Jakarta, 9 Mei 2025 – Saat ini dunia tengah berada dalam berbagai gejolak, antara lain perang dagang yang dicanangkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump pada April 2025. Adanya tambahan tarif bagi negara-negara yang memiliki selisih nilai perdagangan dengan Amerika Serikat ini menimbulkan pro dan kontra. Beberapa negara merespon kebijakan ini dengan permintaan negosiasi ataupun dengan penerapan tarif balasan bagi Amerika Serikat. Hal ini memberikan kejutan bagi sektor industri khususnya manufaktur non migas yang selama ini merupakan bagian dari komoditas ekspor Indonesia. Di lain pihak, sektor industri Indonesia mengalami tantangan lain terkait pemenuhan standar emisi karbon pada produknya. Untuk memasuki pasar Eropa pada 2026, produk harus memenuhi standar Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang mensyaratkan batas emisi tertentu untuk tiap jenis produk.
Juniko Nur Pratama, Manajer Program Dekarbonisasi Industri, Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar Perang Dagang VS. Perang Iklim: Industri Indonesia Dihimpit Dua Tantangan, menyatakan bahwa dalam situasi ini, Pemerintah Indonesia harus melakukan intervensi kebijakan untuk mengatasi tantangan tersebut.
“Saat ini dapat dikatakan sebagai momentum perbaikan sebenarnya. Terutama perbaikan kebijakan dekarbonisasi industri untuk meningkatkan daya saing ekspor produk-produk Indonesia,” kata Juniko.
Hal ini senada dengan upaya yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian yang, selain terlibat dalam proses negosiasi kebijakan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat, juga secara aktif menempuh pendekatan bilateral dan multilateral untuk perkembangan kebijakan industri Indonesia.
Dewi Muliana, Direktur Akses Industri Internasional, Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa saat ini pemerintah masih membahas proses negosiasi dengan Amerika Serikat dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan menjadi implikasi dari negosiasi ini.
Wijayanto Samirin, Ekonom dan Akademisi, Universitas Paramadina mengatakan bahwa dampak perang tarif perlu diwaspadai. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang dikeluarkan IMF menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi mengalami penurunan sebesar 0,4% akibat tarif resiprokal Trump, meski ekspor komoditas ke Indonesia ke Amerika Serikat hanya 2,2% dari PDB. Hal ini menandakan bahwa meskipun nilainya relatif kecil, namun ekspor ke AS tetap memiliki dampak signifikan pada perekonomian.
“Situasi buruk seperti saat ini akan memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan baru dan inovatif untuk meresponnya. Kita harus kawal ini terus agar kebijakan yang keluar di masa ini bagus dan efektif untuk keberlangsungan industri di Indonesia,” kata Wijayanto.
Devi Kusumaningtyas, Kepala Urusan Pemerintahan dan Urusan Publik, Nike Asia Tenggara, sepakat bahwa momentum ini harus digunakan untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) produk-produk Indonesia, salah satunya dengan mengintegrasikan aspek keberlanjutan (sustainability) pada rantai pasok produksi.
“Solusi cepat (low hanging fruit) yang ada di depan mata sebenarnya adalah penggunaan listrik dari energi terbarukan. Namun di Indonesia saat ini aksesnya masih terbatas hanya melalui Renewable Energy Certificate (REC) dan green energy service, namun dua hal ini merupakan layanan premium. Ke depannya pemerintah harus membuat akses pada listrik energi terbarukan murah dan mudah,” jelas Devi.