3.686 gigawatt, Indonesia memiliki kapasitas untuk memproduksi hidrogen hijau.
Farid Wijaya, Senior Analis Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, berbeda dengan bahan bakar fosil, energi hidrogen hanya menghasilkan air, listrik, dan panas ketika dikonversikan, tanpa meninggalkan jejak emisi gas rumah kaca atau debu halus. Proses produksinya juga ramah lingkungan, terutama jika menggunakan metode elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari senyawa air, yang mana arus listrik digunakan untuk memecah molekul air menjadi oksigen dan hidrogen gas. Hal ini menjadikan hidrogen hijau sebagai cara untuk merespons kebutuhan akan keseimbangan lingkungan, membuka peluang untuk menciptakan pasar baru dan nilai baru bagi industri dunia.
“Mengacu hasil studi IESR bersama Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), beberapa nilai penting dari hidrogen hijau di antaranya menguatkan ketahanan energi nasional, akselerasi dekarbonisasi, dan ekonomi yang berkelanjutan, menyimpan kelebihan suplai listrik dan untuk pemerataan penggunaan energi terbarukan, alternatif dari bahan bakar fosil dengan efisiensi tinggi yang dapat dikonversi menjadi NH3, alkohol (metanol, etanol), metana dan bahan bakar sintetis, serta densitas energinya lebih besar dari baterai dengan kepraktisan serupa bahan bakar minyak (BBM),” ujar Farid dalam Forum Konsultasi Stakeholders mengenai Pengembangan serta Pemanfaatan Hidrogen dan Amonia pada Selasa (6/2/2024).
Lebih lanjut, Farid menekankan sejumlah faktor pendukung komersialisasi hidrogen hijau. Pertama, keuntungan, manfaat dan kewajiban dalam penggunaan. Kedua, ketersediaan dan kemampuan akses dari teknologi, waktu dan keamanan. Ketiga, harga yang terjangkau dan kompetitif yang diiringi investasi dan operasional. Keempat, ramah pengguna, lingkungan dan masyarakat sekitar.
“Berkaca dari hal tersebut, yang kemudian kita perlukan dalam pemenuhan kebutuhan pasar untuk mendorong hidrogen hijau di antaranya inovasi teknologi dari sektor swasta dan pemerintah terhadap pengembangan pasar, transformasi dan transisi nilai ekonomi ke ramah lingkungan dan hijau, permintaan pasar yang tinggi untuk mendorong investasi, serta adanya peta arah dan kebijakan regulasi untuk mendukung transformasi dan transisi nasional,” ujar Farid.
Indonesia, kata Farid, dapat belajar dari beberapa negara yang telah melakukan pemanfaatan hidrogen hijau. Contohnya, pemanfaatan hidrogen sebagai bahan dari amonia olehFortescue Australia yang mengalami kesulitan pendanaan untuk 550 MW kapasitas elektroliser di Pulau Gibson akibat biaya investasi dan listrik yang tinggi. Hal ini diakibatkan biaya investasi dan operasional tinggi, terbatasnya subsidi pemerintah, dan harga amonia terlalu tinggi untuk pupuk.
“Untuk meminimalisir kejadian tidak diinginkan dalam pemanfaatan hidrogen hijau, kita perlu melakukan langkah strategis. Pertama, standardisasi dan sertifikasi, yang menjadi hal penting termasuk untuk menjaga nilai rantai pasok yang aman dan terkendali Kedua, penetapan kebijakan peta arah dan regulasi yang mendukung pengembangan hidrogen hijau di Indonesia. Ketiga, akses sumber daya terutama terkait lahanyang banyak menentukan efisiensi biaya investasi, energi, dan mobilitas. Keempat, ketersediaan teknologi pemanfaatan hidrogen, dalam membangun pasar domestik pemanfaatan yang berkelanjutan. Kelima, pasar potensial, terutama untuk ekspor pasar global yang memiliki nilai jual tinggi dan pasar domestik. Keenam, dukungan finansial seperti pemberian Insentif dan disinsentif yang mengikat,” terang Farid.