Jakarta, 31 Mei 2022 – Konflik geopolitik yang terjadi beberapa bulan terakhir telah mempengaruhi sejumlah situasi global salah satunya kondisi pasokan energi. Negara-negara Uni Eropa yang merasakan imbas dari terganggunya pasokan energi mulai mencari berbagai alternatif baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai solusi jangka panjang, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan energi baru bertajuk REpower EU. Dalam kebijakan ini, Uni Eropa berencana untuk menambah kapasitas energi terbarukannya hingga 740 GWdc hingga 2030 untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil Rusia dan memastikan ketahanan energinya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam acara MGN Media Summit yang diselenggarakan pada Selasa, 31 Mei 2022, menyatakan situasi geopolitik global saat ini memang kurang menguntungkan untuk transisi energi bukan hanya di Indonesia namun berbagai negara di dunia. Namun, setelah beberapa bulan tensi geopolitik ini masih berlanjut, sejumlah negara mulai menggunakan momentum ini untuk lepas dari ketergantungan energi fosil dan mengakselerasi energi terbarukannya. Indonesia pun harusnya dapat melakukan hal serupa dengan misalnya memastikan aturan yang dibuat untuk mendukung akselerasi energi terbarukan seperti Permen ESDM 26/2021 berjalan.
“Kelemahan negara ini adalah rencana sudah dibuat namun implementasi dan penegakannya masih lemah, misalnya Permen ESDM 26/2021 tentang PLTS atap,” Fabby menjelaskan.
Fabby menjelaskan Permen ESDM 26/2021 belum juga dilaksanakan oleh PLN sebab masih terganjal sejumlah isu salah satunya kompensasi Kementerian Keuangan untuk PLN yang aturannya belum dibuat.
“Maka mungkin DPR RI dapat memanggil Menteri Keuangan dan Menteri ESDM untuk menjelaskan situasi dan meminta mereka untuk segera merancang skema kompensasi untuk PLN,” tambahnya.
Situasi transisi energi di Indonesia sendiri memang tidak terlalu menggembirakan. Memiliki target bauran energi baru sebesar 23% di tahun 2025, data Kementerian ESDM pada bulan Februari 2022 lalu menunjukkan target tersebut baru tercapai sekitar 11,5%. Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI yang menangani tentang energi, mengaku berat untuk mengejar target bauran energi terbarukan tersebut, namun hal itu bukan berarti tidak mungkin.
“Harus saya akui ini berat, namun dengan kerja ekstra keras kita bersama, saya masih optimis kita dapat mencapainya,” jelas Sugeng.
PLN sebagai aktor kunci terutama dalam akselerasi energi terbarukan menyatakan bahwa selain penyediaan energi, sisi demand (permintaan) energi juga harus dipastikan ada.
“Kita juga perlu memastikan bahwa demand untuk energi terbarukan ini tersedia. PLN sendiri akan sangat bergantung pada teknologi yang ada untuk mengejar net-zero emission (NZE) maupun target bauran energi,” Cita Dewi, EVP Perencanaan & Enjiniring EBT PT PLN (Persero), menjelaskan.
Cita menambahkan bahwa pihaknya tidak dapat bekerja sendiri untuk mengeksekusi percepatan energi terbarukan sendiri. Butuh kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan transisi energi ini berjalan.
Daniel Purba, Senior Vice President, Strategy & Investment, PT Pertamina (Persero) menyatakan bahwa cadangan fosil kita sudah tak sebanyak dulu. Dari sisi konsumsi pun, meski saat ini fosil masih mendominasi, namun kedepannya pasti berganti.
“Walaupun sekarang misalnya, BBM mendominasi konsumsi masyarakat, kedepannya kendaraan listrik dan bahan bakar alternatif seperti hidrogen yang akan banyak digunakan,” katanya.
Dengan adanya fenomena ini, korporasi memiliki kebutuhan untuk mendiversifikasi bahkan mentransformasi bisnisnya supaya perusahaan dapat sustain, serta mendapat kepercayaan baik dari investor maupun konsumen.
“Pertamina sendiri mulai mendiversifikasi bisnisnya dengan mulai mengembangkan hidrogen dan menggunakan PLTS pada kantor operasional kami,” tambah Daniel.
Menyoroti mengenai kebijakan energi di Indonesia Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, menyatakan bahwa Indonesia memiliki instrumen kebijakan yang cukup lengkap mulai dari peta jalan, target, dan rencana. Namun menurutnya penting untuk mengukur seberapa on-track dan tangguhnya ketahanan energi dengan berbagai instrumen kebijakan yang ada di Indonesia.
“Berbagai skema kebijakan yang ada saat ini membuat indeks ketahanan energi kita berada dalam kategori ‘tahan’. Kita belum bisa mencapai kategori ‘sangat tahan’ karena beberapa hal antara lain impor energi (BBM) kita masih tinggi, infrastruktur energi (grid) kita masih harus ditingkatkan kualitasnya, dan bauran EBT kita masih rendah,” jelas Djoko.
Djoko menambahkan pemerintah perlu untuk menyelesaikan isu-isu tersebut untuk memastikan ketahanan energi Indonesia serta untuk menurunkan emisi GRK dari sektor energi. Dengan begitu komitmen Indonesia pada berbagai perjanjian Internasional terpenuhi.