Jakarta, 22 Nov 2021 – Seiring berakhirnya COP-26 beberapa minggu yang lalu, diskusi lanjutan tentang “apa aksi selanjutnya” dilakukan untuk terus mengingatkan baik Pemerintah maupun masyarakat bahwa komitmen dan deklarasi yang dibuat selama konferensi harus dilaksanakan.
Bertindak sebagai pra-pembukaan Indo EBTKEConnex 2021, FIRE (Friends of Indonesia’s Renewable Energy) mengadakan dialog untuk mengetahui bagaimana Indonesia menyiapkan strateginya untuk mencapai target dan komitmen baru yang diumumkan selama COP-26 di Glasgow.
Sripeni Inten Cahyani, Staf Khusus Kementerian ESDM menjelaskan sikap Indonesia dalam konferensi tersebut. Awal tahun ini, Indonesia menyerahkan dokumen NDC terbarunya ke Sekretariat UNFCCC dan berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions) pada tahun 2060 atau lebih awal. Hal ini dapat dikatakan sebagai langkah yang cukup progresif karena di awal tahun belum ada pembahasan tentang isu ini.
“Indonesia menandatangani Deklarasi The Global Coal to Clean Power, yang salah satu komitmennya adalah menghentikan pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2040-an, dalam rencana awal kami, penghentian penggunaan batubara sekitar tahun 2050-an, jadi ada akselerasi disini. Akselerasi ini berarti kami membutuhkan lebih banyak dukungan keuangan untuk menghentikan pembangkit listrik yang saat ini beroperasi dan menggantinya dengan energi terbarukan,” kata Inten.
Indonesia telah secara konsisten mendesak negara-negara maju untuk mendistribusikan dana ke negara-negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi.
David Lutman dari Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menekankan bahwa dorongan untuk mengambil tindakan dapat diwujudkan dengan pengadaan energi terbarukan dalam skala besar dan itu berarti penghentian penggunaan batu bara. “Semakin cepat Indonesia melakukan transisi, maka akan semakin besar pula manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang bisa dipetik,” ujarnya.
Penting untuk mewujudkan komitmen yang sudah disepakati dan menunjukkan kemajuan yang dialami Indonesia dalam 2-3 tahun ke depan. Hal ini menunjukkan kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam menjalankan komitmen perjanjian internasional dan penanganan iklim.
“Transisi (energi) ini bukan hanya tentang Indonesia, tetapi masyarakat internasional turut mengamati sehingga kita perlu menunjukkan kemajuan kita untuk menjaga akuntabilitas kita, dan kemudian untuk menarik lebih banyak bantuan internasional,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Fabby kemudian mengatakan bahwa tiga hal utama yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempercepat transisi energi di Indonesia yaitu melakukan pensiun dini pembangkit batubara, meningkatkan proyek-proyek energi terbarukan, dan membantu PLN dalam hal lelang dan pengadaan energi terbarukan.
Pembiayaan yang cukup diperlukan dalam mentransformasi sistem energi. Pada COP-26, Pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) Energy Transition Mechanism (ETM) dengan Asia Development Bank untuk membiayai pensiun dini sejumlah pembangkit listrik tenaga batubara. Skenario pembiayaan lain yang dapat ditempuh Pemerintah adalah dengan mereformasi skema subsidi di Indonesia, yang saat ini banyak dikucurkan untuk energi fosil, dan mengalihkannya untuk sektor energi terbarukan.