JAKARTA, KOMPAS.com – Kebutuhan listrik semakin mendesak untuk desa-desa di Indonesia. Pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan pun menjadi cara untuk memenuhi hal tersebut.
Namun seringkali dalam pengelolaannya justru sering terabaikan lantaran kontraktor atau donor yang membangun melepasnya begitu saja setelah pembangkit listrik itu dibuat.
Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga yang fokus pada kebijakan publik tentang energi dan perubahan iklim mengidentifikasikan tiga model pengelolaan pembangkit listrik di desa-desa.
“Pertama yang paling sederhana ada donor memberikan dana untuk membangun pembangkit listrik mikro hidro (tenaga air) kemudian diberikan masyarakat lalu mereka memilih siapa saja bertanggung jawab mengelola serta menjadi penagih untuk tarif listrik,” jelas Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, di Jakarta, Kamis (29/9/2016).
Model ini, sambung Fabby lazim dilakukan namun kerap tidak bisa jangka panjang lantaran tarif yang telah dimusyawarahkan tidak mencerminkan biaya perawatan pembangkit listrik tersebut.
Selain itu, dalam metode ini Fabby juga mengkritik donor yang hanya sekadar membangun tanpa memberikan sumbangsih untuk perawatan.
Model kedua yang dipaparkan Fabby berikutnya adalah pembangkit listrik milik masyarakat dikerjasamakan atau joint operation dengan PLN sehingga pembayaran listrik dilakukan langsung ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.
“Biasanya kontrak dengan PLN bisa Rp 1.000 atau bahkan Rp 500 per kilowatt. Model ini nggak membuat masyarakat pusing soal perawatan karena ditanggung PLN dan hanya memastikan saja agar air tidak kering,” tambahnya.
Kemudian yang terakhir, lanjut Fabby adalah masyarakat menjadi bagian dari skema investasi bersama.
Artinya, dalam model ini, masyarakat dilibatkan dan diberdayakan untuk bisa menggunakan listrik dengan maksimal seperti memanfaatkannya sebagai salah satu elemen ekonomi kreatif.
“Saya kira ini cukup baik dan mungkin ini jawaban berkelanjutan sehingga bisa memberikan manfaat finansial langsung ke masyarakat karena model ini memungkinkan masyarakat mendapatkan uang selain listrik seperti halnya PLN,” pungkas dia.
Sumber: kompas.com.